Alquran tidak hanya membahas relasi antara manusia dsn Sang Khaliq. Lebih dari itu, Alquran juga berisi pesan tentang bagaimana manusia seharusnya berhubungan dan memperlakukan alam semesta dan lingkungan hidup. Ada banyak ayat yang bisa dijadikan referensi untuk mengembangkan kesalehan ekologis.
Di dalam Al-Quran, bumi dijelaskan sebagai ruang hidup dimana di dalamnya terkandung banyak hal yang dapat dimanfaatkan oleh manusia.
Penjelasan ini termuat dalam Surat Al Hijr ayat 19, “Kami telah menghamparkan bumi, memancangkan padanya gunung-gunung, dan menumbuhkan segala sesuatu menurut ukuran”. Kata kunci ayat ini ada pada frasa ” menurut ukuran” alias mauzun yang secara harfiah bermakna seimbang. Artinya, bumi diciptakan oleh Allah secara presisi, seimbang, dan terukur.
Tema ekologi juga muncul dalam Surat Al Baqarah ayat 29, “Dialah (Allah) yang menciptakan segala sesuatu yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju langit, lalu Dia menyempurnakan hingga langit ke tujuh. Dia Maha Mengetahui Segala Sesuatu”.
Ayat ini ditafsirkan oleh Ulama Nusantara, Syekh Nawawi Al Bantani dengan pendekatan sufistik. Menurut Al Bantani, bumi bukan hanya tempat tinggal manusia dan makhluk Allah lainnya.
Bumi adalah sarana istifal ala maujudikum alias mengenal Allah. Bumi, menurut Al Bantani layaknya sebuah hamparan kitab yang harus dibaca dan ditafsirkan oleh manusia agar ia mengenal hakikat penciptaan dan hakikat ketuhanan.
Di bagian Al Qur’an yang lain, yakni Surat Al A’raf ayat ke 56, terdapat larangan merusak alam, yakni “Janganlah kamu berbuat kerusakan di muka bumi setelah diatur dengan baik. Ayat itu secara eksplisit melarang manusia berbuat kerusakan di muka bumi. Dalam tafsir Al Misbah karya Quraish Shihab, makna merusak dalam ayat tersebut dapat merujuk pada makna harafiah dan simbolik.
Dalam tafsiran simbolik, merusak alam itu termasuk berbuat kemaksiatan, melalaikan ajaran agama, dan perbuatan dosa lainnya. Sedangkan secara harfiah, merusak alam merujuk pada perilaku destruktif, seperti berperang tanpa mengindahkan kelestarian lingkungan, penebangan hutan secara liar, eksploitasi alam yang menimbulkan krisis lingkungan, dan sebagainya.
Selain larangan merusak alam, Al Qur’an juga membahas tentang peran manusia sebagai khalifah di muka bumi. Peran ini dibahas dalam Surat Al Baqarah ayat 30, “Aku hendak menjadikan Khalifah di bumi’. Istilah Khalifah memiliki penafsiran yang berbeda-beda di kalangan ulama.
Ada yang menafsirkan sebagai pemimpin atau wakil Allah di muka bumi. Menjadi wakil Allah di bumi ini memiliki dua makna pokok. Pertama, manusia sebagai al imarah yang perannya adalah untuk memakmurkan bumi.
Memakmurkan disini artinya adalah mengembangkan potensi yang ada di bumi dengan akal dan tenaganya sehingga apa yang ada di bumi membawa maslahat untuk manusia. Memakmurkan bumi adalah mengelola potensi yang ada di bumi sehingga mensejahterakan manusia sebagai penghuninya.
Kedua, ar ri’ayah yakni memelihara bumi. Alam semesta, termasuk bumi adalah mahluk Allah. Bumi diciptakan bukan sebagai hadiah untuk dimiliki manusia, melainkan titipan yang harus dijaga dan dirawat. Manusia yang merusak alam dan lingkungan berarti dia tidak menjalankan amanah Allah.
Ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang isu ekologi menyadarkan kita bahwa ketakwaan itu bukan hanya mewujud pada kesalehan individu dan sosial, namun juga kesalehan lingkungan. Kesalehan individu dilihat dari bagaimana kualitas ibadah mahdhah-nya. Kesalahen sosial dinilai dari seberapa kuat rasa solidaritas kemanusiaannya. Dan kesalehan lingkungan dinilai dari komitmennya dalam menjaga alam dan lingkungan.
Kesalehan lingkungan adalah kebutuhan urgen di tengah zaman yang diwarnai krisis ekologi ini. Perubahan iklim yang memicu anomali cuaca dan kerap berujung pada bencana alam patut direspons secara holistik. Pendekatan saintifik untuk mencegah bencana tentu patut dilakukan. Rekayasa cuaca, alih energi yang ramah lingkungan, dan sejenisnya adalah ikhtiar yang harus terus-menerus dilakukan untuk mencegah bencana alam terjadi.
Pendekatan sosiologis seperti adaptasi gaya hidup hijau (green lifestyle style) juga tidak kalah penting untuk dikembangkan. Terkahir, pendekatan teologis dalam membangun kesalehan lingkungan juga wajib dilakukan. Agama terutama Islam memiliki seperangkat ajaran yang relevan dengan isu lingkungan. Ajaran yang lahir sejak berabad lampau, namun masih relevan hingga sekarang.
Indonesia sebagai negara dengan penduduk mayoritas muslim dan rentan mengalami bencana alam kiranya patut mengembangkan kesalehan lingkungan. Tugas para ulama adalah mempopulerkan kesalehan lingkungan ke umat Islam.
Ke depan, kita berharap antusiasme muslim untuk menanam pohon sama dengan antusiasme dalam melakukan umroh atau haji. Kita juga berharap gaya hidup go green menjadi arusutama di kalangan anak muda kayaknya gaya hidup hijrah di kalangan kelas menengah urban.
Tragedi air bah yang mengguyur sebagian wilayah Sumatera—mulai dari Aceh, Sumatera Utara, hingga Sumatera Barat—tidak…
Di tengah momen duka bangsa akibat bencana alam di Sumatera Utara, Aceh, dan Sumatera Barat,…
Menjadi khalifah di muka bumi adalah mandat moral dan spiritual yang diberikan Allah kepada manusia.…
Di tengah krisis lingkungan global dan meningkatnya gelombang ekstremisme, masyarakat dunia menghadapi dua ancaman berbeda…
Basa ngelmu Mupakate lan panemu Pasahe lan tapa Yen satriya tanah Jawi Kuno-kuno kang ginilut…
Fenomena radikalisme di kalangan siswa bukan lagi ancaman samar, melainkan sesuatu sudah meresap ke ruang-ruang…