Narasi

Doktrin Sesat Lahirnya “Mujaddid” Kebangkitan 100 Tahun Khilafah

Tahun 2024, bertepatan dengan genap-nya 100 tahun keruntuhan kekhalifahan Turki Utsmani (1924-2024). Bagi kelompok penegak khilafah, momentum ini dipahami sebagai tanda kebangkitan khilafah.

Para pengasong khilafah ini sebetulnya tidak memiliki dasar apapaun. Dalam konteks argumentasi teologis, jelas tidak ada dalil yang pasti dan membenarkan tegaknya khilafah. Lalu, cara-cara serampangan mereka gunakan. Seperti mengaitan  sesuatu yang sebetulnya tidak berkaitan.

Misalnya, mengaitkan hadits yang diriwayatkan oleh HR. Abu Daud. Rasulullah SAW menyebutkan, akan lahir seorang (ulama’) setiap 100 tahun sekali. Dia akan memperbarui urusan agama yang dikenal sebagai (Mujaddid).

Meluruskan Pemahaman Tentang Sosok Mujaddid

Istilah “Mujaddid” mereka menyimpulkan secara keliru. Justru dipahami sebagai sosok (mujahid) pejuang penegak khilafah. Padahal, istilah “Mujaddid” secara epistemologis, bukan berkaitan dengan politik kekuasaan. Melainkan mengacu kepada lahirnya sosok pembaruan atau dikenal dengan (kontekstualisasi) nilai-nilai keislaman agar relevan dengan zaman dan  perubahan.

Mengapa? Karena perubahan/perbaikan entitas keislaman dari (cara tafsir) yang cenderung politis dan destruktif itu penting. Sebab, paradigma keislaman kita saat ini cenderung destruktif, eksklusif, radikal dan intolerant. Bahkan semakin banyak kelompok yang berupaya merusak “marwah keislaman” dengan melegitimasi ajaran-Nya untuk melakukan kezhaliman.

Jadi, sosok “Mujaddid” di setiap 100 tahun bukan lahirnya segerombolan preman agama untuk mengambil kekuasaan. Ini berkaitan dengan kesadaran kita dalam memperbaiki kesilaman yang destruktif agar konstruktif. Siapapun kita bisa menjadi sosok “Mujaddid” itu.

 Sosok “Mujaddid” bukanlah sosok yang haus akan kekuasaan. Tetapi sosok yang peduli akan perbaikan dan mengembalikan nilai keislaman yang bisa membawa rahmat. Maka, di sinilah ada harapan dalam memperbaiki corak kebersilaman yang konstruktif terhadap persatuan bangsa.

Misalnya, menjadikan paradigma nasionalisme, semangat persatuan, semangat anti konflik dan anti kebencian di dalam Al-Qur’an. Harus kokoh secara eksistensial dalam paradigma keislaman kita saat ini. Jadi membangun perubahan dari nilai-nilai keagamaan yang penuh kebencian agar penuh kasih-sayang.

Mengapa ini penting? Karena Islam telah sejak lama dirusak, dinodai dan bahkan direndahkan dengan tindakan-tindakan yang melanggar kemanusiaan. Islam dilecehkan dengan sikap yang penuh kebencian, penuh kezhaliman dan gemar merusak tatanan. Semua kesesatan yang semacam inilah di puncak 100 tahun kejatuhan Islam dengan lahirnya sosok pembaru (“Mujaddid”) dapat menghapus segala kemudharatan yang semacam itu.

Semua ajaran Islam di dalam Al-Qur’an tentang larangan berbuat zhalim, membenci, larangan merusak tatanan dan larangan memecah-belah. Semua ajaran Islam semacam itu seakan “disembunyikan” dari corak keislaman umat. Islam selalu ditampakkan dengan ajaran yang penuh amarah, bukan ramah. Maka, kekeliruan semacam itulah yang harus diperbaiki dengan hadirnya sosok ulama “Mujaddid” dengan semangat membawa wajah keislaman yang membawa maslahat bagi tatanan bangsa kita.

Pembaruan Islam di momentum genap-nya 100 tahun kejatuhan Islam yang melahirkan sosok “Mujaddid”. Itu sejatinya bukan untuk memodifikasi apalagi dianggap mengubah ajaran Islam. Melainkan, (mengembalikan ajaran Islam) yang cenderung moderat dalam menjaga tatanan agar tidak terjadi kecamuk pertumpahan darah.

Paradigma keislaman yang moderat berada dalam garis keseimbangan. Tidak cenderung ekstrem kanan yang cenderung ingin merusak tatanan. Yaitu menghadirkan Islam yang lebih humanis, merangkul perbedaan dengan prinsip (saling menghargai). Yaitu Islam yang tumbuh dengan peradaban yang peduli akan nilai-nilai sosial-kemanusiaan di tengah kemajemukan. 

Lahirnya ulama “Mujaddid” tidak hanya dalam konteks keagamaan yang sifatnya individual. Tetapi berperan dalam lanskap sosial, politik dan hukum dalam menghidupkan paradigma keislaman yang membawa rahmat bagi seluruh umat. Utamanya umat Indonesia dalam menjaga tatanan dan persatuan di negeri ini.

Jadi, kita harus memahami bahwa lahirnya ulama “Mujaddid” itu bukan kebangkitan khilafah di setiap 100 tahun sekali yang disampaikan Nabi dalam sebuah hadits itu, adalah tugas kita bersama sebagai (umat Islam) dalam mengembalikan corak keislaman yang rahmatan lil alamin di tengah praktik kesesatan kemudharatan lil alamin.

This post was last modified on 8 Januari 2024 1:03 PM

Nur Samsi

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

7 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

7 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

7 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago