Narasi

Hari Kebangkitan Nasional; Momentum Meruwat Persatuan Bangsa yang Terbelah

Hari Kebangkitan Nasional terlahir dari suatu kesadaran untuk menjadikan Indonesia sebagai bangsa yang mandiri serta memiliki semangat untuk bangkit dari segala keterpurukan yang dialami. Kelahiran organisasi pergerakan Budi Utomo pada 1908 menandai hentakan semangat rakyat Indonesia untuk bangkit di mana sebelumnya berada dalam kondisi kehancuran nasional.

Para sesepuh bangsa ini, begitu pula para pemuda, meyakini benar bahwa kegagalan bangsa Indonesia untuk menjadi negara merdeka, negara yang memiliki harga diri dan jati diri disebabkan oleh perpecahan dan tidak adanya persatuan. Sehingga secara sadar kemudian melepaskan baju identitas suku, etnis, budaya dan agama demi “persatuan” untuk bangkit dari segala keterpurukan yang dialami bangsa ini.

Walaupun, sejatinya leluhur Nusantara telah mengajarkan sejak dulu pentingnya persatuan serta melepasa egoisme ke aku an yang dimiliki masing-masing. Kemudian, sejak berabad-abad itu pula hal ini menjadi identitas bangsa Indonesia sejak bernama Nusantara.

Memang seharusnya demikian, bahwa setiap manusia selaiknya menilai setiap perbedaan yang ada sebagai kenyataan, yang harus diterima, dan tidak bisa dijadikan alasan untuk dijadikan sekat pemisah satu dengan yang lain. Hari Kebangkitan Nasional adalah momentum mencairnya kesadaran akan pentingnya persatuan bagi masyarakat Indonesia.

Seharusnya seperti itu, akan tetapi selalu saja ada batu uji bagi bangsa ini berupa ancaman serius perpecahan anak bangsa yang sangat menggelisahkan. Yang paling tampak adalah adanya kelompok-kelompok penganut agama yang bersikap egois dengan memposisikan agama sebagai alat untuk membenci penganut agama lain, bahkan dalam internal agama tertentu juga kerap terjadi gesekan.

Radikalisme-terorisme merupakan fenomena yang serius mengancam bangsa Indonesia ke arah perpecahan. Dan, ancaman tersebut kian hari kian mendalam. Luka bangsa ini biasanya semakin subur pasca Pemilu. Kelompok-kelompok yang berkepentingan untuk membinasakan Indonesia dengan sangat terampil memanfaatkan momen keterbelahan masyarakat setelah Pemilu, di desain supaya lebih ekstrem.

Melihat wajah suram bangsa ini sejatinya Hari Kebangkitan Nasional tak cukup hanya diingat, namun perlu diperingati secara meriah dan gegap gempita supaya menjadi momentum dan stimulus bagi masyarakat untuk mengerti dan memahami pentingnya persatuan supaya bangsa ini bisa bangkit dari keterpurukannya saat ini, yakni ancaman retaknya persatuan.

Seperti pernah dilakukan oleh Soekarno pada tahun 1958, saat itu Hari Kebangkitan Nasional diperingati dengan sangat meriah. Bahkan bisa dipastikan perayaan Hari Kebangkitan Nasional kala itu adalah peringatan paling meriah sepanjang sejarah republik ini.

Hal itu dilakukan oleh Soekarno untuk menyatukan kembali anak bangsa yang sebelumnya porak-poranda sebab perang saudara yang melanda. Penyebabnya bukan semata politik, namun lebih diperkuat oleh keangkuhan untuk menjejalkan ajaran agama tertentu menjadi dasar hukum sah bagi Republik Indonesia.

Peringatan dan perayaan Hari Kebangkitan Nasional yang digelar gegap gempita tersebut tidak lain tujuannya untuk menjahit “luka” tersobeknya kesatuan bangsa. Semangat Hari Kebangkitan Nasional membara kembali sampai beberapa dekade berikutnya.

Akan tetapi, seiring bergulirnya waktu luka bangsa tersebut tergores lagi dan mengeluarkan darah, bahkan luka tersebut lebih parah dan bernanah. Dikatakan lebih parah karena usaha menjatuhkan martabat bangsa ini dilakukan dengan lebih sistematis dan rapi. Kalau sampai menguak ke permukaan, goncangannya akan menimbulkan akibat bangsa ini hanya tinggal nama.

Oleh karena itu, sekali lagi, momentum Hari Kebangkitan Nasional semestinya tidak hanya sekadar diingat, melainkan dijadikan momen untuk meningkatkan kita akan arti pentingnya kebangkitan nasional yang syaratnya adalah persatuan. Sebab tanpa persatuan yang akan disaksikan bukan kebangkitan nasional, melainkan “kehancuran nasional”.

Karenanya, sangat diperlukan sikap “kewarasan nasional” dengan memandang Indonesia sebagai rumah bersama bagi seluruh penduduk. Menjaga keutuhan rumah yang didiami bersama jauh lebih penting dari sekadar mempersoalkan egoisme yang anti perbedaan. Biarlah latarbelakang perbedaan masing-masing penghuni rumah menjadi warna yang menambah keindahan.

Salah satu usaha untuk menjaga bangunan rumah besar bernama Indonesia adalah dengan memanfaatkan Hari Kebangkitan Nasional sebagai momentum meruat kembali persatuan bangsa yang saat ini berada diambang perpecahan serius. Kalau tidak diseriusi, akibat yang akan ditanggung terlalu besar berupa kehancuran bangsa.

Faizatul Ummah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

2 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

2 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

2 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

3 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

3 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

3 hari ago