Indonesia telah merdeka dari kolonialisme sejak 79 tahun silam. Sejatinya, kemerdekaan tersebut dirasakan oleh semua masyarakat Indonesia tanpa terkecuali. Memiliki hak yang sama sebagai warga negara; hak beragama, politik, sosial dan sebagainya. Idealnya, masyarakat Indonesia bebas dari tindakan diskriminatif, intimidasi dan dari segala bentuk ketidakadilan.
Kenyataannya, sebagian masyarakat, utamanya kelompok minoritas seringkali mendapat perlakuan tidak adil. Dalam beberapa dekade terakhir, kelompok minoritas sering dipinggirkan. Terutama kelompok penganut agama minoritas. Jamak terjadi diskriminasi, intimidasi dan bahkan penyerangan pada kelompok agama minoritas. Tentu kita masih sangat ingat tragedi yang dialami kelompok Ahmadiyah di Sintang, Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu.
Beberapa orang yang merasa sebagai kelompok mayoritas masih ada yang menilai bahwa mereka harus lebih utama dari pada mayoritas. Merasa lebih berhak atas suatu hak dan minoritas harus tunduk. Tak ayal perlakuan diskriminatif seringkali terjadi dan korbannya adalah mereka yang ada pada posisi minoritas; agama, etnis maupun budaya.
Sejatinya para pendiri bangsa tidak menginginkan hal seperti itu. Mayoritas minoritas saling melengkapi dan memiliki kedudukan yang sama. Tidak ada yang lebih istimewa diantara keduanya. Saling melengkapi dalam bingkai persatuan Republik. Sebab dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah tidak dikenal istilah mayoritas dan minoritas. Semuanya saling bahu-membahu berjuang untuk kemerdekaan.
Masih lekat dalam benak ingatan kita semua, pada saat pendiri bangsa merumuskan Piagam Jakarta. Saat itu, penganut Kristen Indonesia timur mengajukan gugatan untuk menghapus tujuh kata di Piagam Jakarta. Jika tidak dihapus ada potensi perpecahan. Sehingga para perumus mengambil kebijakan menghapus redaksi “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Tujuh kata tersebut jelas memihak umat Islam. Karenanya, penganut agama lain dengan sendirinya ada pada posisi terpinggirkan. Umat Islam sekalipun mayoritas menerima penghapusan tersebut sekalipun dalam posisi sebagai mayoritas. Demi untuk keutuhan NKRI, dan demi untuk keadilan umat Islam rela akan penghapusan tujuh kata tersebut.
Peristiwa ini mengingatkan kita semua pada peristiwa penghapusan “Muhammad Rasulullah” saat Piagam Madinah dirumuskan oleh Nabi bersama penduduk Madinah yang multikultur. Diganti dengan redaksi “Muhammad putra Abdullah”. Demi menjaga persatuan dan kesatuan, Rasulullah dengan rela hati menerima gugatan non muslim Madinah tersebut.
Dua peristiwa di atas, semakin meneguhkan kenyataan, bagi umat Islam persaudaraan dan persatuan merupakan tujuan mulia dalam suatu bangsa. Mayoritas dan minoritas kedudukannya saling melengkapi, bukan polarisasi. Mayoritas tidak lebih tinggi kedudukannya dalam hukum dibanding minoritas.
Oleh sebab itu, Islam menganjurkan umatnya untuk mengedepankan toleransi. Toleransi menjadi ajaran Islam yang harus ditaati oleh umat Islam. Agama lain juga demikian, pasti menjunjung tinggi sikap toleransi. Hanya egoisme penganutnya saja yang seolah-olah ada agama yang melarang umatnya memiliki sikap toleran. Dalam konteks kehidupan bernegara, toleransi harus dijunjung tinggi agar saling menjaga satu sama lain.
HUT RI Ke-79 sejatinya menjadi momentum bagi bangsa Indonesia untuk lebih menebalkan sikap anti diskriminasi dalam segala bentuknya; agama, politik, sosial, budaya dan ekonomi. Bangsa Indonesia sejatinya telah terlepas dari diskriminasi agama, dimana kelompok penganut agama minoritas mengalami diskriminasi dalam segala bentuknya. Masyarakat Indonesia seharusnya juga terbebas dari diskriminasi sosial, dimana pelayanan sosial seringkali memihak yang kaya dari pada mereka yang miskin, memihak penguasa atau pejabat dibandingkan rakyat jelata.
Ketidakadilan atas nama mayoritas dan minoritas sejatinya telah pupus diusia kemerdekaan yang berumur 79 tahun. Kemerdekaan dan keadilan seharusnya telah dirasakan oleh semua penduduk Indonesia serta terbebas dari diskriminasi. Tidak ada lagi arogansi dari kelompok mayoritas, dan demikian pula kelompok minoritas harus memposisikan diri sebaik mungkin tanpa ada rasa cemburu yang berlebihan terhadap mayoritas.
Maka, saling menghargai dan saling menjaga toleransi menjadi kunci terciptanya kedamaian hidup beragama, beradat, bersuku, dan berbudaya. Sehingga tidak akan tercipta polarisasi dua kutub masyarakat yang saling bermusuhan dalam tubuh NKRI. Inilah kehidupan berbangsa yang kita impikan.
Tidak mungkin mewujudkan Indonesia Emas tahun 2045 kalau tidak ada kedamaian. Kekerasan dan konflik hanya menyisakan penderitaan dan dendam kesumat berkepanjangan. Bangsa kita sejak dulu mengajarkan persaudaraan dan toleransi. Gotong royong merupakan falsafah hidup masyarakat Indonesia sebagai warisan leluhur bangsa kita. Bergotong royong tidak memandang agama maupun suku, semuanya lebur saling bahu membahu.
Sebagai penutup, pelangi itu indah karena warna-warninya dan setiap warna menempati posisi sesuai dengan porsinya. Agama, suku, etnis, dan budaya adalah warna-warni kehidupan masyarakat Indonesia, dan semua warna itu akan terlihat indah bila menempati posisi sesuai dengan porsinya. Ala kulli hal, kemerdekaan dicapai karena persatuan dan perjuangan kemerdekaan dilakukan oleh seluruh komponen masyarakat Indonesia baik mayoritas maupun minoritas.
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…