Narasi

HASYIM MUZADI SEBAGAI GURU BANGSA PENJAGA TOLERANSI

Indonesia baru saja kehilangan salah satu guru bangsa. Kali ini adalah KH. Hasyim Muzadi, anggota Wantimpres dan mantan Ketum PBNU dua periode. Alumnus Ponpes Gontor ini wafat pada Kamis (16/3) pukul 06.15 WIB.

Hasyim Muzadi selama hidupnya dikenal bersahaja, humoris, dan konsisten memperjuangkan terciptanya toleransi hingga level internasional. Indonesia sendiri masih menghadapi permasalahan klasik seputar kasus intolerasi. Kasus-kasus tersebut berpotensi menjadi bibit yang membahayakan kerukunan bangsa.

Kunci kemajuan dan jaminan keberlanjutan pembangunan Indonesia terletak salah satunya pada faktor kerukunan atau ukhuwah. Indonesia meskipun bukan negara agama namun ideologi dan konstitusinya meletakkan agama pada posisi fundamental. Untuk itu sejak lama dikenal konsep Trilogi kerukunan umat beragama, terdiri dari kerukunan intern umat beragama, kerukunan antar umat beragama, dan kerukunan antar umat beragama dengan pemerintah.

Harmoni pelaksanaan trilogi di atas menjadi penentu terajutnya ukhuwah kebangsaan atau terciptanya persatuan Indonesia. Spirit dan misi membangun toleransi yang digagas dan diperjuangkan Kyai Hazim layak dilanjutkan.

Seiring kompleksitas kehidupan global, kerukunan kebangsaan menghadapi tantangan internal maupun eksternal. Seluruh komponen bangsa mesti bersatu dan mampu mengelola tantangan guna merawat kedamaian. Upaya revitalisasi dalam implementasi kerukunan atau ukhuwah kebangsaan dibutuhkan saat ini.

Akar kata “ukhuwah” berasal dari kata “akhun” yang berarti berserikat dengan yang lain karena kelahiran dari dua belah pihak atau salah satunya atau karena persusuan. Dalam Al-Qur’an ditemukan kata “ikhwan”, yang biasanya digunakan untuk persaudaraan tidak sekandung  sebanyak 22 kali, sebagian disertakan dengan kata ad-din (agama). Sedangkan kata “ikhwah” terdapat sebanyak 7 kali dan digunakan untuk persaudaraan keturunan, kecuali satu ayat yang menyebutkan sebagai persaudaraan seiman.

Keberagaman dalam hal agama dan kepercayaan di Indonesia menuntut implementasi tolerasi. Tentunya toleransi yang bersifat kesekapatan dan  kemanusiaan bukan mencampuradukan ajaran agama. Pemerintah dalam upaya memelihara stabilitas keamanan, dan ketertiban telah mengeluarkan Peraturan Bersama Menteri Agama Dan Menteri Dalam Negeri Nomor 9 dan 8 Tahun 2006.

Komponen utama dalam menciptakan kerukunan kebangsaan adalah ulama atau pemuka agama, umara atau pemerintah, dan umat beragam. Ketiganya mesti saling bersinergi secara harmonis sesuai dengan kedudukan yang dapat diperankan.

Komunikasi intensif dan periodik penting digulirkan antara pemerintah dan pemuka agama. Ormas keagamaan penting diposisikan sebagai mitra untuk diajak bergandengan merajut kedamaian dan kerukunan. Peran organisasi sentral pemuka agama seperti MUI, KGI, PGI, Walubi, PDHI dan lainnya mesti dikuatkan dan diakui eksistensi melalui pelibatan aktif dalam kehidupan kenegaraan.

Pemerintah juga mesti adil dan tegas dalam penegakan hukum bagi oknum yang menodai ukhuwah kebangsaan. Hal-hal sekecil apapun tidak perlu ditutup-tutupi. Keterbukaan justru menjadi pintu masuk mengurai persoalan.

Sebaliknya pemuka agama atau ormas keagamaan penting pro aktif berpartisipasi dan menyampaikan saran dan kritik konstruktif bagi pemerintah. Motivasi kebangsaan mesti didahulukan di atas kepentingan kelompok apalagi politik pengurusnya. Pemuka agama juga mesti terus mentransformasikan nilai-nilai ukhuwah dan kedamaian kepada umat. Bibit-bibit perselisihan intern maupun antar umat beragama mesti dipetakan sejak awal. Ketika mulai muncul di lapangan, pemuka mesti sigap dan tanggap untuk segera memecahkannya. Jika bibit kecil-kecil dibiarkan bahkan cenderung dipupuk, maka bom waktu konflik akan terjadi.

Umat agama mesti mendengarkan pemukanya sekalgus mematuhi peraturan yang berlaku. Sentimen golongan atau keormasan mesti dikesampingkan demi membangun kerukunan kebangsaan.

Musyawarah mesti menjadi media yang diprioritaskan jika terjadi friksi diantara ketiga komponen di atas. Upaya kekerasan, amuk massa, perusakan fasilitas agama, dan lainnya mesti dihindari sejak dini. Jika hal tersebut terjadi, penegakan mesti tidak pandang bulu baik kepada mayoritas maupun minoritas.

Indonesia diharapkan dunia menjadi teladan kerukunan. Kesuksesan merajut ukhuwah kebangsaan dengan output kedamaian yang langgeng akan menjadi kunci mewujudkan kedamaian peradaban global. Indonesia penting tampil pada garda depan dalam upaya tersebut. Beragam kasus dan upaya dalam negeri dapat ditularkan kepada negara-negara lain yang heterogen dan rawan konflik. Tokoh-tokoh bangsa penting meneladani jejak Kyai Hazim dalam memperjuangkan dan merawat iklim toleransi hingga peradaban global.

RIBUT LUPIYANTO

Deputi Direktur C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration); Blogger

Recent Posts

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

10 jam ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

10 jam ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

10 jam ago

Konsep Islam Menentang Tiga Dosa Besar Dunia Pendidikan

Lembaga pendidikan semestinya hadir sebagai rumah kedua bagi peserta didik untuk mendidik, mengarahkan dan membentuk…

2 hari ago

Pemaksaan Jilbab di Sekolah: Praktir yang Justru Konsep Dasar Islam

Dalam tiga tahun terakhir, kasus pemaksaan hijab kepada siswi sekolah semakin mengkhawatirkan. Misalnya, seorang siswi…

2 hari ago

Memberantas Intoleransi dan Eksklusivisme yang Menjerat Pendidikan Negeri

Dua tahun lalu, seorang siswi SDN 070991 Mudik, Gunungsitoli, Sumatera Utara, dilarang pihak sekolah untuk…

2 hari ago