Narasi

Idul adha, Ritus Suci yang Menutup Celah Konflik di Akar Rumput

Idul adha bukan hanya dirayakan sebagai momen spiritual tetapi juga kultural di Indonesia. Tesis ini bertolak dari keniscayaan bahwa hidup berdampingan antar penganut agama merupakan hal lumrah.

Meskipun Indonesia (masih) berstatus negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, namun realitas hidup bertetangga dengan orang non-Muslim sudah menjadi hal lumrah di negeri ini.

Tentu, sebagai tetangga dan kerabat, Muslim dan non-Muslim perlu membangun relasi yang baik agar tercipta lingkungan yang harmonis. Hari raya Idul Adha pada dasarnya adalah momentum untuk membangun relasi tersebut.

Umat Muslim yang berkurban bisa berbagi daging kurban kepada saudara-saudara yang non-Muslim sebagai akad untuk saling berbagi dan komitmen untuk menciptakan hubungan yang harmonis.

Meski ada ulama yang mengharamkan, tetapi mazhab Syafi’i yang notabene dianut oleh sebagian besar Muslim di Indonesia, cenderung membolehkannya. Asumsinya adalah bahwa tujuan kurban itu sendiri adalah sebagai manifestasi dari belas kasih kepada orang-orang Muslim dengan cara memberi makan kepada mereka yang fakir.

Menurut Imam Malik dan Imam Al-Laits, makruh memberikan kulit hewan kurban kepada orang Nasrani. Beberapa ulama lain mengatakan, itu adalah makanan yang boleh dimakan karenanya boleh diberikan kepada “kafir dzimmi”. Dalil di atas secara implisit berbicara mengenai kebolehan memberikan daging kurban kepada non-Muslim asal ia bukan kafir harbi (yang memerangi Islam).

Di antara ulama Indonesia yang juga membolehkannya adalah Gus Baha dan Buya Yahya. Buya Yahya mengatakan bahwa memberi daging kurban kepada non-Muslim diperbolehkan atas nama sedekah. Buya membolehkan namun dengan syarat bahwa penerimanya bukan kafir harbi.

Gus Baha menambahkan bahwa kebolehan memberi daging kurban kepada non-Muslim itu bukan berarti langsung menjadi syariat sunnah. Gus Baha juga menyinggung orang yang berpikir bahwa kurban adalah media taqarrub kepada Allah, lalu bertanya-tanya “masak taqarrub diberikan kepada orang kafir?”.

Cara berpikir tersebut kurang tepat. Gus Baha dan Buya Hamka sama-sama menyinggung soal kedermawanan orang Islam yang seringkali memikat orang non-Muslim untuk masuk Islam.

Analogi ini serupa misalnya dengan pertanyaan“Apakah sosok semulia Nabi Muhammad harus bergaul di tengah-tengah orang-orang kafir di Madinah?”. Jawabannya, justru dengan akhlak mulia Rasulullah tersebut banyak dari mereka yang kemudian tertarik untuk memeluk Islam.

Daging kurban memang terlebih dahulu harus didistribusikan kepada orang-orang faqir terlebih dahulu, selain apa yang menjadi hak pemilik kurban, baru kemudian kepada lapisan masyarakat yang lain, seperti tetangga baik Muslim maupun non-Muslim. Menyembelih hewan kurban itu, selain bernilai ibadah bagi yang berkurban, juga menyimpan hikmah untuk memperkuat hubungan silaturahim sosial-kemasyarakatan.

Termasuk dengan tetangga yang non-Muslim. Berbagai daging kurban tersebut juga berfungsi untuk menghindarkan kesenjangan sosial dalam pergaulan ketetanggaan. Atau jika kita berkenan, daging kurban itu bisa diolah atau dimasak terlebih dahulu lalu diberikan dalam bentuk jamuan makan. Hal itu sangat berpengaruh dalam membina keharmonisan sosial dengan sesama.

Kebolehan untuk berbagi daging kurban kepada non-Muslim membuka ruang untuk dialog dan jembatan pemahaman antara kelompok yang berbeda. Dalam konteks ini, kurban turut berkontribusi dalam membangun masyarakat yang lebih inklusif.

Daging kurban yang diberikan kepada tetangga non-Muslim bisa menjadi simbol dari niat baik umat Islam untuk mempererat hubungan sosial dan mengurangi kesenjangan yang ada. Ini bukan hanya soal makanan, tetapi tentang membangun kedekatan emosional antar sesama manusia, yang lebih jauh dapat meminimalisir konflik sosial berbasis agama.

Dalam konteks sosial-politik Indonesia yang semakin terfragmentasi, praktik berbagi dalam Iduladha seharusnya menjadi langkah kecil yang signifikan untuk menekan ketegangan.

Dalam kehidupan modern, salah satu masalah serius yang menerpa masyarakat adalah makin menipisnya solidaritas. Situasi ini tentu tidak lepas dari dinamika ekonomi yang penuh persaingan sehingga makin mengikis kepekaan sosial. Masyarakat perkotaan kadangkala berubah menjadi individu yang terisolasi dari yang lain dan bertindak hanya demi kepentingan sendiri. Realitas ini rentan dieskploitasi oleh kelompok radikal teroris untuk menebar kebencian.

Ibadah kurban dapat menjadi alat yang efektif dalam membangun solidaritas sosial antaridentitas yang kian rentan ini. Berbagi dalam Iduladha bukan hanya soal memberi daging atau makanan, tetapi tentang menyampaikan pesan bahwa kedamaian dan toleransi adalah landasan utama dalam berkehidupan berbangsa dan beragama.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Kesiapsiagaan Merupakan Daya Tangkal dalam Pencegahan Terorisme

Ancaman terorisme yang terus berkembang bukanlah masalah yang dapat diselesaikan dengan pendekatan konvensional atau sekadar…

5 hari ago

Zero Attack; Benarkah Terorisme Telah Berakhir?

Dalam beberapa tahun terakhir, dunia tampak lebih tenang dari bayang-bayang terorisme yang pernah begitu dominan…

5 hari ago

Pembelajaran dari Mitologi Kuda Troya dalam Ancaman Terorisme

Di tengah sorotan prestasi nihilnya serangan teror dalam beberapa tahun terakhir, kita mungkin tergoda untuk…

6 hari ago

Jejak Langkah Preventif: Saddu al-Dari’ah sebagai Fondasi Pencegahan Terorisme

Dalam hamparan sejarah peradaban manusia, upaya untuk mencegah malapetaka sebelum ia menjelma menjadi kenyataan bukanlah…

6 hari ago

Mutasi Sel Teroris di Tengah Kondisi Zero Attack; Dari Faksionalisme ke Lone Wolf

Siapa yang paling diuntungkan dari euforia narss zero terrorist attack ini? Tidak lain adalah kelompok…

6 hari ago

Sadd al-Dzari’ah dan Foresight Intelijen: Paradigma Kontra-Terorisme di Tengah Ilusi Zero Attack

Selama dua tahun terakhir, keberhasilan Indonesia menangani terorisme dinarasikan melalui satu frasa kunci: zero terrorist…

7 hari ago