Narasi

Demonstrasi menurut Islam: Jalan Merawat NKRI, bukan Arena Promosi Ideologi

Untuk membincang demonstrasi, baiknya terlebih dahulu membicarakan ihwal mengapa demonstrasi terjadi. Demonstrasi adalah anak kandung dari sistem demokrasi. Melalui semangat syura, demokrasi meniscayakan kebebasan setiap orang dari kalangan apapun untuk menyuarakan pendapatnya, utamanya terkait perbaikan dan saran kepada para penguasa.

Kelompok radikal ekstremis beramai-ramai menghardik demonstrasi bukan bagian dari ajaran Islam karena dianggap merupakan irisan dari sistem kufur demokrasi. Padahal, dalam awal sejarah umat Islam, syura diasumsikan sebagai prototype ideal yang dipraktikkan selama empat periode Khulafaur Rasyidin (632-661 M).

Seiring dengan perjalanan sejarah dan peradaban, prinsip syura ini sering disebandingkan dengan prinsip demokrasi yang telah berkembang jauh sebelum Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW, hingga konsep negara bangsa yang saat ini kita rasakan.

Ketaatan kepada pemerintah merupakan konsep loyalitas yang ketiga dalam tatanan hidup seorang Muslim, setelah ketaatan kepada Allah dan Rasul- Nya. Konsep Islam tentang ketaatan kepada pemerintah tersebut bukanlah ketaatan politis yang fanatis, melainkan ketaatan kritis yang dibatasi oleh koridor syariat, yaitu selama pemimpin tersebut tidak menyimpang, serta mentaati Allah dan Rasul-Nya seperti yang termaktub dalam QS. An-Nisa: 59.

Di dalam konteks demokratisasi ini, aksi demonstrasi menjadi alternatif untuk menterjemahkan kewajiban menyampaikan aspirasi kepada pemerintah. Aksi demonstrasi telah dianggap sebagai keniscayaan dalam praktik demokrasi. Selain sebagai implementasi adanya kebebasan berpendapat, demonstrasi diyakini mampu menjadi sarana efektif untuk menyampaikan kritik kepada pemerintah.

Demonstrasi adalah bahasa media massa untuk menyebut suatu unjuk rasa atau aksi massa sebagai bentuk protes atau suatu kekecewaan terhadap sesuatu yang dinilai tidak adil (zalim) baik dalam hal ekonomi, politik, sosial, dan yang lainnya. Dalam sejarah perpolitikan Indonesia, unjuk rasa (demonstrasi) masih dinilai sebagai senjata ampuh untuk meredam rezim yang dianggap melampaui batas dalam menjalankan pemerintahan.

Dalam perspektif Islam sendiri, walaupun kata “demonstrasi” tidak disebutkan secara eksplisit dalam Al-Qur’an, tetapi substansinya sudah dibicarakan dalam banyak nash, misalnya dengan dalil amar makruf nahi munkar.

Dalam sejarah Islam sendiri, tepatnya pada masa pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan, demonstrasi praktis pernah dilakukan. Masa 12 tahun pemerintahan Khalifah Ustman bin Affan dapat dibagi menjadi dua fase, pada enam tahun pertama pemerintahan berjalan dengan normal, administrasi berjalan efektif, perluasan wilayah terus dilakukan serta pembangunan sarana prasarana umum berjalan lancar, sedangkan pada enam tahun terakhir masa pemerintahannya mulai goyah oleh goncangan rakyat, terutama wilayah Kuffah, Basrah dan Mesir banyak menuai protes dari rakyat.

Hal ini disebabkan oleh kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Khalifah Ustman bin Affan yang dinilai kurang adil. Pendemo menyebutkan beberapa indikasi, misalnya yang pertama, pencopotan jabatan Gubernur Kuffah, Mesir dan Basrah yang digantikan oleh keluarganya sendiri sehingga mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintahan. Kedua, adanya isu penyelewengan dana baitul mall sehingga menuai protes yang semakin hari semakin meluas dan puncaknya berakhir dengan demonstrasi secara masif diberbagai daerah.

Pada dasarnya konsep amar ma’ruf nahi munkar dalam demonstrasi didalilkan melalui hadis Nabi Muhammad,

“مَن رَأَى مِنكُم مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ، فَإِن لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِن لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ، وَذَلِكَ أَضْعَفُ الإِيمَانِ”

Artinya

“Barang siapa di antara kalian melihat kemungkaran, maka hendaklah ia mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, maka dengan lisannya. Jika tidak mampu juga, maka dengan hatinya. Dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” (HR. Muslim).

Hadis ini menekankan bahwa setiap Muslim memiliki tanggung jawab untuk menentang kemungkaran sesuai dengan kemampuan masing-masing. Upaya yang paling utama adalah merubah kemungkaran dengan tindakan nyata (tangan), yang berarti melakukan langkah konkret untuk menghentikan ketidakadilan.

Ini bukan berarti menggunakan kekerasan atau merusak, melainkan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki. Misalnya, seorang mahasiswa dapat menyampaikan aspirasi dan keresahannya melalui demonstrasi, sedangkan seorang pejabat atau pembuat kebijakan dapat bertindak melalui kebijakan yang diambilnya.

Demonstrasi, dalam konteks ini, bisa dianggap sebagai salah satu bentuk usaha untuk menjadi perantara bagi mereka yang tertindas atau mengalami kesulitan. Ketika rakyat turun ke jalan untuk menyuarakan kebenaran dan menuntut keadilan dari pemimpin yang zalim, mereka sejatinya sedang menjalankan ajaran Islam yang mendorong umatnya untuk saling tolong-menolong dalam kebaikan.

Allah bahkan mengganjar seseorang yang menjadi jembatan aspirasi umat Muslim dengan balasan kemudahan di hari kiamat, sesuai dengan sabda Rasulullah,

“مَن كان وُصْلَةً لأخيهِ المسلمِ إلى ذي سلطانٍ في مبلغِ برٍّ ، أو تيسيرِ عسيرٍ ، أعانَهُ اللهُ على إجازةِ الصِّراطِ يومَ القيامةِ ، عندَ دحضِ الأقدامِ”

Artinya

“Orang yang menjadi perantara bagi saudaranya yang Muslim kepada pemimpin dalam hal kebaikan atau memudahkan perkara yang sulit, maka Allah akan menolongnya untuk melewati jembatan (shirath) pada hari kiamat, ketika kaki-kaki tergelincir.”

Dua hadis di atas mengingatkan bahwa melawan kezaliman bukan hanya tanggung jawab moral, tetapi juga bagian dari ajaran Islam yang menganjurkan kita untuk selalu berpihak pada kebenaran dan keadilan.

Bukan berarti karena itu adalah ajaran Islam lalu disodorkanlah solusi ‘khilafah’ itu untuk memberangus kezaliman dalam demokrasi. Ini adalah logika fatal yang sering kali muncul dari pikiran-pikiran kelompok radikal ekstremis. Jika rumah yang bocor atapnya, solusinya adalah dengan memperbaiki atapnya, bukan membangun rumah baru.

Praktik demonstrasi memang rentan melahirkan anarkisme. Oleh sebab itu, semua lini masyarakat perlu menyadari bahwa demonstrasi bukan semata mengandalkan aktivisme fisik belaka, tetapi gagasan itulah yang diprioritaskan. Aksi anarkisme, kebrutalan, dan kekerasan hanya akan menjadi bahan bakar kelompok radikal ekstremisme untuk semakin memporak-porandakan persatuan bangsa Indonesia.

Demokrasi yang menjadi nafas NKRI adalah rumah yang disepakati sejak awal Indonesia merdeka. Baik dan buruk yang mengiringi perjalanan praktik demokrasi adalah bagian dari catatan yang perlu kita perbaiki bersama. Demonstrasi adalah satu dari sekian cara yang bisa dipergunakan warga negara untuk memperbaiki rumah bersama itu. Demonstrasi bukan sekadar ekspresi ketidakpuasan, melainkan bentuk nyata dari tanggung jawab seorang Muslim untuk menegakkan keadilan dan membela mereka yang terzalimi.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

12 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

12 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

12 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

12 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago