Narasi

Denyut Nadi ISIS di Nusantara

Mengutip laporan Washington Post, seperti dikutip oleh Kompas, ISIS masih memiliki sekitar 10.000 pejuang aktif dari tahun 2020-2022. Artinya, sejak kekalahannya, ISIS masih menyimpan kemampuan dan kemauan untuk melanjutkan teror berkepanjangan.

Pada 26 Januari 2022, misalnya, kurang lebih sepekan sebelum serangan yang menewaskan pemimpin ISIS Imam Quraishi, militan ISIS melancarkan serangan yang kompleks dan terkoordinasi di penjara Hasaka, Suriah timur laut. Penjara ini menampung lebih dari 3.000 tersangka anggota ISIS dan hampir 700 anak dari para anggota ISIS.

Kasus-kasus ini terjadi hanya dalam kurun dua tahun. Karena itu, wajar jika banyak negara, termasuk Indonesia, yang masih mempertimbangkan memulangkan eks. simpatisan ISIS dari Suriah kembali ke Indonesia. Kekhawatiran itu bukan hanya karena akan menularkan paham ekstremisme-nya ke masyarakat, namun juga membuka lebar potensi aksi terorisme terbuka oleh eks. simpatisan ISIS yang kembali ke negaranya.

Peneliti terorisme Sydney Jones dari Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) menyatakan bahwa meskipun simpatisan ISIS tersebar luas, sel-sel dengan kapasitas melakukan aksi kekerasan mungkin tidak lebih dari sepuluh kelompok. Namun, jumlah ini tetap dianggap cukup berbahaya.

Misalnya, kasus bom Marawi di Filipina 2023 yang mampu men-trigger oknum di Indonesia untuk mendukung aksi-aksi militansi ISIS. Pasca bom misa di Filipina, beberapa akun di Facebook lokal justru mengapresiasi dan mensyukuri serangan itu.

Mereka menganggap bahwa peledakkan itu tepat sasaran karena berhasil menewaskan orang-orang ‘kafir’  yang mengganggu realisasi syariat Islam di Filipina. Satu akun bahkan menulis ‘alhamdulillah’ dengan melampirkan korban-korban dalam tragedi itu. Realitas ini menunjukkan denyut nadi ISIS yang masih dan terus berdetak di Indonesia.

Belajar dari Tetangga, Malaysia

Serangan di kantor polisi Ulu Tiram, Johor, pada 17 Mei 2024, yang dilakukan oleh Radin Luqman bin Radin Imran yang berusia 20 tahun, merupakan sebuah peristiwa penting yang menandai pergeseran fundamental dalam lanskap ancaman terorisme di Malaysia.

Insiden ini, yang menewaskan dua petugas polisi, pada awalnya secara keliru dikaitkan dengan Jemaah Islamiyah (JI) karena riwayat keluarga pelaku. Namun, penyelidikan lebih lanjut mengklasifikasikannya sebagai serangan yang diilhami oleh ideologi ISIS dan dipengaruhi oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD). Kesalahan atribusi awal ini menunjukkan kemungkinan adanya bias intelijen yang masih terpaku pada ancaman lama (JI) dan belum sepenuhnya beradaptasi dengan dinamika ancaman baru yang lebih cair.

Faktor yang paling menonjol dari insiden ini adalah peran sentral ayah penyerang, Radin Imran. Ia adalah seorang mantan anggota JI yang telah mengadopsi ideologi takfiri JAD dan secara sistematis mendoktrin putranya dalam lingkungan keluarga yang sangat terisolasi.

Serangan Ulu Tiram adalah salah satu “puncak gunung es”. Pada periode 2024-2025, Malaysia menunjukkan peningkatan signifikan dalam kasus terorisme yang terkait dengan radikalisasi mandiri secara online. Laporan media menunjukkan bahwa 54% kasus terorisme di negara ini melibatkan dukungan untuk anggota ISIS melalui platform online. Tingkat penetrasi internet yang sangat tinggi di Malaysia, yang mencapai lebih dari 97% populasi, menciptakan lingkungan yang subur bagi penyebaran propaganda ekstremis.

Facebook diidentifikasi sebagai platform paling populer untuk penyebaran konten ini, diikuti oleh Telegram, Instagram, dan TikTok. Jaringan media pro-ISIS berbahasa Melayu, seperti At-Tamkin Malay Media Foundation dan Al-Aan Foundation, secara aktif memproduksi dan menyebarkan konten rekrutmen yang disesuaikan dengan audiens lokal.

Mereka seringkali mengemas narasi jihad global dengan mengaitkannya pada isu-isu yang memiliki resonansi emosional di kalangan umat Islam, seperti konflik di Gaza, untuk memobilisasi dukungan dan merekrut anggota baru.

 

ISIS “Terengah-engah” di Indonesia

Pada periode 2024-2025, Jamaah Ansharut Daulah (JAD), yang pernah menjadi jaringan pro-ISIS terbesar dan paling mematikan di Indonesia, semakin kehilangan kekuatan organisasinya secara signifikan.

Keberhasilan operasi penegakan hukum yang masif dan berkelanjutan oleh Detasemen Khusus 88 (Densus 88) sejak serangan bom di Surabaya pada tahun 2018 secara efektif melumpuhkan struktur komando dan kontrolnya. Akibatnya, JAD mau tak mau bermetamorfosis menjadi konstelasi sel-sel yang terdesentralisasi, terisolasi, dan seringkali hanya terdiri dari satu atau dua individu.

Data penangkapan pada tahun 2024 secara kuantitatif mengkonfirmasi degradasi organisasi yang parah ini. Dari total tersangka teroris yang ditangkap pada tahun 2024, hanya 27.5% yang merupakan individu pro-ISIS, dan dari jumlah tersebut, hanya lima orang yang secara eksplisit berafiliasi dengan JAD. Angka ini menunjukkan penurunan drastis dibandingkan tahun 2023, di mana individu pro-ISIS menyumbang 43.5% dari total penangkapan.

Meskipun demikian, sisa-sisa sel JAD masih menunjukkan tanda-tanda kehidupan dalam skala kecil. Penangkapan pada September 2024 di Bima, Nusa Tenggara Barat, mengungkap seorang emir regional yang masih aktif mengorganisir pelatihan fisik dan lingkaran studi (halaqah).

Terbaru, dalam sebuah operasi senyap yang berlangsung pada 3-6 oktober 2025 di Sumatera Barat dan Sumatera Utara, empat terduga teroris berhasil diamankan Densus 88.

Operasi ini menjaring empat individu yang tergabung dalam kelompok Ansharut Daulah. Keempat orang terduga teroris ini bukanlah kombatan lapangan, melainkan admin digital yang aktif beroperasi di media sosial. Mereka berbagi peran layaknya sel yang terorganisir.

Dua orang bertindak sebagai kreator konten yang memproduksi propaganda daulah ISIS, sisanya bertugas sebagai distributor yang menyebarkan materi provokatif termasuk gambar senjata api. Ada juga admin yang berperan sebagai provokator yang aktif mengobarkan semangat untuk melakukan aksi teror. Ini menunjukkan bahwa meskipun pusat komando JAD telah lumpuh, ideologi dan unit-unit lokalnya masih berupaya untuk bertahan dan beregenerasi.

Meskipun secara fisik dan organisasional “terengah-engah”, denyut nadi ideologi ISIS di Nusantara sama sekali belum berhenti. Di saat yang sama, Indonesia merepresentasikan keberhasilan dalam perang melawan terorisme yang signifikan.

Tapi kesuksesan ini cenderung berkutat pada pencegahan jaringan terorisme terstruktur model lama. Data kuantitatif penurunan drastis penangkapan anggota pro-ISIS boleh saja dibilang efektifitas pencegahan kita. Tetapi, penangkapan sel digital di Sumatera pada Oktober 2025 menjadi peringatan keras bahwa ketika kepala itu hilang, ratusan sel mandiri di ruang online siap untuk bergerak kapan saja, menjadikan ancaman terorisme lebih terdesentralisasi dan tak terduga.

Gatot Sebastian

Recent Posts

Membedah Strategi Propaganda ISIS Generasi Baru di Indonesia

Penangkapan sejumlah terduga teroris oleh Densus 88 beberapa hari lalu seharusnya tidak lagi kita baca…

2 jam ago

Mempertahankan Narasi Islam Moderat di Tengah Tantangan Ideologis

Gerakan yang terafiliasi dengan ISIS kini menghadirkan tantangan baru dalam ranah ideologi. Dulu, kelompok ini…

4 jam ago

Membongkar Misi JAD; Menjadikan Nusantara Sebagai Provinsi Resmi ISIS

Jamaah Ansharud Daulah alias JAD tidak bisa dianggap sepele. Organisasi yang didirikan oleh Oman Abdurrahman…

22 jam ago

Benarkah Islam Nusantara dan Moderasi Beragama Adalah Agenda Barat untuk Melemahkan Islam?

Kelompok ekstremis itu bergerak di dua ranah. Ranah gerakan yang fokus pada perencanaan dan eksekusi…

1 hari ago

Migrasi ISIS ke Ranah Virtual: Bagaimana Ikonografi Menjadi Medium Pencitraan Ekstremisme?

Beberapa hari lalu, Detasemen Khusus 88 menangkap empat terduga terorisme di Sumatera Utara. Keempatnya diketahui…

1 hari ago

Game Online dan Soft Propaganda: Waspada Cara Baru Meradikalisasi Anak

Perubahan strategi terorisme di Indonesia dan secara global telah mengalami perubahan yang cukup signifikan. Mereka…

4 hari ago