Narasi

Digital Parenting; Ikhtiar Menghindarkan Anak dari Radikalisasi Online 

Setiap zaman melahirkan generasinya sendiri, dan setiap generasi pasti punya tantangannya sendiri. Ungkapan klasik ini kiranya relevan untuk menggambarkan situasi kiwari. Hari ini, kita hidup di abad digital yang menghadirkan beragam tantangan. 

Di abad digital ini, masyarakat umumnya terbagi ke dalam dua kategori besar, yakni digital immigrant dan digital native. Istilah digital immigrant merujuk pada kelompok masyarakat yang lahir sebelum era digital. Yang termasuk golongan ini adalah generasi baby boomer dan milenial awal. 

Sedangkan digital native merujuk pada kelompok yang lahir di era digital, yakni milenial akhir dan generasi Z. Digital native ini sejak lahir sudah mengenal teknologi digital dalam kehidupan individu maupun sosialnya.

Diantara digital native itu anak-anak. Sebagai digital native, anak-anak terbiasa hidup di dunia dunia, yakni alam nyata dan alam virtual. Mereka berkomunikasi, berinteraksi, dan bertukar informasi di dunia maya yang serba bebas dan terbuka.

Dua Sisi Teknologi Digital

Kondisi itu bukan tanpa menimbulkan persoalan. Internet dan media sosial selalu menyisakan sisi gelap yang membahayakan bagi siapa pun yang masuk di dalamnya. Dalam konteks anak-anak, dunia virtual telah menjadi ruang tempat menyebarnya beragam konten negatif.

Mulai dari kekerasan, pornografi, hingga propaganda ideologi radikal.Semenjak masifnya internet dan medsos, propaganda rasikalisme dan ekstremisme kini lebih banyak dilakukan di kanal-kanal dunia maya.

Di ranah digital, radikalisasi bisa dilakukan tanpa melalui perantara langsung atau bergabung ke organisasi tertentu. Hari ini, anak-anak bisa mengalami proses radikalisasi diri hanya dengan mengonsumsi konten keagamaan yang disusupi ajaran kekerasan dan teror.

Di tengah kondisi yang demikian inilah, digital parenting sangat urgen dan relevan. Digital Parenting pada dasarnya adalah corak pengasuhan anak di era digital. Konsep ini muncul sebagai respons atas transformasi zaman dari era analog ke digital seperti sekarang. Digital parenting bertujuan membangun kesadaran anak tentang bagaimana menjalani hidup di era digital dan memberikan pemahaman tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan di ranah daring.

Secara umum, digital parenting berorientasi pada sejumlah hal. Antara lain, mengenalkan anak pada teknologi digital disertai penjelasan ihwal apa sisi positif sekaligus negatif dari piranti tersebut.

Anak-anak harus diberikan pemahaman bahwa tekonologi digital bisa membantu kehidupan mereka, misalnya mencari informasi atau pengetahuan, namun di sisi lain tekonologi digital juga berpotensi menimbulkan persoalan. Misalnya seperti sebaran berita palsu, konten kekerasan, cybercrime, hingga propaganda ideologi ekstrem. 

Pentingnya Literasi Digital bagi Anak

Langkah selanjutnya, membangun literasi digital yang kuat sejak dini. Literasi digital harus dimulai dari rumah dan orang tua harus menjadi contoh ideal bagaimana berinternet secara sehat. Orang tua harus memberikan pemahaman terkait bagaimana memilih dan memilih konten yang layak dikonsumsi di dunia maya. Artinya, anak-anak harus dibekali kemampuan untuk mengidentifikasi hal-hal negatif di internet dan memiliki mekanisme filterisasi yang efektif. 

Selain membekali dengan literasi digital yang kuat, bagaimana pun juga orang tua tetap harus mengontrol perilaku dan aktivitas anaknya ketika bersinggungan dengan teknologi digital. Di titik ini, orang tua harus mengawasi aktivitas anak di internet; termasuk situs apa saja yang dia akses, konten seperti apa yang ia tonton, dan dengan siapa saja mereka berinteraksi dunia maya

 Ini bukan berarti orang tua menerapkan pola pengasuhan otoriter. Melainkan lebih sebagai tindakan preventif agar anak-anak tidak terjebak pada konten-konten negatif, terutama yang menjurus pada ekstremisme dan kekerasan. 

Lebih spesifik dalam konteks mencegah radikalisasi dating, orang tua wajib hadir dalam proses tumbuh kembang anak. Termasuk mengenali tahapan-tahapan perkembangan atau perubahan psikologisnya. Anak-anak secara natural memang memiliki rasa penasaran yang tinggi. Termasuk dalam hal keagamaan.

Naluri alamiah anak adalah bertanya dan ingin tahu serta merasakan hal-hal baru. Dorongan alamiah ini tentu tidak bisa diredam apalagi dihapus. Disini, peran orang tua sangat krusial dalam membimbing anaknya mendapatkan jawaban atas pertanyaan filosofis dan eksistensial yang muncul dari alam bawah sadar anak.

Jika tidak, anak akan mencari jawabannya sendiri, terutama melalui kajian-kajian keagamaan yang bertaburan di dunia maya. Persoalannya adalah, banyak kajian keagamaan yang disusupi oleh narasi-narasi konservatisme, radikalisme, dan ekstremisme. Inilah yang menjadi pintu masuk anak mengalami radikalisasi diri (self-radicalization) secara daring. 

Arkian, mengasuh anak di era digital memang tidak mudah. Tersebab, tantangan yang kian kompleks. Apalagi dengan masifnya propaganda rasikalisme di dunia maya. Peran orang tua menghindarkan anaknya dari paparan virus radikal kiranya dapat dilakukan dengan menanamkan paradigma moderasi beragama sejak dini.

Orang tua harus mengajarkan anak ihwal praktik dan cara pandangan keagamaan yang toleran pada perbedaan, setia pada falsafah bangsa, adaptif pada kearifan lokal, dan anti-kekerasan. Paradigma moderasi beragama itu akan menjadi semacam antidote dari racun-racun ekstremisme yang menyebar melalui medium digital hari ini. 

This post was last modified on 4 Oktober 2023 3:43 PM

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

22 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

22 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

23 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

23 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

2 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

2 hari ago