Wabah TikTok merambah di kalangan anak muda dan remaja. Apa saja yang tengah tren di dalamnya akan diikuti oleh sebagian besar kaum milenial akhir dan generasi Z. TikTok memang media sosial fenomenal. Dari banyak sisi ia berbeda dengan platform media sosial yang telah eksis sebelumnya seperti Youtube maupun Instagram.
Di TikTok, kekuatan narasi konten tidak terletak pada narasi tekstual layaknya Facebook dan Twitter. Juga tidak bertumpu pada tampilan visual layaknya Instagram-nya atau YouTube. Di TikTok, seseorang bisa meraih popularitas hanya dengan video pendek dengan kualitas seadanya tanpa sentuhan artistik dan estetika tingkat tinggi.
Tidak hanya itu, algoritma TikTok juga nisbi lebih adil ketimbang Instagram dan YouTube. Instagram dan YouTube dikenal lebih ramah pada sosok yang memang telah memiliki popularitas di dunia nyata. Sebaliknya, algoritma TikTok cenderung tidak membedakan latarbelakang konten kreator.
Meski dibuat oleh orang biasa, jika kontennya menarik dan mendapatkan banyak penonton, secara otomatis algoritma TikTok akan menyebarluaskannya. Fenomena TikTok melahirkan sebuah generasi yang menghabiskan banyak waktunya di aplikasi tersebut. Mereka menikmati konten-konten di dalamnya, sekaligus mencoba peruntungan dengan membuat dan menyebarkan konten.
Tidak sedikit generasi TikTok yang sukses menjadi pemengaruh dengan jutaan follower dan penghasilan yang tidak bisa dianggap kecil. Sayangnya masih banyak kalangan yang memandang sebelah mata bahkan merendahkan generasi TikTok ini. Sebagian kalangan menganggap generasi TikTok hanya bisa joged-joged atau lenggak-lenggok.
TikTok Sebagai Arena Pertarungan Opini di Tahun Politik
Padahal, tidak semua konten kreator TikTok hanya menjual kepiawaiannya berjoged. Banyak konten kreator di TikTok yang juga menyebarkan pesan-pesan inspiratif dan membagikan pengetahuan serta keterampilan yang berguna dalam kehidupan sehari-hari. Meski kita juga tidak bisa menutup mata bahwa di balik itu semua, TikTok juga menyimpan sisi kelam.
Sebagaimana media sosial lainnya, TikTok juga menjadi platform media sosial yang digunakan untuk menebarkan pesan-pesan kebencian, provokasi, dan intoleransi. Terlebih memasuki tahun politik ini, TikTok menjadi ajang kontestasi politik yang kerap diwarnai kebencian dan provokasi. Pemimpin redaksi asumsi.co Pangeran Siahaan dalam sebuah sinarnya memprediksikan bahwa TikTok akan menjadi arena baru perang opini termasuk penyebaran hoaks dan ujaran kebencian di tahun politik.
Prediksi itu kiranya bukan isapan jempol belaka. Jelang Pilpres 2024, TikTok mulai dibanjiri oleh narasi-narasi politik dan keagamaan yang bertendensi memecah-belah bangsa. Jika dibiarkan, ini akan sangat berbahaya mengingat secara demografis, mayoritas warga TikTok adalah remaja dan kaum muda. Apalagi, pada Pemilu tahun 2024 nanti jumlah pemilih muda mencapai 60 persen dari total pemilih.
Menjadikan TikToker Sebagai Agen Perdamaian
Di titik ini, generasi TikTok tengah ada di persimpangan jalan, apakah mereka akan terjerumus ke dalam jebakan narasi kebencian dan perpecahan. Atau sebaliknya, seperti pernyataan pada judul di atas, apakah mereka justru mampu menjadi agen perdamaian dan persatuan. Jika pertanyaannya adalah apakah mereka bisa, maka jawabannya tentu saja bisa.
Namun, ada syarat yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Salah satunya adalah keterlibatan pemerintah dalam menggandeng dan mengarahkan mereka menjadi agen perdamaian. Seperti disebut di atas, mayoritas warga TikTok adalah remaja dan anak muda alias gen Z. Salah satu karakter gen Z adalah sikapnya yang tidak tertarik pada isu politik.
Bisa dibilang, mereka adalah kelompok yang apatis pada isu politik. Mereka lebih senang menghabiskan waktu untuk belajar hal-hal baru, misalnya tentang desain, game, marketing dan sejenisnya. Pendek kata, mayoritas warga TikTok nisbi buta peta politik. Inilah titik rawan yang kerap menjerumuskan mereka pada narasi provokasi dan kebencian.
Keterlibatan pemerintah dalam mengarahkan dan menggandeng para Tiktoker ini sebagai agen perdamaian sangat penting. Hal itu sebenarnya sudah banyak dilakukan. Belakangan ini, mulai banyak instansi pemerintah yang mengadakan lomba video tiktok bertema keindonesiaan. Responnya pun positif dibuktikan dengan ribuan peserta yang mengirim karyanya.
Ke depan yang perlu dilakukan adalah mengajak pada Tiktoker untuk lebih aktif memproduksi konten bertema keindonesiaan dan kebinekaan. Kian banyak konten positif di TikTok, maka konten negatif termasuk yang menyiarkan kebencian dan permusuhan akan dengan sendirinya tereliminasi.
Sekali lagi, kita tidak bisa terus-terusan bersikap sinis terhadap generasi Tiktok. Meski konten mereka kerap dicap cringe, banal, dan bercitra estetika rendah, namun jangan lupa bahwa mereka adalah trensetter di dunia digital saat ini. Mereka bisa diberdayakan menjadi agen perdamaian dan persatuan. Caranya adalah dengan terus mendorong mereka membuat konten-konten yang mempromosikan sikap toleran dan akomodatif pada kebinekaan.
This post was last modified on 14 Juni 2023 12:54 PM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…