Bagi sebagian kalangan muslim, keberhasilan dakwah itu dinilai jika mampu menarik umat agama lain untuk masuk Islam. Maka, tidak mengherankan jika ada seorang pendakwah yang mengislamkan non-muslim akan mendapat spotlight dari media massa dan puja-puji dari umat. Seolah-olah tujuan dakwah yang paling utama adalah menarik non-muslim ke dalam Islam.
Anggapan ini barangkali ada hubungannya dengan ajaran yang menyebutkan bahwa seseorang yang mengislamkan non-muslim akan mendapat pahala dan balasan di surge yang luar biasa nikmatnya. Imajinasi inilah yang membuat muslim terobsesi dengan upaya mengislamkan kelompok agama lain. Setiap jumlah muslim bertambah, karena seorang yang mualaf, dianggap sebagai sebuah kemengan gilang-gemilang dari dakwah Islam.
Anggapan itu patut dikoreksi dan dikritik secara serius. Orientasi dakwah pada periode awal penyebaran Islam memang diarahkan secara eksternal untuk merekrut sebanyak-banyaknya pengikut. Ditinjau dari teori gerakan sosial, model dakwah yang seperti ini tentu relevan dengan kebutuhan. Sebagai katakanlah agama baru, Islam membutuhkan banyak pengikut untuk membangun kekuatan, menaikkan posisi tawar, dan tentunya membangun kepercayaan masyarakat.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, orientasi dakwah pun mengalami evolusi dan transformasi. Dakwah tidak lagi hanya berorientasi eksternal, yakni menarik sebanyak mungkin orang untuk masuk Islam. Melainkan juga berorientasi internal alias ke dalam. Yakni membangun sumber daya manusia yang berkualitas, secara keimanan, sosial, dan sebagainya.
Maka, seperti kita lihat saat ini di era modern, organisasi keislaman seperti Muhammadiyah atau Nahdlatul Ulama dan ormas lain, tidak lagi mendefinisika dakwah secara sempit sebagai ceramah agama di podium, mengumbar retorika, atau sedikit-sedikit menyitir ayat untuk menghantam keimanan kelompok lain. Bagi NU apalagi Muhammadiyah, dakwah yang seperti itu sudah kadaluwarsa dan tidak relevan dengan kebutuhan umat.
Dakwah ala kelompok moderat hari ini adalah memberdayakan umat, karena itu kunci membangun kejayaan Islam. Untuk apa jumlah umat Islam terus bertambah, kalau pada akhirnya miskin, bodoh, bahkan sakit-sakitan. Maka, dakwah yang dilakoni NU dan Muhammadiyah lebih berorientasi ke dalam, yakni memberdayakn umat.
Pendirian universitas, sekolah dari level usia dini, sampai menengah atas, rumah sakit dan klinik, unit-unit usaha, koperasi dan bank, serta beragam jenis institusi lainnya kini menjadi senjata dakwah NU dan Muhammdiyah. Muhammadiyah yang memang dikenal sebagai organisasi kaum terdidik dan profesional bergerak lebih progresif.
Universitas mereka banyak yang berkaliber internasional. Sekolah unggulan mereka ada di mana-mana. Unit usaha mereka menjadi penopang ekonomi umat, bahkan bangsa. Aset mereka menjadi salah satu pilar penting ketahanan negara. Demikian pula NU yang dengan langkah senyap membangun jejaring kultural di level akar rumput. Jejaring inilah yang menjadi penopang utama ideologi bangsa di tengah ancaman ideologi transnasional.
Para kiai dan ulama NU serta pada intelektual Muhammadiyah tidak sibuk mengislamkan kelompok agama lain. Mereka juga tidak euforia dengan fenomena mualaf yang belakangan ini marak. Namun, mereka berdakwah dengan perspektif jangka panjang, yakni bagaimana agar peningkatan kuantitas umat Islam ini sejalan dengan peningkatan kualitasnya. Kuantitas yang tidak sejalan dengan kualitas hanya akan menjadi bencana sosial di masa depan.
Maka, orientasi dakwah hari ini harus diubah dari euforia kuantitas ke investasi atas kualitas. Dakwah apologetik yang menyerang agama lain dengan harapan non-muslim akan masuk Islam kiranya tidak perlu diberikan panggung besar dan sorot lampu terang. Dakwah model seperti itu tidak lagi relevan menjawab krisis dunia Islam hari ini.
Krisis dunia Islam hari ini, yang mewujud pada kemiskinan, kebodohan, bahkan peperangan hanya bisa diselesaikan melalui dakwah yang berorientasi ke dalam dengan tujuan membangun kualitas sumber daya manusia. Kita membutuhkan lebih banyak perguruan tinggi yang mencetak para ilmuan. Kita membutuhkan lebih banyak unit usaha dan institusi keuangan untuk menopang ekonomi umat. Kita butuh lebih banyak rumah sakit untuk meningkatkan taraf kesehatan umat.
Semua itu hanya bisa terwujud melalui dakwah berbasis gerakan sosial keumatan, yang sistematis, masif, dan berjejaring di lapangan. Bukan dakwah model ceramah agitatif yang mengobral sentiman kebencian terhadap umat. Para pendakwah seperti itu nihil kontribusinya bagi umat. Ia hanya menjadikan umat sebagai komoditas yang dijadikan alat untuk menaikkan popularitas bahkan harga jualnya.
Tahun 2025 menandai usia ke-15 Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sebagai sebuah lembaga strategis penanggulangan terorisme…
Seiring terbukanya akses informasi global, arus dakwah transnasional masuk tanpa filter melalui media sosial, platform…
Di era keterbukaan informasi saat ini, media digital telah mengubah cara umat beragama, khususnya umat…
Seorang pendakwah sesungguhnya memikul dua amanah besar di tengah masyarakat. Di satu sisi, pendakwah adalah…
Era digital harus diakui telah mendorong transnasionalisme ke titik yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Di…
Pasca tampil di siniar bersama mualaf Richard Lee yang sempat mendulang kontroversi, pendakwah asal India,…