Pembubaran HTI tahun 2017 efektif membatasi ruang gerak organisasi tersebut. Kebijakan itu pun membuat organisasi itu kehilangan ruang untuk bermanuver secara bebas di ruang publik. Ditambah lagi, akses pendanaan, baik dari dalam maupun luar negeri pun otomatis mandek total.
Namun, apakah HTI benar-benar mati? Tampaknya belum. Felix Shiaw, dalam siniar di akun YouTube Guru Gembul yang menyatakan bahwa HTI sampai sekarang masih bergerak dan berdakwah. Membincangkan HTI tidak akan pernah lepas dari sosok Felix Shiaw. Tokoh HTI paling populer, terutama di kalangan anak muda.
Pernyataan Felix itu tentu patut ditanggapi serius. Sebenarnya, sejak awal jika kita jeli, kita akan menyadari bahwa HTI memang tidak benar-benar mati. Mereka juga tidak beralih strategi menjadi organisasi bawah tanah. Mereka tetap bergerak secara terbuka, hanya dalam kemasan yang berbeda.
Misalnya, sepak terjang Felix Shiaw, pasca pelarangan HTI tahun 2017. Apakah setelahnya ia kehilangan panggung dakwah? Nyatanya tidak. Ia tetap rajin mengisi acara off air di banyak tempat. Dia juga semakin moncer di ranah digital dengan kontennya.
Belakangan, ia membangun kanal YouTube baru bernama YNTV Yuk Ngaji TV (YNTV). Kanal ini berbeda dengan kanal Felix Shiaw. Kanal YNTV ini, tidak spesifik membahas masalah agama, apalagi menyinggung isu khilafah. Alih-alih membahas isu kekinian yang related dengan kaum muda gen Z.
Citra Baru Eks-HTI di Media Digital
Di kanal ini, Felix ditemani co-host, yakni Fuad Naim dan Risco Adhitama. Keduanya merupakan pelawak tunggal (komika) yang mengusung persona hijrah dalam materi lawakannya. Di kanal ini, Felix tampil lebih santai. Ia kerap mengenakan kaus oblong berlogo anime One Piece lengkap dengan topi jerami yang ikonik. Bintang tamu yang diundang di kanal ini pun bukan tokoh agama, namun influencer dan para komika.
Bisa dikatakan, ini adalah strategi rebranding Felix Shiaw sebagai eks-HTI. Lantas, apa yang bisa dibaca dari strategi rebranding itu. Pertama, kita bisa melihat bahwa eks-HTI ini kini lebih fokus pada digitalisasi, yakni dengan membuat konten “dakwah” dan mengunggahnya ke media sosial. Ini jauh lebih efektif untuk menyiasati sempitnya ruang manuver di dunia nyata karena ketatnya pengawasan aparat keamanan.
Di media sosial, mereka bebas mengunggah konten apa pun, tentu dengan mengakali agar muatan propaganda formalisme agama itu tidak tampak eksplisit. Strategi digitalisasi “dakwah” ini sekaligus juga bertujuan untuk menyasar kelompok gen-Z yang memang digital navite.
Kedua, kita bisa melihat eks-HTI terutama Felix Shiaw ini tengah berusaha menjalin kolaborasi, utamanya dengan para komika. Hal ini tentu bukan sebuah kebetulan, melainkan skenario yang disengaja.
Fenomena stand up comedy kini tengah hype dan menjadi industri hiburan yang sangat besar dan berpengaruh bagi anak muda. Para komika kini menguasai jagat hiburan di televisi dan media digital. Tidak hanya itu, para pelawak tunggal juga dikenal sebagai pembuat opini otoritatif sehingga pendapatnya kerap didengar publik. Sebut saja misalnya Pandji Pragiwaksono, Kiky Saputri, Bintang Emon, dan sebagainya yang kerap viral karena opininya atas isu tertentu.
Manipulasi dan Kamuflase Dalam Bingkai Rebranding
Strategi kolaborasi para eks-HTI ini, bahkan mampu menjangkau para komika yang selama ini dikenal sebagai musuh muslim konservatif. Misalnya, kanal YNTV pernah berkolaborasi dengan Tretan Muslim dan Ernest Prakasa. Dua komika yang kerap melontarkan kritik terhadap praktik konservatisme beragama.
Tretan Muslim bahkan sempat diburu oleh anggota FPI, karena kontennya yang dinilai menistakan agama. Demikian pula Ernest Prakasa, yang sempat beberapa kali dirisak di media sosial oleh kaum konservatif atas komentar pedasnya terhadap femomena keberagamaan di Indonesia. Dari sini kita bisa melihat bahwa kelompok eks-HTI ini ingin membangun ulang citra atau imej mereka agar lebih bisa diterima oleh gen-Z melalui para komika ini.
Strategi ketiga adalah asimilasi, yakni upaya memangkas jarak pembeda antara eks-HTI dengan kelompok masyarakat yang disasarnya, yakni generasi-Z. Contoh paling nyata adalah gaya pakaian Felix Shiaw yang mengadaptasi kultur wibu (istilah untuk pecinta anime/komik Jepang), yakni dengan mengenakan kaus berlogo one-piece dan topi jerami yang identik dengan sejumlah tokoh di komik anime One Piece.
Selama ini, ada anggapan kuat bahwa para simpatisan HTI atau khilafah itu cenderung anti pada budaya populer kaum gen-Z. Gambaran itulah yang membuat simpatisan HTI kerap berjarak dengan anak muda gen Z yang dekat dengan budaya populer seperti anime dan sejenisnya. Jarak itulah yang berusaha dipangkas oleh eks-HTI dengan mengadaptasi simbol budaya populer dalam konten-kontennya.
Semua strategi rebranding ala eks-HTI itu merupakan bagian dari strategi kamuflase dan manipulasi agar umat, terutama gen-Z muslim tidak alergi dengan ideologi khilafah yang diusungnya. Strategi inilah yang patut diwaspadai. Bagaimana pun juga, khilafah adalah ideologi yang berbahaya terhadap eksistensi bangsa. Meski dikemas dalam strategi budaya populer kekinian yang digital friendly, ideologi khilafah tetaplah ancaman yang harus kita tolak dan lawan.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…