Saya sering membatin bahwa kultur sosial Indonesia masih terlalu konservatif manakala mengaggap bahwa perempuan hanya bisa mengurusi keluarga. Perempuan dianggap tidak mempunyai peran lebih dalam hal apapun. Asumsi demikian mungkin tidak berlaku di kota-kota besar, melainkan masih sangat kental di daerah kota-kota kecil dan pedesaan.
Akibat budaya patriarki yang masih kental di masyarakat, perempuan masih dipandang sebagai kelompok rentan dan tak berdaya. Patriaki merupakan sebuah sistem yang menganggap kaum laki-laki ditakdirkan untuk mengatur perempuan. Mirisnya, budaya patriarki bahkan berlaku hampir di seluruh dunia. Padahal, di balik kesuksesan seorang lelaki, terdapat peran perempuan yang begitu besar.
Terbangunnya budaya patriarki inilah yang menyebabkan perempuan, hingga kini masih sedikit kiprahnya dalam membangun peradaban. Perempuan pada akhirnya dieksploitasi menjadi tenaga kerja di pabrik-pabrik dalam dunia bisnis. Lebih mengerikan, perempuan dijadikan sasaran radikalisme dan terorisme baik sebagai pelaku ataupun korban.
Sejumlah kasus kekerasan dan terorisme yang melibatkan perempuan di tanah air karena pengaruh dan tekanan sosial yang termarjinalkan. Sehingga perempuan, sering kali tersingkirkan dari arus utama kehidupan modern. Hal ini sejalan dengan pernyataan Arendt (1971), bahwa akar terorisme adalah perasaan ditinggalkan dan ketidakberdayaan menghadapi prestasi peradaban modern yang dicapai manusia sendiri. Sehingga, mereka yang diasingkan akan mencari perlindungan dari komunitas primordial semisal agama.
Melibatkan Perempuan Dalam Pencegahan Radikalisme
Hal pertama yang harus dipahami dan disadari bahwa perempuan mempunyai peran yang tak kalah pentingnya dengan peran laki-laki. Dalam hal pencegahan radikalisme misalnya, peran perempuan bahkan melebihi peran lelaki. Namun sayangnya, perempuan kerap kali tidak diberikan ruang lebih luas dalam mengupayakan hal tersebut.
Melibatkan perempuan dalam upaya mencegah kontra-radikalisme seharusnya menghindari stereotip gender yang menimbulkan masalah tersendiri terhadap perempuan. Oleh karenanya, terdapat beberapa hal yang harus dipahami dalam konteks ini.
Pertama, menghapus asumsi bahwa perempuan hanyalah korban ekstremisme kekerasan. Perempuan juga bisa membuat gebrakan untuk memerangi radikalisme. Kedua, Dalam upaya mencegah radikalisme sering kali tidak melibatkan dan memperhatikan peran perempuan karena dianggap hanya sebagai ibu dan istri saja. Asumsi dangkal demikian harus dihilangkan berdasarkan pengalaman dan keahlian perempuan.
Ketiga, membicarakan perempuan tidak serta merta hanya sebagai perempuan dan gender, tetapi perempuan juga memiliki ruang di semua level kehidupan. Keempat, memposisikan laki-laki sebagai mitra dan pendukung dalam perjuangan melawan radikalisme, bukan memposisikan lelaki sebagai musuh perempuan.
Ketika stereotip gender dan budaya patriarki bisa dihilangkan, maka langkah selanjutnya ialah memberdayakan perempuan. Upaya pemberdayaan perempuan bisa dilakukan dengan berbagai program penguatan ekonomi, peningkatan kapasitas diri dan memperkuat kapasitas perempuan sebagai aktor perdamaian.
Hal sederhana dapat dilakukan melalui program kesadaran akan bahaya radikalisme di tingkat desa. Contohnya, Kepala desa melalui programnya diharapkan bisa melatih perempuan yang ada di desa baik secara personal maupun kelompok seperti posyandu, karang taruna, kesenian, dan lain sebagainya untuk bisa menangkal gerakan radikalisme dan meningkatkan toleransi.
Terlaksananya pemberdayaan perempuan pada aspek ekonomi, hukum, maupun budaya akan membangun gerakan untuk mengatasi akar permasalahan ekstremisme dan radikalisme baik dalam ruang keluarga atau lingkup yang lebih luas. Dalam masyarakat patriarki, perempuan dapat memainkan peran utama dalam keluarga untuk membentuk norma dan tradisi. Sehingga, kesetaraan gender mampu menurunkan jaungkauan terorisme.
Peran perempuan dalam kontra-radikalisasi lebih banyak diakui meskipun selama ini masih terbatas pada keluarga saja. Namun sebenarnya, peran perempuan dalam pencegahan radikalisme dapat melampaui lingkaran keluarga, yakni melalui komunitas seperti yang dilakukan oleh Wahid Foundation yang selalu membangun dialog dan memperkuat toleransi dalam masyarakat.
This post was last modified on 6 Januari 2024 3:10 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…