Narasi

Digitalisasi Sumpah Pemuda; Menjadikan TikTok Sebagai Aparatus Ideologi

Jika ditanya, apa media sosial paling populer bagi gen Z dan gen Alpha, maka jawabannya tidak diragukan adalah TikTok. Platform media sosial berbasis video pendek ini begitu digandrungi anak-anak, remaja, dan kaum muda. Sebagian dari kita kerap sinis dengan menyebut TikTok sebagai medsos joget-joget. Padahal, jika kita melihat lebih obyektif, TikTok lebih dari sekedar medsos ajang joget.

Salah satu hal menarik dari TikTok adalah pola algoritmanya yang cendrung demokratis untuk juga mengatakan egaliter. Bayangkan, sebuah akun kecil dengan follower puluhan bisa mendapatkan view penonton ratusan ribu bahkan jutaan hanya dalam beberapa jam setelah video diunggah.

Beda halnya dengan Instagram apalagi YouTube yang cenderung tidak memberikan ruang bagi akun-akun dengan follower kecil. Tiktok mirip seperti pasar bebas gagasan dimana setiap opini dan narasi dikontestasikan secara terbuka dan bebas. Maka, tidak mengherankan jika Tiktok menjadi medsos favorit untuk mengiklankan produk sekaligus juga menyebarkan pemikiran bahkan ideologi.

Sebagai pasar bebas, algoritma TikTok menyumbang andil dalam membentuk preferensi anak-anak, remaja, dan kaum muda pada gaya hidup, cara pandang, dan perilakunya. Termasuk dalam kehidupan sosial keagamaan.

Pada titik tertentu, TikTok juga menjadi semacam medium perlawanan budaya, bahkan politik terhadap status quo. Generasi Z banyak menggunakan TikTok untuk menyuarakan aspirasinya dalam banyak isu. Mulai dari isu korupsi hingga kerusakan lingkungan.

Meski secara umum, TikTok lebih sering menjadi simbol identitas kaum muda dan remaja. Bagi kelompok ini, TikTok adalah simbol sebuah generasi. Gen Z belum dianggap eksis juga belum punya akun TikTok. 

Meminjam istilah Yasraf Amir Piliang, TikTok adalah aparatus ideologi yang efektif untuk menanamkan ide-ide tertentu ke kalangan anak muda, remaja, bahkan anak-anak. Dengan menggabungkan antara teks, video, dan musik, TikTok menjadi sarana ideologisasi baru.

Maka, jika dulu aparatus ideologi itu mewujud pada kegiatan seperti Penataran P4 (Pedoman Penbahatan dan Pengamalan Pancasila) yang menarget calon pegawai negeri sipil dan anak sekolah, maka hari ini, TikTok sangat potensial sebagai aparatus ideologi baru. 

Nilai-nilai nasionalisme dan persatuan tidak perlu disebarkan melalui kegiatan formal l dan terkesan militeristik serta membosankan untuk gen Z apalagi gen Alpha. Fitur interaktif TikTok kiranya mampu menjadi sarana edukasi ideologi yang efektif menyasar kalangan anak-anak, remaja, dan anak muda. Tidak terkecuali dalam konteks menanamkan kembali spirit Sumpah Pemuda. 

Kita tentu tidak ingin Sumpah Pemuda berakhir sebagai artefak sejarah. Sumpah Pemuda harus hadir kembali sebagai sebuah nilai di kalangan gen Z dan Alpha. Spirit cinta tanah air dan menjunjung persatuan sebagai hakikat Sumpah Pemuda harus direjuvinasi agar relevan dengan gaya hidup dan tren kaum muda.

Sumpah Pemuda tidak perlu disakralisasi, apalagi dimonumenkan. Prinsip Sumpah Pemuda harus menjadi tren di kalangan generasi kekinian. Tidak ada cara lain kecuali mengemas ulang nilai Sumpah Pemuda melalui pendekatan yang lebih populer. 

Digitalisasi Sumpah Pemuda adalah upaya menghadirkan ulang nilai Sumpah Pemuda dalam paradigma digital minded. Jika dulu, Sumpah Pemuda digaungkan secara lisan melalui jaringan organisasi kepemudaan dan media cetak yang terbatas jangkauannya, kini nilai Sumpah Pemuda idealnya diamplifikasi melalui media sosial terutama TikTok yang potensial sebagai media edukasi ideologi.

Efektivitas TikTok sebagai aparatus ideologi telah dibuktikan oleh kaum ekstremis kanan. Mereka sudah terlebih dahulu menjadikan platform tersebut sebagai sarana radikalisasi. Sayangnya, kaum nasionalis cenderung abai pada kenyataan itu. Tidak ada kata terlambat untuk merebut kembali ruang kontestasi ideologi itu.

Kuncinya adalah merebut algoritma TikTok dengan membanjiri platform tersebut dengan konten yang mempromosikan nasionalisme dan persatuan. Sekali lagi, Sumpah Pemuda tidak untuk disakralkan. Sebuah konten “jedag-jedug” yang mempromosikan nasionalisme bukanlah bentuk penghinaan, namun harus dipahami sebagai pendekatan baru dalam merangkul anak muda. 

Setiap zaman melahirkan generasinya sendiri. Angkatan 1928 merumuskan hakikat Keindonesiaan melalui deklarasi Sumpah Pemuda. Mereka membentuk organisasi kepemudaan dengan simpul-simpul kedaereahan yang kuat. Mereka merumuskan masa depan Indonesia dengan perjuangan fisik melawan penjajah. 

Gen Z dan Gen Alpha adalah generasi yang dilahirkan dari rahim modernitas akhir. Masa ketika teknologi digital menjadi kiblat gaya hidup dan pemikiran. Kita tidak bisa memaksa gen Z dan Alpha mendekati sejarah dengan nalar sakralisasi, heroisasi, apalagi glorifikasi. Mereka butuh sebuah narasi inspiratif yang menggugah, bukan menggurui, menginspirasi, bukan mengintimidasi. 

 

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

1 jam ago

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

  Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka.…

1 jam ago

Era Disrupsi, Radikalisme, dan Kasunyatan

Terdapat sebuah kearifan lokal, dalam hal ini kejawen, tentang sebentuk dasar epistemologis yang disebut sebagai…

21 jam ago

Ketika Sumpah Pemuda Diuji di Dunia Digital

“Persatuan hari ini tidak lagi diuji di medan perang, melainkan di ruang digital, tempat algoritma…

21 jam ago

Generasi Scroll Culture; Meng-Endorse Sumpah Pemuda di Jagat Maya

Hari ini, Sumpah Pemuda itu tinggal sejarah. Tertulis di banyak buku tapi jarang dijamah. Tergambar…

21 jam ago

Algoritma Terorisme: Jejak Radikalisasi di Media Baru-Jurnal Jalan Damai Vol. 1. No. 8 Oktober 2025

Salam Damai, Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa atas terbitnya Jurnal Jalan…

4 hari ago