Kegagalan Evan Clementine dalam kontestasi pemilihan ketua OSIS SMA 6 Depok yang diduga karena beragama non-Muslim patut menjadi perhatian serius. Betapa tidak. Jika yang demikian itu dibiarkan dan dianggap wajar, maka pemberantasi intoleransi di negeri ini akan semakin terjal.
Secara historis, munculnya Islam di Indonesia sangat damai dan toleran. Bahkan kedua nilai tersebut sangat melekat pada diri orang Islam Indonesia. Namun, seiring berkembangnya zaman, bermunculan sekte-sekte, aliran-aliran dan ideologi trans-nasional yang masuk menginfiltrasi bangsa Indonesia. Mengingat tingkat literasi agama masyarakat Indonesia masih rendah, maka banyak yang terpapar virus radikalisme.
Dari sini, penyebaran virus radikalisme mulai muncul menjangkiti sebagian orang Indonesia. Proses ini sudah berlangsung sejak lama. Bahkan hingga saat ini, Indonesia masih menjadi ‘lahan’ empuk bagi gerakan yang menginginkan perubahan dengan cara kekerasan itu dalam menyebarluaskan pahamnya.
Dalam konstalasi politik-keagamaan di Indonesia, masalah radikalisme makin membuncah karena telah ‘berhasil’ memikat simpati sebagian masyarakat sehingga pendukungnya makin meningkat. Akan tetapi, sebagaimana yang dikatakan oleh Endang Turmudi (ed) dalam Islam dan Radikalisme di Indonesia (2005: 5-7), bahwa gerakan-gerakan tersebut lambat laun berbeda tujuan serta tidak mempunya pola yang seragam. Ada yang sekedar memperjuangkan implementasi syariat Islam tanpa keharusan mendirikan sebuah negara Islam, namun ada pula yang getol hendak mendirikan ‘negara Islam.
Merujuk kajian Khamami Zada dalam Islam dan Radikalisme (2002: 95), kemunculan gerakan Islam radikal di Indonesia disebabkan oleh dua faktor; pertama, faktor internal—dari dalam diri umat Islam sendiri—yang telah terjebak pada pemahaman yang dangkal sehingga terjadi penyimpangan norma-norma atau ajaran agama. Kedua, faktor eksternal, yakni hegemoni barat, dan lain sebagainya.
Aksi terorisme di Indonesia memang mengalami tren menurun, namun akar terorisme, yaitu radikalisme tetap tumbuh subur dan mendapatkan posisi di sebagian masyarakat. Memang, radikalisme dan terorisme bukan persoalan yang tunggul. Artinya, gerakan anti-persatuan seperti separatisme. Oleh sebab itu, imunitas harus senantiasa ditingkatkan, diantaranya dengan selalu mengingat bahwa kita hidup di Indonesia ini harus sadar diri bahwa negeri ini terdiri dari berbagai macam RAS. Jika tidak bersikap tenggang rasa, berpikiran terbuka dan toleran, maka akar-akar radikalisme akan dapat leluasa masuk mempengaruhi kita.
Meningkatkan Toleransi
Di sinilah kerentanan itu terjadi sehingga perlu imunitas yang luar biasa supaya kuat menangkal propaganda kelompok radikal. Berkaitan dengan ini, sikap toleransi menjadi kunci utama menjadikan Indonesia zona hijau dari penyebaran virus radikalisme.
Berkaitan dengan ini, Prof. Dr. Abdul Mu’ti (Sekretaris Umum PP Muhammadiyah), ketika memberikan endorse bukun Ahmad Najib Burhani “Dilema Minoritas (2020)” menarik untuk disimak dan direnungkan, yaitu sebagai berikut:
“Intoleransi memang tak sama dengan radikalisme. Namun mereka yang cenderung tak bisa menghargai, apalagi merayakan, perbedaan dan kebhinekaan, umumnya akan mudah terjangkiti virus-virus radikalisme. Sehingga bisa dikatakan bahwa intoleransi merupakan salah satu dari akar radikalisme. Memberantas radikalisme, dengan demikian, harus dilakukan diantaranya dengan menanamkan sebanyak mungkin benih-benih toleransi.”
Radikalisme dan intoleransi adalah batu sandungan atau duri bagi sebuah harmoni. Tanpa menjunjung tinggi toleransi, mustahil bangsa ini bisa hidup harmoni. Untuk itu, promosi toleransi harus terus digaungkan tanpa lelah. Kelelahan akan hal ini, akibatnya sangat fatal.
Urgensi promosi toleransi sangat jelas, yakni tanpa toleransi, komunitas atau pribadi yang menghargai perbedaan dan keragaman, kesetaraan dan perdamaian serta harmoni tidak dapat tercipta di bumi Indonesia ini. Oleh karena itu, segenap elemen bangsa ini harus bahu membahu mempromosikan toleransi kepada seluruh bangsa Indonesia dengan cara dan kreativitas masing-masing.
Langkah-langkah Pencegahan Intoleransi dan Radikalisme
Promosi toleransi sebagai upaya menjadikan Indonesia zona hijau dari radikalisme perlu didukung upaya-upaya lanjutan yang lebih serius lagi, yakni langkah pencegahan. Setidaknya ada beberapa langkah.
Pertama, mengumpulkan data dan informasi mengenai tindakan-tindakan intoleransi dan radikalisme. Di era seperti saat ini, data dan informasi menjadi sesuatu yang sangat vital. Sebab, dengan data dan informasi itu, akan ada banyak hal yang bisa kita dapat. Begitu juga dengan data dan iformasi mengenai tindakan-tindakan intoleransi dan radikalisme.
Kedua, melakukan respon dini terhadap data dan informasi mengenai intoleransi dan radikalisme. Berangkat dari data dan informasi ini, maka kita dapat bergerak cepat, merespon perkembangan mutakhir di lapangan. Data ini tentu saja bisa menjadi bahan kajian dan analisa untuk merumuskan program dan tindakan yang tepat untuk pencegahan intoleransi dan radikalisme.
Ketiga, memperbaiki kesadaran, pemahaman dan keterlibatan orang-tua, guru dan masyarakat tentang intoleransi dan radikalisme. Intoleransi dan radikalisme akarnya adalah persoalan pemahaman yang turunannya dalam bentuk sikap. Lazimnya, pemahaman yang eksklusif terhadap sesuatu atau ajaran agama misalnya, akan mempengaruhi sikap orang tersebut. Oleh sebab itu, memperbaiki kesadaran, pemahaman dan keterlibatan seseorang adalah upaya yang sangat strategis. Terlebih bagi orang tua, harus mempunyai kesadaran dan pemahaman yang baik terhadap nilai-nilai agama supaya bisa menjadi pembimbing dan pengarah bagi anak-anaknya.
Keempat, menanamkan kebhinekaan dan wawasan ideologi kebangsaan di sekolah. Sekolah harus menjadi ruang yang mengedepankan nilai-nilai toleransi. Dan pada ranah inilah, karakter bangsa dan wawasan kebangsaan didapatkan sehingga menjadi modal dasar bagi anak didik dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Intoleransi sebagai salah satu bibit munculnya radikalisme tidak boleh tumbuh subur di sekolah. Justru sekolah harus menjadi garda terdepan dalam memerangi dan membumihanguskan wabah intoleransi.
This post was last modified on 17 November 2020 11:01 AM
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…