Perayaan Natal secara teologis memang menjadi domain komunitas Kristen. Namun, secara sosiologis perayaan Natal telah menjadi milik seluruh masyarakat lintas-agama. Bagaimana tidak? Saban perayaan Natal menjelang seluruh umat beragama menyambutnya dengan euforia. Mal dan pusat perbelanjaan penuh karena beragam diskon Natal yang diberikan.
Belum lagi momentum libur panjang Natal dan Tahun Baru (Nataru) yang selalu menjadi kesempatan masyarakat untuk sekadar berlibur. Pendek kata, perayaan Natal telah menjadi momentum kebangsaan yang bermakna. Momentum itu idealnya juga membangkitkan kesadaran kita untuk lebih bersikap toleran terhadap perbedaan agama.
Maka, sangat disayangkan jika di momen perayaan Natal tahun 2022 ini masih saja ada umat Kristen yang mendapat perlakuan diskriminatif. Antara lain dihalang-halangi dalam beribadah atau bahkan tidak memiliki tempat ibadah karena terhalang oleh aturan birokratis atau tersandera oleh pihak-pihak tertentu. Harus diakui bahwa sampai saat ini, komunitas Kristen sebagai kelompok agama minoritas di negeri ini kerap mendapatkan perlakukan tidak adil.
Salah satu problem klasik yang dihadapi umat Kristen ialah betapa sulitnya mereka untuk mendirikan tempat ibadah. Aturan ijin pendirian tempat ibadah yang mensyaratkan adanya dukungan masyarakat setempat minimal 60 orang kerap kali menjadi ganjalan pendirian gereja. Belum lagi tindakan intimidatif yang kerap diterima umat Kristen ketika menjalankan peribadatan.
Menyoal Fenomena Toleransi Semu
Harus diakui bahwa kehidupan beragama kira masih berada pada level toleransi semu (pseudo tolerance). Toleransi semu adalah sikap menerima dan mengakui adanya pluralitas atau keragaman namun masih bersifat pasif. Pasif dalam artian tidak atau belum mau mengenal kelompoj lain, apalagi menjalin kerjasama dan menjamin kebebasan dan kesetaraan hak kelompok lain.
Model toleransi semu alias pasif yang demikian ini dalam banyak hal masih rentan akan konflik. Ketika muncul kesalahpahaman atau provokasi dari luar, maka akan mudah terjadi konflik antar-kelompok. Pendek kata, masyarakat beragama yang menerapkan toleransi semu atau pasif adalah masyarakat yang rawan konflik.
Toleransi semu ini menurut Martin C. Wright terjadi karena sejumlah faktor. Antara lain masih kuatnya pemahaman keagamaan subyektif. Yakni menganggap ajaran agamanya paling benar dan merasa diri paling superior sehingga tidak perlu menjamin relasi dengan entitas lain.
Cara pandang subyektif ini menurut Wright mendorong umat beragama berpikir dan bertindak eksklusif, narrow-closed minded dan merasa nyaman hidup dalam ghetto-nya masing-masing. Meraka tidak peduli pada realitas sosial. Akibatnya, mereka pun diam dan pasif ketika ada kelompok lain mendapat perlakuan diskriminatif bahkan dipersekusi hak beragamanya oleh otoritas tertentu.
Fenomena inilah yang saat ini mewarnai lanskap keberagaman di Indonesia. Umat beragama memang hidup berdampingan dan tampak harmonis dari luar. Namun, jika dilihat dari dalam struktur bangunan keberagamaan itu begitu rapuh. Masing-masing kelompok agama cenderung hidup dalam kotak kubikalnya masing-masing tanpa menjalin kerjasama apalagi saling menjaga dan melindungi.
Mengembangkan Keberagamaan Intersubyektif
Kondisi yang demikian ini jelas tidak ideal apalagi dalam konteks Indonesia yang majemuk dan rawan konflik. Maka, merujuk pada pemikiran Wright, umat beragama harus melampaui nalar keberagamaan subyektif dan masuk ke dalam nalar keberagamaan Intersubyektif.
Nalar keberagamaan intersubyektif tidak lagi melihat pola relasi antar-agama dengan perspektif aku-kamu atau kami-kalian, melainkan dengan perspektif kekitaan. Yakni bahwa seluruh umat beragama pada dasarnya adalah satu komunitas besar yang wajib saling menghargai, memahami, dan melindungi satu sama lain.
Keberagamaan intersubyektif ini penting sebagai fondasi membangun kehidupan beragama yang steril dari ideologi radikal. Tersebab, ideologi radikal hanya bisa tumbuh dan berkembang di tengah masyarakat yang segregatif alias hidup dalam cangkang yang terpisah-pisah.
Dalam nalar keberagamaan intersubyektif masing-masing kelompok agama memiliki tanggung jawab sosial untuk menjaga dan melindungi kelompok agama lain. Termasuk menjamin terpenuhinya hak dan kebebasan dalam menjalankan peribadatan juga merayakan hari besar keagamaannya.
Di dalam konteks Islam, nalar keberagamaan intersubyektif ini tersirat dalam deklarasi Piagam Madinah. Dalam dokumen perjanjian tertulis pertama sepanjang sejarah itu, termuat sejumlah pasal yang mengikat setiap kelompok agama dan suku di Madinah untuk saling menjaga dari serangan musuh.
Klausul saling menjaga salam konteksintas suku-agama ini tentu sangat progresif dan melampaui zaman kala itu. Ketika peradaban masyarakat Arab masih kental dengan sentimen primodialisme, Nabi Muhanand datang dengan spirit komunitarian (kekitaan).
Spirit komunitarianisme itulah yang harus kita hadirkan kembali saat ini. Di tengah arus deras ideologi radikal yang mendapat angin segar dengan menguatnya intoleransi agama belakangan ini. Membangun kebersamaan intersubyektif sama saja dengan menutup celah masuknya virus radikalisme ke dalam tubuh bangsa.
This post was last modified on 19 Desember 2022 7:07 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…