Narasi

Geliat Negara Islam yang Tak Berakar di Indonesia

Geliat tegaknya sistem negara Islam di Indonesia sebetulnya tidak perlu diperdebatkan lagi. Karena konsep negara Islam tak memiliki akar yang komprehensif di dalam Islam. Sebab, Islam tidak pernah berbicara sistem bernegara, tetapi Islam berbicara (prinsip nilai) dalam membangun sebuah negara tanpa harus ber-embel-embel “nama agama”.

Dalam bentang sejarah, mimpi besar S.M. Kartosoewirjo dalam menegakkan negara Islam di Indonesia juga tidak pernah berujung pada prinsip ideal-komprehensif tentang negara Islam yang dimaksud. Karena negara Islam tidak pernah ada di dalam teks keagamaan. Sebab, ini hanya berakar pada formalisasi identitas keagamaan yang cenderung diperjuangkan secara anarkis.

Nilai-nilai Islam Indonesia sebetulnya telah meresap layaknya garam dalam sebuah masakan. Secara representatif, garam itu mampu membawa rasa sedap terhadap sebuah masakan tanpa harus kelihatan eksistensinya. Begitulah esensi/substansi keislaman dalam prinsip bernegara kita seperti dalam Pancasila dan orientasi kebinekaan.

Apa yang kita kenal sebagai harapan negara Islam tidak lain hanya sebagai alat politik yang sifatnya insurgensi. Dia berakar ke dalam pola “pembangkangan” dan “penafikan” terhadap nilai-nilai Islam yang telah meresap di dalam tubuh Indonesia. Gejolak nafsu S.M. Kartosoewirjo akan tegaknya negara Islam kalau kita amati dalam bentang sejarah, itu tidak terlepas dari kedirian secara politik akan dirinya untuk menjadi pemimpin.

Jika kita berbicara teks-teks keagamaan di dalam Islam. Hampir tidak akan kita temukan apa yang disebut secara teks tentang negara Islam atau negara khilafah itu. Al-Qur’an hanya berbicara tentang “Baldatun Tayyibatun Warabun Ghafur” bahwa segala yang berkaitan dengan prinsip bernegara haruslah cenderung ke dalam (pengampunan Tuhan) dan (negara yang baik) yang berarti mengacu pada maslahat dan manfaat.

Jika acuan negara Islam itu mengarah ke dalam prinsip hukum yang cenderung destruktif ingin mereduksi keragaman. Maka, ini sebetulnya lebih ke dalam propaganda sentiment beragama, bukan pola ideal yang diklaim sebagai negara Islam itu. Jika negara Islam yang dimaksud mengacu pada (ketaatan ber-Islam) semata lalu mereduksi nilai-nilai spiritualitas agama lain, maka ini tidak lain sebagai propaganda hegemonik untuk menghancurkan keragaman berkedok negara ideal yang diagung-agungkan bernama negara Islam itu.

Apa yang dipahami sebagai cita-cita tentang asas bernegara yang sesuai perintah Allah  dalam Al-Qur’an dan Hadits ini cenderung bukan mengacu pada nilai teologis secara subtansial. Dia sebetulnya lebih tepat disebut “cara sentiment” di dalam menolak nilai-nilai bernegara kita yang berpijak pada (substansi ajaran-Nya) dengan dalih tidak sesuai perintah Tuhan itu.

Kita tahu bersama, segala bentuk persatuan (Qs. Al-Hujurat:13) kebersamaan dan keharmonisan (Qs. Ali-‘Imran:103) dan (Qs. Al-Baqarah:213) dalam semangat toleransi. Serta hidup dalam keamanan tanpa berpecah-belah. Ini sebagai paradigma hukum Allah yang menjadi sendi kehidupan bernegara yang tidak pernah diakui oleh siapa-pun yang berhasrat menegakkan negara Islam itu.

Ketika berbicara tentang standarisasi basis kepemimpinan yang politis ke arah (pemimpin Islam). Ini kita bisa memahami, bahwa mereka-mereka yang haus akan tegaknya negara Islam lebih tepatnya menyandarkan pemikirannya tentang sebuah negara yang berdasar pada apa yang dia inginkan, yaitu gerakan identitas primordial untuk menjadikan umat Islam berkuasa dengan melegitimasi (klaim-klaim) keagamaan semacam itu.

Islam di dalam Al-Qur’an atau-pun Hadits tidak pernah berbicara tentang sistem bernegara. Karena hukum Tuhan itu tidak stagnan ke dalam satu zaman dan hukum Tuhan akan selalu relevan dengan zaman dan keadaan yang terus berubah. Sebagaimana, hasrat tegaknya teodemokrasi S.M. Kartosoewirjo cenderung menolak perubahan zaman dan (hukum Tuhan) yang dimaksud cenderung politis ke paradigma kepemimpinan di masa lalu.

Jadi, sangatlah tidak tepat jika kita memperdebatkan tentang negara Islam itu. Karena geliat negara Islam itu tak pernah berakar ke dalam teks-teks keagamaan. Sebagaimana yang Saya tekankan di atas, Islam tidak pernah berbicara sistem bernegara, tetapi Islam berbicara (prinsip nilai) dalam membangun sebuah negara tanpa harus ber-embel-embel “nama agama”.

This post was last modified on 19 Desember 2023 3:16 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Refleksi Hari Kebangkitan Nasional : Bangkit Melawan Intoleransi Berbasis SARA

Hari Kebangkitan Nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei merupakan tonggak penting dalam sejarah Indonesia.…

5 jam ago

PBB Sahkan Resolusi Indonesia Soal Penanganan Anak Terasosiasi Teroris: Kado Istimewa Hari Kebangkitan Nasional untuk Memberantas Terorisme

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) akhirnya mengesahkan sebuah resolusi penting yang diusulkan oleh Indonesia, yakni resolusi yang…

5 jam ago

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 hari ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 hari ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

3 hari ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

3 hari ago