Di 2024 ini, usia keruntuhan Dinasti Usmaniyyah genap berusia 100 tahun. Momen seabad ambruknya kekhalifahan Turki Usmani itu kerap digadang menjadi titik balik sejarah peradaban umat Islam dan dunia. Kelompok Islam konservatif meyakini bahwa 2024 adalah tahun yang dipilih Tuhan sebagai momentum kebangkitan khilafah.
Klaim ini sebenarnya sangat problematik jika ditinjau dua sejumlah aspek. Pertama dari sisi sejarah, menganggap keruntuhan Turki Usmani pada 1924 sebagai penanda berakhirnya era penerapan hukum Islam adalah kesalahan. Faktanya, pasca runtuhnya Turki Usmani 1924, masih ada dinasti-dinasti kecil di India dan Persia yang menerapkan hukum Islam.
Kedua, secara sosio-psikologis mengapa angka 100 tahun begitu krusial dalam narasi kebangkitan khilafah. Bukankah 100 tahun itu waktu yang sangat lama? Logikanya sesuatu yang telah terkubur lama tentu sulit dibangkitkan kembali.
Contohnya, perusahaan Nokia atau Blackberry yang sudah bangkrut sejak beberapa tahun lalu susah mendapat momentum untuk comeback lagi. Padahal usia kehancurannya masih dalam hitungan tahun alias belum terlalu lama. Lantas, bagaimana mungkin sistem pemerintahan yang sudah bangkrut seabad lalu bisa bangkit lagi?
Ketiga, dari sisi politik narasi kebangkitan khilafah dikaitkan dengan Pilpres 2024. Para pengasong khilafah mengklaim 2024 sebagai momentum pergantian demokrasi ke khilafah. Klaim ini berkembang sejumlah narasi.
Antara lain, keyakinan bahwa salah satu calon presiden merupakan sosok yang akan menegakkan khilafah. Atau narasi bahwa siapa pun yang terpilih di 2024 ini harus menegakkan khilafah. Terakhir, muncul narasi boikot Pilpres di dunia maya.
Kerancuan Umat Islam dalam Memahami Dinamika Sejarah Politik Islam
Hal ini menandai kerancuan memahami dinamika sejarah politik Islam, dari era klasik, pertengahan, sampai modern. Kaum konservatif umumnya hanya fokus pada sisi positif era khilafah, tanpa peduli pada sengkarut persolan di baliknya. Sebagian umat kerap terbuai dengan narasi bahwa era kekhalifahan adalah masa kejayaan peradaban Islam.
Narasi yang demikian itu muncul dari pemahaman sejarah yang tidak utuh. Kemajuan Islam dalam ilmu pengetahuan di era Abbasiyah tidak terjadi semata karena sistem khilafah. Ada banyak faktor. Salah satu yang paling utama adalah terjadinya interaksi akademik dunia intelektual Islam dengan filsafat Yunani.
Dari proses interaksi akademik berupa penerjemahan karya pemikir Yunani ke dalam bahasa Arab dan sebaliknya inilah lahir para pemikir Islam yang menjadi rujukan dunia Barat seperti Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, Al Khawarizmi, Al Biruni, dan sebagainya. Sekali lagi, majunya ilmu pengetahuan Islam kala itu tidak semata terjadi karena sistem pemerintahan khilafah.
Di balik itu, terjadi berbagai penyimpangan. Korupsi, perang, hingga homoseksualitas menjadi fenomena dalam berbagai periode kekhalifahan, dari Abbasiyah hingga Usmaniyah. Namun, penyimpangan itu sengaja ditutupi agar khilafah tampak sempurna, suci, tanpa cela.
Pentingnya Muslim Milenial dan Gen-Z Melek Sejarah
Maka, penting bagi generasi muslim milenial dan generasi Z melek sejarah. Yaitu tidak hanya menguasasi sejarah secara kronologis yang hanya berisi periodisasi. Namun, memahami sejarah secara kritis-holistik sehingga menghasilkan pengetahuan yang komprehensif.
Muslim milenial dan Gen-Z harus memahami dinamika sejarah politik Islam dan latar politis serta sosiologisnya? Dengan kata lain, muslim milenial dan Gen-Z harus memahami Islam secara historis, alih-alih normatif.
Dalam sudut pandang normatif, dinamika politik Islam yang terjadi sejak era Rasulullah, khulafaurrasyidun, hingga masa kekhalifahan merupakan ketentuan agama. Sedangkan jika dilihat dari perspektif historis, dinamika politik Islam itu merupakan hasil dari negosiasi dan kompromi umat dengan realitas sosial, politik, dan budaya kala itu.
Dengan kalimat lain, sistem khilafah itu sebenarnya tidak murni produk agama melainkan produk budaya. Atau jika meminjam ungkapan pemikir Mesir, Ali Abdur Raziq, khilafah itu produk sejarah, bukan syariah. Sebagai sebuah produk budaya atau sejarah, sistem khilafah itu tidak absolut dan tunggal.
Buktinya, sejak wafatnya Rasulullah, mekanisme suksesi kekuasaan dalam Islam tidak pernah memiliki pola yang sama. Pergantian kekuasaan dari Rasulullah ke Abu Bakar, lalu berlanjut ke Umar, Usman, dan Ali terjadi dalam cara yang berbeda. Perbedaan itu terjadi karena memang tidak ada dalil Alquran maupun hadist yang secara spesifik menjelaskan tentang sistem pemerintahan dalam Islam.
Di era modern, ketika dunia Islam lepas dari kolonialisme Barat, sebagian besar memilih untuk mendirikan negara kebangsaan (nation-state) dengan sistem demokrasi. Sistem negara bangsa itu dipilih karena umat Islam tinggal di wilayah yang plural baik secara agama maupun budaya. Alhasil, negara bangsa demokratis dianggap sebagai sistem politik paling memungkinkan bagi terwujudnya kesetaraan, keadilan, dan perdamaian.
Secara historis, kedudukan khilafah dan negara-bangsa atau dalam konteks kita adalah NKRI yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945 sebenarnya adalah sama. Yakni sama-sama merupakan hasil ijtihad yang lahir dari rahim sosial, politik, dan budaya di zamannya.
This post was last modified on 8 Januari 2024 3:05 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…