Narasi

Falsafah Ki Hadjar; Adaptasi Konsep Pamong dan Among di Tengah Transnasionalisme Digital

Kits mengenal tiga dosa dalam dunia pendidikan nasional. Yakni intoleransi agama, kekerasan seksual, dan perundungan alias bullying. Dosa-dosa itu tidak berhenti di situ. Dosa itu memiliki efek lanjutan yang tidak terpikirkan sebelumnya.

Korban perundungan, misalnya kerap kali dihadapkan pada dua pilihan sulit; menyerah dalam arti buruh diri atau melawan balik dengan risiko melahirkan kekerasan baru. Pelaku pemboman di SMAN 72 Jakarta memilih jalan kedua. Ia melawan balik perundungan yang dialami dengan kekerasan yang lebih mengerikan.

Ia bukan korban, apalagi pahlawan sebagaimana dinarasikan sejumlah kalangan. Ia murni pelaku kekerasan yang gagal mengelola amarah dan dendam. Meski demikian, kita tentu tidak boleh menoleransi perundungan sebagai akar spiral kekerasan di lingkungan sekolah.

Apalagi, kerika korban perundungan bertemu dengan ideologi transnasional yang memuja kekerasan. Ideologi transnasional selalu relevan dengan individu atau kelompok yang tengah tertindas.

Janji tentang pembebasan, keadilan, dan kemenangan yang selalu ditawarkan oleh gerakan transnasional selalu memikat kelompok yang selama ini terpinggirkan. Termasuk anak-anak korban bullying di sekolah. Ideologi transnasional menjadi semacam pelarian bagi individu-individu yang dalam kehidupan sehari-hari tersisihkan dan terasingkan.

Ironisnya, sekolah sebagai lembaga pendidikan kerap abai pada problemarika ini. Sekolah sudah lama menjadi semacam institusi yang tugasnya sekadar mentransfer pengetahuan. Tekanan sosial membuat para orang tua, guru, dan murid terobsesi dengan nilai akademik, olimpiade, kompetisi, dan lomba yang sepenuhnya berorientasi pada capaian akademik intelektual. Lambat laun, kita kehilangan makna hakiki dari pendidikan itu sendiri. Kita mengalami disorientasi tujuan pendidikan lantaran terjebak dalam pragatisasi pendidikan. Sekolah lantas hanya dianggap sebagai bangunan fisik yang nirmakna.

Dalam konteks inilah, falsafah pendidikan Ki Hadjar Dewantara kiranya relevan dihadirkan kembali. Falsafah pendidikan Ki Hadjar salah satunya bertumpu pada konsep “pamong” dan “among”. Pamong, dalam Bahasa Jawa diartikan sebagai guru yang bertindak layaknya sebagai orang tua.

Dalam artian penuh kasih sayang, bisa menjadi percontohan, dan mendidik dengan kesadaran sebagai tanggung jawab, bukan sekedar sebagai profesi alias pekerjaan. Sedangkan among adalah sistem pendidikan dan pengajaran yang berbasis pada pendekatan kekeluargaan, sekaligus mengedepankan kodrat anak sebagai individu yang merdeka.

Falsafah pendidikan among ala Ki Hadjar ini berorientasi pada setidaknya empat hal. Pertama, membentuk anak didik yang memiliki kesadaran akan kodratnya sebagai manusia otonom, bebas, dan merdeka yang tidak mudah disetir pikiran dan perilakunya oleh pihak lain. Kedua, menghasilkan generasi yang mandiri, disiplin, dan tanggung jawab. Ketiga, mempersiapkan anak yang memiliki kekuatan akal dan prinsip dalam menjalani kehidupan. Keempat, mendidik anak agar mencintai budaya lokal melalui pengalaman langsung.

Sekilas, tujuan falsafah pendidikan among ala Ki Hadjar itu tampak biasa saja. Namun, jika dicermati, hal itu sangat relevan dengan kondisi dunia pendidikan kita. Kondisi dimana anak didik dibayangi oleh paham transnasional yang menyebar melalui kanal digital.

Ideologi transnasional tidak mengakui adanya kebudayaan lokal. Ideologi transnasional sangat anti pada lokalitas dan hal-hal yang sifatnya berkakar pada masyarakat. Maka, menanamkan kecintaan pada budaya lokal terhadap siswa merupakan langkah penting mencegah mereka terpapar paham radikal transnasional.

Ideologi transnasional juga meracuni pikiran individu sehingga mudah disetir perilakunya. Ideologi transnasional menyebar melalui propaganda non militeristik. Ajaran tentang kekerasan dan teror disebarluaskan secara halus melalui beragam medium, bahkan salah satunya budaya populer seperti film, musik, vlog, game onlen dan sebagainya. Budaya populer sengaja dipakai untuk masuk ke Mengajarkan berpikir kritis dan merdeka seperti menjadi falsafah pendidikan among ala Ki Hadjar menjadi relevan di zaman sekarang.

Ideologi transnasional yang terdesentralisasi dan menyebar melalui kanal-kanal digital hanya bisa ditangkal dengan nalar kritis. Individu yang memiliki rasio kritis dapat dipastikan tidak akan mudah terpincut oleh janji utopis tentang keadilan, kemenangan, dan kehormatan. Individu yang berpikir kritis pasti paham bahwa kehormatan tidak akan pernah diraih dengan jalan kekerasan. Kekerasan hanya menghinakan martabat manusia.

Konsep pendidikan berbasis among ala Ki Hadjar menjadi relevan ketika anak didik hari ini hidup di dua dunia; nyata dan maya. Anak yang hidup di dunia dimensi itu cenderung mudah mengalami kritis identitas, krisis keagamaan, dan krisis kebangsaan. Mereka terjebak dalam alam virtual yang merupakan pasar bebas ideologi; apa saja ada, mulai dari ideologi kiri sampai ideologi konservatif kanan.

Di tengah kondisi itu, pendidikan berbasis among yang membentuk kemandirian berpikir dan kecintaan terhadap budaya lokal menjadi urgen dan relevan. Kemandirian berpikir akan membentuk cara pandang dan perilaku siswa yang tidak mudah terpapar konten kebencian dan kekerasan. Sedangkan kecintaan terhadap budaya lokal akan menjadi semacam tali yang mengikat anak didik pada akar identitas dan budaya bangsa.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Membangun Sekolah yang Steril dari Infiltrasi Radikalisme, Sebuah Keniscayaan!

Di tengah gempuran propaganda ekstremisme yang semakin terdesentralisasi, ruang aman bagi anak-anak kita kian menyempit.…

6 jam ago

Dari Darkweb ke Internet Sehat; Menyelamatkan Anak dari Konten Kekerasan di Ruang Digital

Salah satu fakta yang terungkap dari penyelidikan aksi kekerasan di SMAN 72 adalah bahwa pelaku…

6 jam ago

Ciri-Ciri Awal Paparan Ideologi Sayap Kanan pada Anak dan Remaja

Kasus ledakan di sekolah Jakarta beberapa waktu lalu menunjukkan bahwa radikalisasi di kalangan pelajar kini…

3 hari ago

Hasrat Mimetik dan Mekanisme Kambing Hitam; Apa yang Harus Dilakukan Pasca Tragedi SMAN 72?

Peristiwa kekerasan di SMAN 72 sudah pasti menyisakan trauma psikologis bagi para korban. Kejadian itu…

3 hari ago

Pahlawan Harmoni: Meneladani Sahabat, Membumikan Pancasila

Jika kita diminta membayangkan seorang ‘pahlawan’, citra yang muncul seringkali adalah gambaran monolitik sosok gagah…

3 hari ago

Urgensi Sekolah Damai: Benteng Terakhir di Tengah Gelombang Intoleransi, Perundungan dan Kekerasan Pelajar

Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), beberapa tahun terakhir aktif menyelenggarakan program “Sekolah Damai” di berbagai daerah. Meski…

4 hari ago