Narasi

Efek Echo Chamber; Gema Teror melalui Media Sosial yang Membahayakan

Internet telah menjadi kebutuhan primer masyarakat saat ini, terlebih generasi muda baik generasi milenial maupun Gen Z. Internet memberikan fasilitas paling mudah orang-orang dapat saling berhubungan serta mengakses informasi dengan cepat tentang berbagai hal. Informasi tentang pendidikan, hiburan, berita, dan bahkan pembelajaran dan pengkajian agama dengan mudah bisa diakses di internet.

Terlebih lagi dengan munculnya berbagai platform media sosial seperti Facebook, Twitter, YouTube, WhatsApp dan sejenisnya lebih mempermudah lagi pola konsumsi materi keagamaan. Alhasil, kegemaran belajar agama melalui media internet dan media sosial meningkat tajam, terutama dikalangan anak-anak muda. Seakan mereka menemukan tempat untuk belajar agama secara mudah tanpa ribet harus datang bertemu langsung dengan guru, ustadz atau kiai.

Itulah dampak positif media sosial dalam konteks beragama, memberikan akses yang cepat dan mudah untuk mempelajari agama. Bagi mereka yang memiliki sedikit waktu luang karena kesibukan dan orang-orang yang tidak memiliki latar belakang pendidikan agama sebelumnya, belajar agama di media sosial menjadi alternatif paling mudah, metode yang sangat praktis serta terjangkau.

Namun dibalik dampak positif media sosial berupa kemudahan belajar agama ada dampak negatif. Dampak berupa kemudharatan apabila tidak diantisipasi dan disadari justru akan menimbulkan efek-efek negatif terhadap keberagamaan. Misal, terjadinya polarisasi serta pemahaman agama yang parsial dan terkotak-kotak. Suatu cara pandang keagamaan yang literlek, hanya menangkap kulit melupakan isi. Klaim kebenaran sepihak yang kemudian memantik konflik adalah salah satu akibat negatif tersebut. Di antara penyebabnya adalah apa yang dalam kajian media disebut “efek echo chamber”.

Efek Echo Chamber Berpotensi Memicu Perkembangan Radikalisme

Echo chamber atau ruang gema adalah situasi di mana seseorang hanya mencari dan menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri. Hal ini berpotensi terjadinya mis komunikasi dan mendistorsi perspektif sehingga sulit untuk menerima sudut pandang yang berbeda. Seseorang hanya mengkonsumsi informasi yang ia percayai dan membuang jauh-jauh serta menolak informasi yang berbeda dengan pendapatnya.

Paham intoleran dan radikal yang saat ini tengah berkembang pemicunya adalah pemahaman agama yang parsial di media sosial seperti ini. Kaum muda yang memilih media sosial sebagai media belajar ilmu agama sangat berpotensi terjebak ke dalam polarisasi pemahaman agama model seperti itu. Mereka cenderung mengkonsumsi materi agama secara cepat, instan dan praktis. Pemahaman agama yang rigid, hitam-putih, benar-salah dan yang jelas anti perbedaan pendapat.

Akibatnya, seperti banyak kita temukan di media sosial, adalah terkikisnya peran-peran tokoh agama yang otoritatif. Tidak sedikit kalangan yang belajar ilmu agama kilat bermodalkan video-video dan tulisan singkat yang banyak bertebaran di media sosial berani mendebat tokoh agama yang memiliki sanad dan kompetensi keilmuan mumpuni.

Parahnya lagi, popularitas dan banyaknya pengikut seringkali dijadikan kiblat beragama daripada validitas dan kompetensi. Hal ini membuat ruang keagamaan di media sosial semakin tidak karuan. Terutama kalangan muda, mereka larut dalam sebuah pemahaman keagamaan yang sengaja digiring oleh kelompok radikal.

Kerentanan anak-anak muda terpengaruh paham radikal sebab efek echo chamber mengingat di media sosial fatwa-fatwa radikal lebih banyak dibanding fatwa-fatwa keagamaan yang moderat dan toleran. Tentu saja, fatwa-fatwa liar yang bercorak radikal lebih banyak dibaca sehingga paham radikal lebih dulu mempengaruhi mereka, kemudian anak-anak muda itu enggan untuk membandingkan dengan paham keagamaan yang moderat.

Jika tidak cepat diantisipasi berkembangnya paham radikalisme-terorisme akan menjadi suatu kenyataan. Oleh karena itu, ruang media sosial harus diramaikan dengan konten-konten dan fatwa-fatwa Islam ahlussunah wal jama’ah yang bercirikan moderat dan toleran.

Para tokoh agama seperti ustadz, Kiai dan guru agama serta para pegiat moderasi beragama hendaknya tidak enggan terjun bermedia sosial. Menyebarkan konten-konten keagamaan yang menyejukkan, menyikapi perbedaan sebagai suatu keniscayaan dan membumikan Islam yang rahmatan lil ‘alamin di langit-langit media sosial yang bisa dibaca sampai lapisan masyarakat paling awam sekalipun.

This post was last modified on 2 Agustus 2023 4:07 PM

Abdul Hakim

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

23 jam ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

23 jam ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

23 jam ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago