Narasi

Ikrar Damai Lintas Golongan

Dalam karyanya, Masyarakat Madani: Tinjauan Historis Kehidupan Zaman Nabi (h. 65) Akram Dhiyauddin Umari menuliskan, penduduk Yatrib (nama asli Madinah sebelum hijrah Nabi) kebanyakan pendatang dari Yaman, semenanjung Arab bagian Selatan. Mereka adalah suku Aus dan Khazraj dari Bani Qailah. Mereka memiliki hubungan darah dengan Suku Azd di Yaman, yang pindah dan menetap di Yatsrib pada 207 M, paska runtuhnya bendungan Ma’rib. Bendungan raksana yang menjadi sumber kehidupan masyarakat di sana.

Ada juga yang menengarai, kepindahan mereka terkait banjir besar al-‘Aram. Pendapat lain mengaitkan dengan kegalauan politik dan runtuhnya ekonomi akibat dominasi Romawi atas Laut Merah. Menurut Akram, pendapat terakhir ini lebih akurat, dengan alasan instabilitas politik dan ekonomi itu berpengaruh terhadap penduduk, termasuk Azd yang kala itu menjadi mayoritas yang berdiam di sekitar waduk Ma’rib (h. 65-66).

Selain mereka, yang lebih dulu mendiami Yatsrib sebetulnya justru kaum Yahudi (Qainuqa, Bani Nadhir dan Quraidhah). Sebagai penduduk lama Yatsrib, kaum Yahudi kurang senang dengan kemampuan pendatang Yaman menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya sebagai petani sukses. Keberhasilan pendatang itu membuat iri penduduk lama. Tak jarang, dua suku Aus dan Khazraj yang menyembah berhala diadu domba oleh kalangan Yahudi. Pertikaian antara keduanya sering terjadi. Termasuk juga pertikaian dengan kaum Yahudi, tentu saja.

Kedatangan Muhammad Saw menjadikan banyak dari mereka tersadar dan mampu bersatu secara damai. Apa yang dilakukannya di sana? Selain membangun masjid untuk kepentingan aktivitas kaum muslim, putera Abdullah dan Aminah ini menginisiasi penataan kehidupan bermasyarakat yang berbhinneka itu melalui perjanjian bersama yang tidak berlandaskan primordilitas agama, yang dikenal dengan Piagam Madinah atau Mitsaq Madinah.

Terkait otentisitas piagam ini, Yusuf al-Ish menyebutnya sebagai being fabricated (dibuat-buat), karena tidak tercantum dalam kitab-kitab fikih maupun Hadis shahih, kendati kedudukannya secara hukum sangat penting. Menurutnya, dokumen ini dinukil oleh Ibn Ishaq tanpa menyebutkan sanad atau jalur transmisinya. Menurut Akram, terlalu gegabah menyatakan dokumen ini sebagai being fabricated, kendati nilainya tidak bisa disejajarkan dengan Hadis shahih.

Akram berpandangan, sesungguhnya pecahan-pecahan dokumen ini tercantum dalam Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Musnad Ahmad bin Hanbal, Sunan Abi Dawud, Sunan Ibn Majah dan Sunan al-Tirmidzi (h. 110-112). Karena itu, isi dari Piagam Madinah yang sangat populer dan menjadi kajian serius akademisi modern ini telah terkafer dalam kitab-kitab induk yang ada. Tidak penting lagi menyoal otentisitasnya, lantaran isinya lebih penting ketimbang bungkusnya.

Apa isi perjanjian bersama antar golongan yang dinilai sebagai perjanjian modern yang mampu membentuk masyarakat beradab dan berkeadaban (di zaman ini lalu dikenal istilah Masyarakat Madani) yang diinisiasi Muhammad itu?

Melalui perjanjian ini, Muhammad ingin membentuk masyarakat modern yang memiliki tatanan, aturan dan hukum yang berlaku egaliter untuk semua  masyarakatnya, yang begitu plural baik suku, agama maupun rasnya. Di sana diatur  detail hukum dan tata cara pergaulan dan hubungan antar sesama penduduk Madinah, baik antar Muslim, antar Yahudi maupun antara Muslim dengan Yahudi dan selainnya.

Dalam catatan Akram Dhiyauddin Umari, Piagam Madinah ini terdiri dari 47 point penting. Misalnya pada point 2 disebutkan: “Mereka adalah satu komunitas (ummah) dengan mengenyampingkan semua manusia”; 39: “Yatsrib akan menjadi tempat suci bagi orang-orang yang menyepakati dokumen ini”; 44: “Pihak yang bertikai bertanggungjawab untuk membantu pihak lain melawan serangan apapun terhadap Yatsrib”; 45a: “Jika mereka diminta untuk membuat perdamaian atau menegakkannya, mereka harus melakukan itu; dan jika mereka menuntut hal serupa terhadap orang-orang beriman, mereka juga harus melakukannya, kecuali apabila dalam situasi pertempuran demi agama.”

Yatsrib atau Madinah, adalah negara milik bersama, baik penduduk asli maupun pendatang. Siapapun yang sepakat dengan perjanjian bersama itu, karenanya harus saling membantu dan bahu-membahu jika ada yang menggangu ketenteraman penduduk Madinah. Tak heran karenanya, seorang rahib Yahudi bernama Mukhairiq rela turut bertempur di pihak Islam pada Perang Uhud karena merasa terikat oleh dokumen bersama ini.

“Mukhairiq adalah sebaik-baik Yahudi,” ujar Muhammad merespon wafatnya si Yahudi.

Dan upaya mendamaikan keragaman penduduk Madinah ini dinilai brilian oleh banyak kalangan, termasuk kalangan di luar Islam. Apalagi adaptasi Muhammad di Madinah cukup singkat. Bahkan hanya 10 tahun ia tinggal di sana hingga wafatnya. Karenanya, Robert N. Bellah, sosiolog lulusan Harvard University, Amerika Serikat, tak canggung menilai Piagam Madinah sebagai konstitusi pertama dan termodern yang pernah dibuat di zamannya. Muhammad lalu dinilai sebagai pemimpin dunia yang gemilang.

Dalam konteks kehidupan berbangsa kita hari ini, Indonesia sesungguhnya memiliki banyak kemiripan dengan Madinah. Penduduknya memiliki latar belakang yang beragam; suku, agama dan ras (SARA). Jika keragaman ini tidak dikelola dengan baik, niscaya Surga dari Timur ini akan mengalami perpecahan sebagaimana penduduk Madinah sebelum kedatangan Muhammad. Namun dengan semangat Bhinneka Tunggal Ika atau Sumpah Pemuda yang digelorakan pendahulu negeri ini, keragaman itu bisa dikelola menjadi kekuatan hebat yang membesarkan Indonesia.

Munculnya UUD 1945 dan Pancasila di negeri ini, dengan demikian, sesungguhnya serupa belaka dengan munculnya Piagam Madinah di Madinah. Inilah dokumen ikrar damai bagi keragaman penduduk negeri ini. Karena itu, negeri yang menurut Mahmud Syaltut sebagai qith’ah min al-jannah (serpihan surga) ini sejatinya berpotensi menjadi negeri modern yang penuh keadaban.

Relakah kita, jika potensi yang hebat ini dihancurkan oleh segelintir kelompok yang tidak bertanggungjawab dan hanya mementingkan dirinya sendiri, baik atas nama agama maupun golongan? Kita harus kembali pada kesadaran ke-Indonesia-an dan kebangsaan kita, karena nyatanya segelintir orang yang menghendaki keruntuhan negeri ini benar-benar nyata adanya.

This post was last modified on 20 Desember 2016 10:04 AM

Nurul H Maarif

Pengelola Pondok Pesantren Qothrotul Falah Lebak Banten dan Dosen di beberapa perguruan tinggi Banten

Recent Posts

Reinterpretasi Konsep Politik Kaum Radikal dalam Konteks Negara Bangsa

Doktrin politik kaum radikal secara umum dapat diringkas ke dalam tiga poin pokok. Yakni konsep…

14 jam ago

Islam dan Kebangsaan; Dua Entitas yang Tidak Bertentangan!

Sampai saat ini, Islam dan negara masih kerap kali dipertentangkan, khususnya oleh pengusung ideologi khilafah.…

14 jam ago

Melihat Sejarah Kemerdekaan Indonesia: Meremajakan Kembali Relasi Agama dan Negara

Sejarah kemerdekaan Indonesia adalah perjalanan panjang yang dipenuhi dengan perjuangan, keberanian, dan komitmen untuk membebaskan…

14 jam ago

Pentingnya Etika dan Karakter dalam Membentuk Manusia Terdidik

Pendidikan memang diakui sebagai senjata ampuh untuk merubah dunia. Namun, keberhasilan perubahan dunia tidak hanya…

2 hari ago

Refleksi Ayat Pendidikan dalam Menghapus Dosa Besar di Lingkungan Sekolah

Al-Qur’an adalah akar dari segala pendidikan bagi umat manusia. Sebab, Al-Qur’an tak sekadar mendidik manusia…

2 hari ago

Intoleransi dan Polemik Normalisasi Label Kafir Lewat Mapel Agama di Sekolah

Kalau kita amati, berkembangbiaknya intoleransi di sekolah sejatinya tak lepas dari pola normalisasikafir…

2 hari ago