Categories: Narasi

Genosida India, Politik Identitas dan Upaya Menguatkan Solidaritas Kemanusiaan

Belum purna perbincangan masalah global persebaran virus corona di berbagai media, kita kemudian disuguhi berita seputar konflik identitas bahkan disebut Genosida yang terjadi di India selama hampir sepekan pada akhir bulan Februari lalu. Ketika saya telusuri, awal mula munculnya konflik ini ditengarai oleh adanya demonstrasi damai kaum muslim terkait UU kewarganeraan baru India, yang ternyata kemudian diserang oleh oknum Hindu garis keras.

Secara politis, UU kewarganegaraan atau yang disebut Citizen Amandement Act (AAC) ini merugikan kelompok muslim sebagai minoritas di India. Selain itu, kemenangan partai kanan Bharatiya Janata yang didukung militan Hindu garis keras tahun lalu merupakan salah satu faktor dari terjadinya konflik bereskalasi identitas agama tersebut.

Pasca diamandemen dari UU kewarganeraan tahun 1995, UU yang baru kemudian menyebutkan bahwa, “Provided that any person belonging to Hindu, Sikh, Buddhist, Jain, Parsi or Christian community from Afghanistan, Bangladesh or Pakistan, who entered into India on or before the 31st day of December, 2014 and who has been exempted by the Central Government”. Di situ jelas terdapat pengecualian terhadap komunitas muslim, padahal sama-sama menjadi minoritas di India dengan lima agama lain yang tersebut. Inilah yang kemudian menggerakkan protes kaum muslim terhadap diskriminasi yang menimpa mereka.  

Berdasarkan informasi dari detik.com (28/02), terdapat 27 korban tewas dan ratusan lebih korban luka akibat konflik sektarian tersebut. Hal ini merupakan bencana kemanusiaan yang mencederai perdamaian yang sudah terajut cukup lama di India. Konflik berdalih identitas agama nyatanya memang selalu laku di mana pun. Maka dari itu, perlunya mengedepankan sikap toleransi dan mengutamakan nilai-nilai kemanusiaan.

Baca Juga :  Kemanusiaan, Keadilan, Dan Solidaritas Kebangsaan

Perlu digaris bawahi bahwa genosida yang dilakukan oleh oknum Hindu garis keras terhadap umat muslim, selain dipicu oleh konflik identitas juga diprediksi sebagai akibat romantisme dendam masa lalu. Yang mana Hindu kesal terhadap umat muslim yang makan daging sapi sebagai hewan sucinya umat Hindu. Dan juga berbagai upaya penaklukkan muslim terhadap wilayah India di masa lalu, yang melalui peristiwa peperangan. Hal ini berbeda dengan Indonesia yang masuknya Islam ke Nusantara yang mayoritas Hindu-Budha dengan jalur kebudayaan dan tasawwuf.       

Kondisi yang sebenarnya, India merupakan negara yang cukup ramah, hampir sama dengan Indonesia dalam kehidupan berbangsa. Bahkan dalam peristiwa ini, mengutip India Times terdapat umat Hindu yang menjadi korban, yakni Premkant Baghel dengan 70% luka bakar di sekujur tubuhnya, karena berupaya menolong rumah salah satu muslim yang dibakar massa.

Hal tersebut menunjukkan bahwa narasi agama, sejatinya tidak pernah menganjurkan manusia untuk membasmi manusia yang lain. Justru agama adalah untuk kemanusiaan itu sendiri. Baghel membutikan bahwa nilai kemanusiaan harus selaras dengan keagamaan. Banyaknya festival keagamaan Hindu di India, sejatinya telah mampu menguatkan solidaritas antar agama. Karena berbagai perayaan yang dilakukan pasti berdampak kepada umat yang lain, justru hal ini membuktikan agama Hindu di India telah menciptakan solidaritas keagamaan dan kebangsaan sekaligus di tengah-tengah masyarakat.   

Melihat Fenomena ini, sejatinya menunjukkan bahwa masa depan kemanusiaan itu berada di tangan-tangan para pemuka agama, pemimpin politik dan para intelektual serta seluruh elemen terkait. Untuk itu, peristiwa yang terjadi India harus menyadarkan kita bahwa pesan-pesan agama tidak pernah melegitimasi atau menganjurkan untuk melakukan kekerasan terhadap manusia yang lain. Selain itu, kebijakan kewarganegaraan idealnya harus mempertimbangkan segala aspek dan konteks, yang sekiranya tidak mencederai semangat kemanusiaan itu sendiri. Akhirnya, peristiwa genosida muslim di India harus menjadi pelajaran berharga bagi manusia di mana pun berada. Bahwa mengedepankan kepentingan kemanusiaan lebih penting daripada mementingkan kepentingan kelompok dan agama yang justru merusak tatanan kehidupan.

This post was last modified on 3 Maret 2020 12:42 PM

Ferdiansah

Peneliti The Al-Falah Institute Yogyakarta

View Comments

Recent Posts

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

9 jam ago

Membaca Narasi Zero Terrorist Attack Secara Konstruktif

Harian Kompas pada tanggal 27 Mei 2025 lalu memuat tulisan opini berjudul "Narasi Zero Attack…

11 jam ago

Merespon Zero Attack dengan Menghancurkan Sekat-sekat Sektarian

Bagi sebagian orang, kata “saudara” sering kali dipahami sempit, hanya terbatas pada mereka yang seagama,…

11 jam ago

Soft Terrorism; Metamorfosa Ekstremisme Keagamaan di Abad Algoritma

Noor Huda Ismail, pakar kajian terorisme menulis kolom opini di harian Kompas. Judul opini itu…

1 hari ago

Jangan Terjebak Euforia Semu “Nihil Teror”

Hiruk pikuk lini masa media sosial kerap menyajikan kita pemandangan yang serba cepat berubah. Satu…

1 hari ago

Rejuvenasi Pancasila di Tengah Fenomena Zero Terrorist Attack

Tanggal 1 Juni diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila. Peringatan itu merujuk pada pidato Bung Karno…

1 hari ago