Narasi

Literasi Keagamaan dalam Mengamputasi Hulu Terorisme

Sumber/hulu dari terorisme adalah pemahaman agama yang sempit, keliru, begitu tekstual, dan cenderung politis. Sedangkan kadar literasi keagamaan yang rendah, membuat seseorang kerap mudah dialiri (terkontaminasi) paham terorisme.

Maka, literasi beragama adalah satu modal penting bagi kita di dalam mengamputasi sumber/hulu terorisme itu. Mengupayakan keterbukaan diri memahami, mengkritisi dan menelaah secara komprehensif entitas keagamaan kita sendiri. Baik narasi-narasi keagamaan yang disebar di sosial media atau-pun di ruang nyata.

Sumber dari narasi-narasi propaganda terorisme kerap membawa legitimasi keagamaan yang kerap menipu. Seperti membenarkan tindakan zhalim, aksi teror dan merusak rumah ibadah agama lain. Lalu dianggap jihad, dianggap amaliah dan diklaim perintah suci.

Maka, di sinilah pentingnya literasi keagamaan itu. Sebagaimana, ada 5 literasi keagamaan yang harus kita pahami. Guna mengamputasi hulu/sumber terorisme secara bersama-sama. Lantas, apa saja 5 literasi keagamaan itu?

5 Literasi Keagamaan dalam Mengamputasi Hulu Terorisme

Pertama, Jangan terjebak ke dalam taklid buta dalam memahami agama sendiri, baik narasi keagamaan yang disebar di sosial media atau-pun di ruang nyata. Dalam pengertian, kita harus membuang sikap fanatik terhadap satu pemahaman yang dianggap mutlak benar. Padahal, bertentangan dalam etika lain seperti rusaknya kehidupan umat beragama yang mapan.

Jangan terjebak ke dalam satu tafsiran, satu aliran atau satu golongan secara mutlak menganggap itu sebagai satu-satunya ajaran yang tidak keliru. Taklid buta dalam beragama semacam ini akan membawa pengaruh (sulitnya menerima) kebenaran lain yang lebih membawa maslahat dalam beragama. Maka, di sinilah saatnya kita mengenali agama kita sendiri dengan membuang sikap taklid buta itu.

Kedua, hindari penyakit tekstualitas, upayakan mengkritisi teks-teks keagamaan kita guna mengkontekstualisasikan terhadap realitas atau tantangan zaman yang terus berubah. Dalam beragama, entah Islam, Kristen, Yahudi, Hindu, Budha atau Konghucu. Kritis di dalam memahami teks-teks keagamaan itu sangatlah penting. Jangan terjebak ke dalam doktriner lama dan kita terjebak ke dalam pemahaman teks yang tidak relevan dengan konteks atau situasi zaman yang dihadapi.

Maka, cobalah untuk kritis dan konstruktif dalam memahami teks keagamaan. Mencoba kontekstualisasi nilai keagamaan dalam menjawab tantangan zaman dan relevansi keadaan yang berbeda. Seperti saat ini yang telah berada dalam situasi damai, bukan peperangan. Maka, kontekstualisasi keagamaan harus berpijak pada nilai-nilai yang bisa membangun keadaan dan tantangan zaman yang penuh kedamaian itu.

Ketiga, pelajari agama kita secara komprehensif dan jangan setengah-setengah. Atau, bukan hanya bagian-bagian kulit luar saja. Kata komprehensif artinya kita akan terus memahami agama tidak hanya dalam satu konteks. Misalnya, melihat lebih jauh konteks keagamaan yang berhubungan dengan kehidupan sosial, kemanusiaan dan sikap etis terhadap umat agama lain.

Karena piranti agama tidak hanya berkaitan dengan hal-hal spiritual dan hubungan personal/kelompok semata. Pastilah agama memiliki piranti dalam membangun kehidupan sosial, yang berhubungan dengan perilaku yang tidak merusak tatanan dan kezhaliman yang melanggar nilai-nilai kemanusiaan. Semua agama pasti memiliki seperangkat hal yang semacam itu. 

Keempat, bijaksana menyikapi hal-hal yang berkaitan dengan nilai horizontal dengan nilai vertikal dalam beragama. Jadi, jangan sikapi secara terbalik mana dalam memahami teks/nilai keagamaan yang berkaitan dengan (hubungan sosial) dengan teks/nilai keagamaan yang berkaitan dengan (hubungan spiritual).

Membawa nilai-nilai vertical ke dalam sikap (sosial) ruang publik di tengah keragaman akan melahirkan klaim-klaim eksklusif dan destruktif. Karena setiap agama memiliki klaim kebenaran yang berbeda secara (hubungan vertical). Maka, jangan sekali-kali salah-kaprah dalam membawa sikap dan kita harus berada di jalur yang bijaksana.

Kelima, hindari sikap menghakimi dengan bermodalkan satu teks, sebelum memahami teks-teks lain. Ini adalah kekeliruan yang paling dominan bagi kita dalam memahami agama. Hanya tahu satu teks, lalu teriak-teriak menghakimi orang lain keliru, sesat, kafir dan penuh kebencian. Padahal, hanya paham satu teks saja.

Maka, di sinilah pentingnya untuk tidak mudah menghakimi. Cobalah untuk memahami teks-teks lain. Melihat maksud dan nilai fundamental dari satu teks ke teks lainnya. Demi menghindari kekeliruan sikap yang membawa perilaku intolerant dan kebencian. Karena satu teks terkadang berkaitan dengan teks lain demi mencapai maksud tujuan yang pastilah membawa dampak manfaat dan maslahat bagi tatanan.

This post was last modified on 18 Desember 2023 11:47 AM

Fathur Rohman

Photographer dan Wartawan di Arena UIN-SUKA Yogyakarta

Recent Posts

Sesat Pikir Pengkafiran terhadap Negara

Di tengah dinamika sosial dan politik umat Islam, muncul kecenderungan sebagian kelompok yang mudah melabeli…

17 jam ago

Dekonstruksi Syariah; Relevansi Ayat-Ayat Makkiyah di Tengah Multikulturalisme

Isu penerapan syariah menjadi bahan perdebatan klasik yang seolah tidak ada ujungnya. Kaum radikal bersikeras…

17 jam ago

“Multikulturalitas vis-à-vis Syariat”, Studi Kasus Perusakan Makam

Anak-anak tampak menjadi target prioritas kelompok radikal teroris untuk mewariskan doktrin ekstrem mereka. Situasi ini…

17 jam ago

Bertauhid di Negara Pancasila: Menjawab Narasi Radikal tentang Syariat dan Negara

Di tengah masyarakat yang majemuk, narasi tentang hubungan antara agama dan negara kerap menjadi perbincangan…

2 hari ago

Penangkapan Remaja Terafiliasi ISIS di Gowa : Bukti Nyata Ancaman Radikalisme Digital di Kalangan Generasi Muda

Penangkapan seorang remaja berinisial MAS (18 tahun) oleh Tim Densus 88 Antiteror Polri di Kabupaten…

2 hari ago

Jalan Terang Syariat Islam di Era Negara Bangsa

Syariat Islam dalam konteks membangun negara, sejatinya tak pernah destruktif terhadap keberagaman atau kemajemukan. Syariat…

2 hari ago