Gawai besar pemerintah untuk menyelenggarakan Pemilihan Umum Daerah (Pilkada) serentak telah usai dihelat 27 November lalu. Namun, di balik gegap gempita pesta demokrasi yang melibatkan 203 juta pemilih tersebut, tidak luput dari fenomena Golput, atau Golongan Putih yang mengacu pada mereka yang tidak menggunakan hak pilihnya.
Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI, Idham Kholik, mengakui penurunan animo masyarakat yang mau berpartisipasi dalam Pilkada tidak sampai 70 persen, yang menjadi capaian terendah partisipan pemilu sejak Pilpres sebelumnya. Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Asep Hasan Sadikin, menilai bahwa di balik banyaknya faktor yang menjadi alasan keengganan masyarakat untuk memilih, faktor terbesar adalah ketidakpuasan masyarakat terhadap para elit politik, utamanya perihal kandidat calon pemimpin yang diusung.
Dalam demokrasi ideal, elit politik semestinya menjadi perwakilan aspirasi rakyat. Sayangnya, perihal kandidat calon pemimpin, rakyat tidak terlalu memiliki peran di dalamnya. Ditambah kurangnya transparansi dalam pengambilan keputusan menjadi faktor utama yang memicu ketidakpercayaan publik. Seolah memberi kesan bahwa para elit politik sibuk mengejar kepentingan pribadi daripada memperjuangkan kesejahteraan masyarakat luas.
Akibatnya, banyak orang yang merasa terjebak dalam situasi fetakompli atau fait accompli. Di mana rakyat harus memilih calon yang disodorkan tersebut tanpa alternatif pilihan lain meski para calon tersebut dianggap sama buruknya. Suka tidak suka, ketentuan tersebut telah menjadi fakta yang harus diterima oleh rakyat.
Dalam situasi inilah, Golput sering dijadikan sebagai “jalan keluar” atas situasi fetakompli tersebut. Pun, Golput dipandang sebagai bentuk resistensi simbolik atas pernyataan bahwa rakyat tidak lagi percaya pada sistem yang ada. Tapi sungguhkah demikian?
Golput dalam Sejarah Pemilu Indonesia
Fenomena Golput bukanlah hal yang baru. Ia bermula pada masa Orde Baru (1971) sebagai bentuk protes politik terhadap sistem pemilu yang dianggap tidak adil dan manipulatif. Para pendukung Golput kala itu memprotes ketidakadilan dalam praktik politik, termasuk pembatasan kebebasan berpendapat dan manipulasi sistem untuk keuntungan elit tertentu.
Namun, seiring berjalannya waktu, Golput mengalami perubahan makna dan motivasi. Di zaman ini, Golput lebih didasari pada perlakuan apatis masyarakat terhadap kondisi politik negara. Hal ini mengisyaratkan adanya kelompok masyarakat yang merasa tidak terwakili oleh pilihan-pilihan yang ada. Bagi kelompok tersebut, siapa pun nanti pemimpinnya, akan sama saja, dan ia tidak memberikan dampak yang signifikan terhadap hidup mereka.
Jalan pikiran yang demikian, agaknya merusak tatanan demokrasi yang menjadi landasan negara ini berdiri. Sebab, sikap Golput dapat melemahkan demokrasi. Partisipasi aktif dalam pemilu adalah pondasi dari sistem demokrasi yang sehat. Ketika itu tidak berjalan, maka artinya sistem demokrasi di negara kita sedang tidak baik-baik saja. Terlebih, surat suara yang masih putih dalam pemilu rentan dijadikan objek kecurangan oleh oknum tak bertanggung jawab.
Lebih lagi, menjadi partisipan aktif dalam pemilu merupakan sebuah privilese masyarakat di negara demokratis, di mana mereka memiliki kuasa untuk memilih pemimpin yang memiliki peran signifikan dalam mempengaruhi kebijakan yang berpihak pada kesejahteraan rakyat. Di luar fakta jika kita tengah didudukkan pada kursi fetakompli.
Dari sini, apakah Golput masih bisa dianggap sebagai suatu solusi atas permasalahan politik negeri?
Islam Memandang Golput dalam Pemilu
Dalam Islam, politik bukan sekadar upaya untuk meraih kekuasaan, tetapi merupakan bagian dari tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan, kesejahteraan, dan ketaatan kepada Allah SWT. Pemilu, sebagai mekanisme dalam demokrasi modern, sering dianggap sebagai salah satu cara untuk memilih pemimpin yang mampu menjalankan amanah tersebut.
Hal ini dituliskan dalam al-Quran surah An-Nisa’ ayat 59 yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya, serta para pemimpin di antara kalian…”. Ketika menaati kepala negara adalah wajib, secara otomatis mengangkat pemimpin, dalam konteks ini berpartisipasi dalam pemilu, yang terbaik dari pilihan yang ada pun juga dihukumi wajib. Sehingga Golput dapat dipandang sebagai bentuk pengabaian terhadap amanah kita sebagai warga negara.
Lantas bagaimana jika kita ada di situasi fetakompli, di mana kita tidak memiliki pilihan calon lantaran dari mereka tidak ada yang ideal untuk menjadi pemimpin rakyat? Demikian ini, Islam menawarkan prinsip akhafud-dhararain (memilih mudharat (kerugian) yang lebih kecil). Dalam kaidah fikih, jika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama mengandung mudharat, seorang Muslim dianjurkan untuk memilih yang dampaknya lebih ringan.
Artinya, kita tetap harus memilih calon yang dianggap memiliki kapasitas lebih besar untuk membawa manfaat, meskipun terdapat kekurangan. Laku Golput dapat beresiko menyerahkan kekuasaan kepada pihak yang mungkin membawa mudharat lebih besar. Sehingga, menggunakan hak pilih tetap menjadi langkah yang lebih baik daripada tidak berpartisipasi sama sekali.
Golput yang dilakukan hanya karena sikap apatis dan tidak peduli sangat bertentangan dengan nilai Islam yang mengajarkan bahwa individu akan dimintai pertanggungjawaban atas pilihannya, termasuk dalam menentukan pemimpin. Rasulullah SAW bersabda: “Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas kepemimpinannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim).
Dengan kata lain dari perspektif Islam, Golput bukanlah solusi yang ideal dalam konteks pemilu. Meski demikian, Islam juga mengakui bahwa keputusan untuk Golput adalah hak individu, asalkan didasarkan pada alasan yang kuat dan bertujuan untuk kemaslahatan.
Sekali waktu, Golput dapat menjadi bentuk perlawanan terhadap sistem politik yang dianggap tidak memenuhi ekspektasi rakyat. Namun, untuk menyebutnya sebagai solusi fetakompli dalam pemilu adalah hal yang kompleks. Golput pada akhirnya menjadi cermin bagi sistem demokrasi kita untuk merefleksikan kekurangan dan menemukan jalan untuk perubahan.
Kita perlu upaya yang lebih strategis dan partisipatif untuk memperbaiki sistem demokrasi. Rakyat harus terus didorong untuk meningkatkan kesadaran politik. Harapannya agar demokrasi dapat menjadi lebih inklusif, representatif, dan mampu menjembatani jurang antara elit politik dan (kesejahteraan) rakyat.
Ada statment yang selalu diserukan oleh kelompok radikal. Bahwasanya: “Khilafah itu adalah bukti kegemilangan peradaban…
Perkembangan mengkhawatirkan terjadi di Suriah. Kelompok pemberontak Suriah menyerbu dan merebut istana Presiden Bashar al-Assad…
Pasca dibubarkan dan dilarang pemerintah pada medio 2019 lalu, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) telah melakukan…
Predikat zero terrorist attack di akhir masa pemerintahan Joko Widodo sekilas tampak menorehkan catatan positif…
Pilkada 2024 menjadi salah satu momen penting dalam perjalanan demokrasi di Indonesia. Ajang ini melibatkan…
Dalam sebuah wawancara, mantan teroris Ali Imron pernah berkata bahwa ia bisa meradikalisasi seseorang hanya…