Dari khazanah sufisme cukup banyak ditemukan kisah-kisah yang seolah tak lazim dilakukan oleh orang-orang yang beragama. Entah kenapa citra agama selalu saja mesti berbalut dengan ideal kesucian, atau setidaknya, kepatutan. Hal ini, saya kira, jelas tak ada sandarannya sama sekali dalam syari’at sejauh ia dimaknai sebagai seperangkat tata aturan. Tapi agama, dalam hal ini Islam, rupanya juga memberi ruang pada perspektif non-syari’at sebagai sandaran untuk bersikap atau melakukan sesuatu sehingga itu semua pada akhirnya menjadi sebuah kemakluman.
Taruhlah Sunan Kalijaga yang pernah menyaru menjadi pengais rumput ketika hendak menyadarkan Adipati Pandanaran atau menjadi seorang dalang ketika hendak menyambungkan nilai-nilai kapitayan dan tasawuf. Apa yang dilakukan oleh Sunan Kalijaga itu tentu saja, barangkali, tak ada sandarannya pada al-Qur’an, hadist ataupun kitab-kitab fiqh belaka. Bagaimana mungkin seorang ulama sekaliber Sunan Kalijaga sampai harus menjadi pengais rumput atau bahkan seorang dalang yang sarat dengan hal-hal yang konon pernah dianggap sebagai klenik?
Pada syari’at Islam memang dapat ditemukan dasar dari sebuah citra diri, yang saya kira, pada persoalan tentang takwa. Bagi para da’i takwa itu kerap dihubungkan dengan sikap takut dimana ketika hati seseorang itu bertakwa, maka raganya mestilah bertakwa pula. Seandainya pakaiannya tak sesuai dengan kedudukannya, maka setidaknya sikapnya mestilah seiring dengan kedudukannya. Jadi, dari perspektif ini, sangat musykil seandainya ada seorang ulama yang berdakwah dengan celana pendek laiknya rocker dan membaur di ruang-ruang yang dianggap jauh dari kesan agama.
Karena itu, dapat dimengerti kenapa kalangan muslim yang ditengarai radikal kebanyakan bergamis, bercelana cingkrang, berjidat hitam, berjenggot, dan sudah pasti tak merokok—atau minimal tampil dengan sangat rapi dan steril. Tapi bagaimana semestinya orang menilai kiprah Sunan Kalijaga yang terkesan tak pernah mengagungkan citra diri sebagai seorang sunan, dengan kata lain memiliki pemaknaan lain soal takwa?
Berbahagialah kalangan yang tak semata menyandarkan sikap keberagamaannya pada al-Qur’an dan hadist belaka, tapi juga ijma’ dan kiyas. Sebab, dengan hal itu menjadi tak perlu kebingungan dengan, misalnya, kiprah Sunan Kalijaga selama ini. Di kalangan pesantren dahulu dikenal adanya laku khumul yang secara khusus pernah pula ditorehkan oleh Syekh Ibn ‘Athaillah dalam kitab kasepuhannya, al-Hikam: “Idfin wujudaka fi al-ardhi khumuli.”
Dari dasar tentang laku khumul ini dapat dimengerti kenapa, misalnya, sampai harus ada seorang yang notabene ulama sampai harus menjadi direktur BUMN dan baik-baik saja. Atau, yang lebih ekstrim lagi, sampai harus berbusana dan bersikap laiknya seorang hansip atau bahkan preman lengkap dengan jaket kulit, celana jeans dan rambut gondrongnya yang ternyata juga baik-baik saja. Ternyata ini semua berkaitan dengan pendidikan hati yang oleh Serat Wedhatama disebut-sebut sebagai “Colok celaking Hyang Widhi.” Tak sekedar berlaku pada satu sisi, atau si pelaku khumul semata, tapi juga berlaku pada orang yang mengitarinya. Ini semua adalah dalam rangka untuk mendidik hati. Terkadang, dengan berkaca pada kasus Sunan Kalijaga, pendekatan hakikat semacam itu jauh lebih efektif daripada pendekatan formal yang sudah barang tentu berjarak dan penuh dengan protokol.
Wabah corona yang untuk kedua kalinya menggila, dengan angka kasus yang kembali tinggi, kiranya cukup menyadarkan banyak pihak bahwa meskipun kebijakan-kebijakan pemerintah telah ditetapkan dan diimplementasikan, korban tetap berjatuhan seakan segala kebijakan itu tak mampu membuat masyarakat—dari berbagai keluh-kesah para pemangku kebijakan—lebih mematuhinya. Barangkali, pendekatan baru memang perlu untuk dilakukan, misalnya, dengan melibatkan kalangan agamawan yang ikhlas untuk langsung turun ke lapangan.
Dengan melihat kasus penyadaran Sunan Kalijaga pada Adipati Pandanaran, begitu sang adipati mengetahui bahwa si pengais rumput itu adalah Sunan Kalijaga lekas muncul rasa malunya dan secara berkesadaran penuh mengikuti sang sunan. Telah menjadi penilaian umum bahwa teladan terbaik tak terletak pada omongan semata, tapi lebih pada perbuatan.
Adakah, pada tataran diskursus, angka radikalisme yang tinggi di Indonesia bahkan di tengah wabah corona sekali pun juga disebabkan oleh sebagian kalangan yang notebene lekat dengan citra agama tak menggubris berbagai protokol kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah? Adakah banyak pengelu-eluan ulama-ulama yang ditengarai radikal selama ini berkaitan pula dengan sikap mereka yang menyepelekan wabah corona dan, karena motif politis, menentang pemerintah?
Dengan kata lain, radikalisme agama ternyata juga menjadi biang atas pengabaian berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan wabah corona. Pengabaian berbagai kebijakan pemerintah terkait dengan wabah yang hampir dua tahun ini melanda menunjukkan bahwa yang terjadi di Indonesia hari-hari ini bukanlah terjadinya krisis keteladanan, tapi pada tataran diskursus adalah kemenangan pengaruh radikalisme keagamaan atas moderatisme keagamaan.
This post was last modified on 8 Juli 2021 3:05 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…