Narasi

Ideologi Agnostik Media Sosial: Ketika Ideologi Ekstrem Bersembunyi di Balik Layar Gawai

Ledakan yang mengoyak ketenangan SMAN 72 pada 7 November lalu bukan sekadar berita kriminal. Ia adalah penanda, sebuah suar yang menyorot ke dalam jurang gelap tempat generasi muda kita sedang bergulat. Tragedi ini adalah puncak gunung es. Namun, yang lebih mengejutkan dari serpihan ledakan itu adalah dugaan motif di baliknya. Terduga pelaku yang notabene seorang siswa diduga tidak terafiliasi dengan jaringan terorisme relijius yang selama ini menjadi momok utama di Indonesia. Hal ini didukung dengan barang bukti yang mengarah kepada isu rasial dan postingan sosial media terduga pelaku.

Fakta ini adalah bukti nyata, bahwa radikalisasi via media sosial adalah sebuah mesin yang agnostik. Ia bisa menyisipi ideologi apa saja dan menyerang siapa saja yang rentan.

Seorang remaja yang labil, terisolasi, marah, dan tidak memiliki tempat untuk meluapkannya adalah target utama. Ketika keluarga, sekolah, dan teman sebaya gagal memberikannya, ia akan mencarinya di dunia maya. Dan di sanalah algoritma mengambil alih. Ruang gema (echo chamber) akan memberikan preferensi kekerasan, dan ekstremisme yang seakan memvalidasi keinginannya.

Untuk memahami bagaimana kerapuhan psikologis ini bisa berujung pada kekerasan ekstrem, kita bisa melihatnya melalui lensa serial drama kriminal psikologis Inggris di Netflix, Adolescence.

Serial besutan Jack Thorne dan Stephen Graham ini potret klinis dari seorang remaja laki-laki yang diperankan oleh Owen Cooper sebagai Jamie Miller di sebuah kota kecil Inggris. Jamie adalah sosok yang terasing, pendiam, dan menjadi sasaran perundungan di sekolahnya.

Adolescence dengan sangat detail menunjukkan bagaimana meme-meme sinis, “lelucon” rasis, dan bullying perlahan-lahan menormalisasi kebencian. Puncaknya adalah ketika Jamie melakukan tindak kejahatan di luar nalar.

Jamie bukanlah berasal dari keluarga kriminal, catatan di sekolahnya juga tak menunjukkan keburukan. Namun karena bulliying dan radikalisasi media sosial, benaknya telah terisi akumulasi kebencian.

Kasus SMAN 72 adalah cerminan dari plot Adolescence di dunia nyata. Terduga pelaku di SMAN 72 adalah sosok Jamie versi kita. Seorang remaja yang mungkin merasa terasing, mungkin menjadi korban perundungan, yang kemudian menemukan “kekuatan” dan “identitas” barunya di media sosial. Mungkin, ia tidak lagi melihat teman sekelasnya sebagai manusia, ia melihat mereka sebagai “simbol” dari “musuh” yang harus dibinasakan.

Tragedi ini adalah refleksi bahwa virus radikalisme, ekstremisme dan terorisme bisa menyasar siapa saja. Garis depan pertempuran melawan terorisme tidak lagi hanya di perbatasan atau di dunia maya yang gagap. Garis depan itu ada di lorong sekolah, di ruang makan keluarga, dan dalam cara kita mengajari anak-anak kita berempati dan bersosialisasi.

Jika kita gagal membangun ketahanan psikologis dan emosional pada anak dan keluarga kita, maka ruang kosong dalam pencarian jati diri mereka akan selalu tersedia untuk dibajak oleh ideologi ekstrem yang datang mengetuk pintu algoritma mereka.

This post was last modified on 12 November 2025 12:57 PM

Andri Bima

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

2 minggu ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

2 minggu ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

2 minggu ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

2 minggu ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

2 minggu ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

3 minggu ago