Sejarawan dan Indonesianis Benedict Anderson pernah menyebut bahwa perjuangan kemerdekaan Indonesia merupakan revolusi pemuda. Pandangan itu tentu bukan tanpa dasar. Sejarah mencatat, bahwa pemuda memiliki peran signifikan dalam setiap fase atau etape perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dengan kata lain, pemuda selalu hadir dalam setiap milestone perjalanan lahirnya Republik Indonesia.
Di era 1908 yang sering disebut sebagai fase awal bangkitnya nasionalisme, pemuda memegang peran signifikan. Lahirnya organisasi Budi Utomo yang pertama kali memperjuangkan nasionalisme diprakarsai oleh sejumlah anak muda intelektual. Demikian pula di era 1928 yang menandai penanda zaman munculnya Sumpah Pemuda. Dari namanya saja, kita tahu siapa aktor di balik deklarasi nasionalisme secara eksplisit itu. Yaitu anak muda dari sejumlah wilayah di Nusantara.
Peran pemuda juga tampak dalam peristiwa proklamasi kemerdekaan dan gejolak revolusi di tahun 1945. Tanpa desakan kaum muda, barangkali proklamasi kemerdekaan tidak akan pernah dikumandangkan. Tidak sampai di situ, peran pemuda juga terus mengemuka dalam setiap momen penting perjalanan bangsa, misalnya Reformasi dan sebagainya. Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana peran pemuda hari ini?
Pertanyaan itu sebenarnya sederhana. Namun, terasa sulit menjawabnya. Bagaimana tidak? Sejumlah survei dan penelitian justru acapkali menunjukkan pesimisme pada peran pemuda. Misalnya saja, hasil temuan terbaru yang menyebutkan bahwa ada setidaknya 9’7 juta generasi milenial di Indonesia yang berstatus tidak jelas, alias tidak bersekolah, namun juga tidak bekerja.
Penelitian lainnya juga menyebutkan bahwa banyak generasi Z yang terpapar ideologi rasikalisme keaagamaan dan mulai luntur rasa nasionalismenya. Data-data itu tentu bukan sekadar temuan statistik belaka. Data itu adalah secuil kondisi bangsa sekaligus juga prediksi masa depan bangsa.
Bayangkan saja, komposisi generasi Z di Indonesia ini mencapai 75 juta atau setara 25 persen dari total populasi. Itu artinya jumlah mereka sangat signifikan secara demografis. Lagipula, generasi Z merupakan generasi penerus tongkat estafet kebangsaan di masa depan. Apa jadinya nasib bangsa jika generasi mudanya justru abai pada nasionalisme-patriotisme dan gandrung pada radikalisme?
Mengatasi Defisit Patriotisme di Kalangan Generasi Z
Defisit patriotisme-nasionalisme di kalangan generasi Z ini bukan soal sepele. Ini adalah soal serius karena menyangkut ketahanan bangsa di masa depan. Maka, membangun patriotisme di kalangan generasi Z adalah sebuah kewajiban. Spirit nasionalisme dan patriotisme generasi muda angkatan 1908, 1928, dan 1945, harus dihadirkan kembali dan diadaptasi oleh generasi kekinian.
Membangun kesadaran patriotik di kalangan generasi Z memang bukan perkara mudah. Generasi Z dikenal memiliki karakter yang unik. Di satu sisi mereka sangat adaptif pada tekonologi digital, dan inklusif terhadap perbedaan. Namun, di sisi lain mereka acap tidak nyaman dengan segala hal yang berbau formalisme apalagi dogmatisme.
Maka, penting kiranya kita mengubah desain pendidikan nasionalisme atau patriotisme di kalangan generasi Z. Pola pembentukan jiwa nasionalis-patriotis ala militerisme yang selama ini dijadikan sebagai standar oleh pemerintah sudah sepatutnya ditinjau ulang. Kita membutuhkan pendekatan baru yang lebih adaptif pada gaya dan karakter generasi Z.
Nasionalisme dan patriotisme tidak perlu didoktrinkan secara kaku dalam bentuk pelatihan militer, dan sejenisnya. Melainkan bisa dilakukan dengan cara yang lebih populer. Misalnya melalui konten media sosial dengan menggandeng influencer besar. Hal itu kiranya akan lebih efektif dan optimal dalam membentuk kesadaran patriotik kalangan generasi Z.
Harkitnas 2024 yang mengusung tema “Bangkit Untuk Indonesia Emas” adalah momentum yang tepat untuk membangun kembali kesadaran kebangsaan kalangan generasi Z. Generasi Z adalah tumpuan masa depan bangsa. Maka, selain menguasai ilmu pengetahuan, cakap dalam hal teknologi, melek isu-isu global, generasi Z juga harus memiliki jiwa patriotisme yang kuat. Tanpa itu, generasi Z akan mudah terpincut oleh propaganda ideologi trans nasional yang bertentangan dengan kebinekaan.
Seperti kita lihat, infiltrasi paham radikal keagamaan telah jauh menjerumuskan generasi Z pada sikap anti kebangsaan dan keindonesiaan. Sebagian dari mereka lantas asing dengan sejarah bangsa sendiri, namun begitu memuja sejarah bangsa lain. Tidak hanya itu, hasil survei juga menyebutkan bahwa kian banyak generasi Z yang menolak Pancasila dan mendukung khilafah. Parahnya lagi, kian banyak generasi Z terjerumus ke dalam organisasi radikal terosisme.
Arkian, peringatan Harkitnas kiranya bisa menjadi semacam stimulus yang mendorong munculnya kesadaran generasi Z untuk kembalikan mengenali sejarah bangsa sendiri dan mencintai bangsanya dengan sepenuh hati.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…