Secara eksplisit, saya sedikit banyak mengamati mahasiswi di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta, sebelum pandemi ini membuat aktivitas kampus serba daring. Terkait maraknya perubahan secara pola fashions mereka yang dari awal pertama menjadi mahasiswa baru yang saya lihat menggunakan pakaian biasa saja. Hingga dalam beberapa waktu kemudian mereka berganti menggunakan jubah yang lebar serta cadar yang menutupi wajahnya.
Fenomena ini, memang menarik geliat saya untuk memahami dengan betul dari hal-hal yang sifatnya “Negasi” terhadap suatu objek yang paling sederhana. Kenapa mereka bisa berubah? Apakah dari film yang mereka tonton, pengajian yang mereka sering kunjungi atau bacaan yang mereka sukai. Bahkan seleksi relasi sosial yang mereka geluti di kampus.
Kesadaran untuk melihat kembali terkait fenomena hijrah ini lahir ketika segenap civitas akademika yang terasa abai atau bahkan menganggap fenomena ini merupakan hal yang biasa saja. Bagaimana banyaknya para peneliti yaitu para dosen yang menyimpulkan bahwa, mereka tidak memiliki unsur-unsur ideologi radikal atau anti-NKRI. Karena sample menunjukkan dari semua respondents menjawab, fenomena tersebut “Hanya” sebuah fashion semata dan tidak ada unsur-unsur ideologis. Sehingga segenap civitas akademika menyimpulkan sebuah rambu-rambu hijau “Rasa aman”. Sehingga kampus tidak lagi memerhatikan terus fenomena ini atau bahkan memantau secara intensif dari pergerakan sehari-hari.
Padahal, lahirnya kesadaran untuk berpenampilan ini dan itu timbul dari sebuah hasrat dan hasrat itu tumbuh dari sesuatu yang dianggap sebagai contoh. Tentu sangatlah jelas, jika mereka-mereka ini berubah secara penampilan karena ada yang ingin dicontoh atau karena ada ajakan dari pihak pertama ketika pergi ke pengajian dengan berbagai tahap doktrin misalnya. Besar sebuah pemahaman bahwa ini adalah sebuah ideologi yang terurai yang pertama kali ditampilkan adalah perihal penampilan.
Karena kecurigaan saya terletak kepada “Wajah ganda” yang ditampilkan. Seolah mereka tidak mengemban sebuah ideologi atau prinsip. Tetapi sebetulnya mereka berusaha untuk menutupi satu prinsip. Agar tidak terjamah suaranya, tindakannya atau bahkan lagaknya yang besar kemungkinan akan ketahuan jika terang-terangan. Sehingga mereka menutupinya agar kampus bisa menjadi “Ladang subur” penyebaran paham-paham radikalisme atau intoleransi sekalipun tanpa suara dan perilaku. Tetapi memainkan wajah ganda untuk bersifat biasa-biasa saja tetapi konsisten menakar paham-paham radikalisme dan intoleransi.
Bagaimana tidak, jika ini bisa terjadi. Kalau sebuah perilaku yang sejatinya lahir dari sebuah pemahaman dan prinsip yang dimilikinya. Salah satu contoh, ketika ada sebagian besar perempuan-perempuan di Indonesia yang begitu fanatiknya menggemari Black pink misalnya. Atau artis-artis KIPOP lainnya. Jelas mereka akan meniru pola hidupnya. Baik dari segi pakaian, kecantikan, pergaulan hingga pola makan sekalian. Karena hal ini lahir dari sebuah prinsip yang menentukan satu tokoh atau satu peran yang mereka gemari untuk sebaik mungkin mengikutinya.
Artinya, besar kemungkinan yang mereka lakukan sejatinya tidak terlepas dari “Publik figure” yang bisa mengubah kesadaran mereka. Baik di dalam berpakaian, bergaul, kesukaan film hingga bacaan yang mereka sukai dan mereka hindari. Tentu perubahan-perubahan ini tidak lepas dari sebuah doktrin dan panutan yang menjadi prinsip ideologi yang dibangun.
Maka kekhawatiran ini semakin muncul ketika segelintir mereka-mereka ini yang kerap kali membangun ketegangan resonansi hubungan di kampus. Mereka akan menjauhi teman-teman yang dianggap berpakaian tidak sesuai dengan “Syariat Islam” misalnya. Tidak banyak bergaul dengan para mahasiswa. Karena baginya hukumnya haram. Serta ketegangan dan kekakuan lainnya yang mereka tampakkan. Tentu ini semakin besar kemungkinan membuat saya yakin bahwa mereka ini tidak sekadar hanya sebuah fashion dan tanpa unsur-unsur ideologi yang dipegang dan diamalkan.
Pandangan dan kecurigaan terkait fenomena hijrah tersebut bukan lantas skeptis atau ada rasa kebencian. Pun juga bukan sebuah pembentukan opini intolerant terhadap mereka yang bercadar. Tetapi melainkan sebuah kewaspadaan dan kehati-hatian di dalam melihat fenomena ini bukan hanya dari sisi penampilan yang akan melebar dan mengakar. Tetapi menilik lebih jauh alur di balik fenomena tersebut. Apakah besar kemungkinan ini merupakan wajah ganda dari radikalisme atau tidak. Tentu ini sebagai kewaspadaan dan kesiap-siagaan kita menjaga dan melindungi civitas akademika agar terbebas dari virus radikalisme.
This post was last modified on 24 September 2020 4:27 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…