Syariat Islam tampaknya sudah terbiasa menjadi “bola panas” yang digulirkan dalam diskursus publik, seringkali dengan narasi yang membenturkannya secara frontal dengan modernitas. Sebagian kelompok, dengan semangat membara namun pemahaman yang disayangkan sempit, getol mengkampanyekan citra syariat sebagai entitas hukum yang beku, kaku, dan tak lagi relevan dengan denyut zaman. Ironisnya, mereka yang berani menyuarakan interpretasi yang lebih luwes dan kontekstual tak jarang dicap munafik atau kurang Islami. Padahal, pandangan hitam-putih semacam ini adalah simplifikasi berbahaya yang justru mengkhianati kedalaman dan keluhuran syariat itu sendiri, terutama jika kita menelisik konsep fundamental Maqasid al-Syari’a.
Benarkah syariat Islam sedemikian anti-perubahan? Sejarah peradaban Islam justru membeberkan fakta sebaliknya. Hukum Islam, kendati bersumber dari wahyu ilahi yang prinsipnya abadi, senantiasa menunjukkan kapasitas adaptasi yang luar biasa terhadap dinamika sosial-historis. Kita bisa berkaca pada periode awal Islam, di mana Nabi Muhammad saw. berhasil menyatukan umat dalam naungan ideologi yang sama. Namun, pasca-itu, turbulensi politik tak terhindarkan, melahirkan faksi-faksi teologis. Khawarij, misalnya, acapkali mereduksi konsep luhur seperti jihad demi melegitimasi agenda eksklusif mereka. Penting digarisbawahi, perpecahan ini seringkali berakar dari sengkarut politik, bukan murni teologi. Ini membuktikan bahwa interpretasi rigid bukanlah DNA asli syariat, melainkan produk kondisi tertentu, bahkan tak jarang menjadi alat politik atau gejala dari persoalan sosio-politik yang lebih dalam.
Para cendekiawan Islam arus utama, dari dulu hingga kini, justru sepakat bahwa implementasi prinsip inti syariat wajib hukumnya mempertimbangkan konteks ruang dan waktu. Ibn Qayyim al-Jauziyah, seorang ulama besar, bahkan secara tegas menyatakan bahwa kegagalan menangkap perubahan zaman adalah sebuah kekeliruan fatal dalam menerapkan syariat. Pernyataan ini seharusnya menjadi tamparan keras bagi mereka yang bersikukuh pada tafsir tunggal dan menolak dialog dengan realitas.
Di sinilah Maqasid al-Syari’a, atau tujuan-tujuan luhur syariat, memainkan peran sentralnya sebagai kompas moral dan intelektual. Konsep ini bukan sekadar teori usang, melainkan jantung dari fleksibilitas hukum Islam. Imam al-Ghazali telah merumuskan lima pilar fundamental yang ingin dijaga oleh syariat: agama (diin), jiwa (nafs), akal (‘aql), keturunan (nasl), dan harta (mal). Beberapa ulama menambahkan kehormatan (‘irdh). Lebih jauh, Imam Abu Ishaq al-Shatibi menegaskan bahwa esensi maqasid adalah meraih kemaslahatan dan menolak kemudaratan. Berpegang pada formalitas hukum sambil mengabaikan substansi dan tujuannya, menurut al-Shatibi, bukanlah spirit sejati dalam menjalankan syariat.
Gagasan ini terus berkembang. Cendekiawan Muslim kontemporer seperti Mohammad Hashim Kamali, Jasser Auda, hingga Yusuf al-Qaradawi telah memperluas cakupan maqasid, menyentuh isu-isu krusial seperti reformasi, hak-hak perempuan, keadilan, kebebasan, serta martabat dan hak asasi manusia. Ini bukan sekadar penambahan kosmetik, melainkan reinterpretasi progresif terhadap tujuan ultim syariat dalam kacamata nilai-nilai kemanusiaan universal dan tantangan zaman now. Langkah ini secara telak membantah klaim kaum literalis tentang kekakuan syariat dan ketidakselarasannya dengan nilai-nilai modern.
Indonesia, dengan segala dinamikanya, menawarkan laboratorium hidup bagaimana syariat dapat berdialog dan berakulturasi dalam sebuah negara-bangsa yang multikultural. Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, harmoni di tengah keragaman agama menjadi fondasi. Pluralitas itu sendiri, dalam pandangan Islam arus utama di negeri ini, diakui sebagai sunnatullah, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an (QS. Al-Hujurat: 13) yang mendorong kita untuk saling mengenal antar bangsa.
Hukum Islam di Indonesia berjalan dalam dua matra: normatif-spiritual (ibadah mahdhah) dan formal-yuridis yang terintegrasi dalam hukum positif nasional. Para ulama dan pembuat kebijakan di Indonesia cenderung mendukung pendekatan transformatif. Artinya, formalisasi hukum Islam tidak melulu soal pendirian negara Islam secara formal, melainkan bagaimana substansi dan spirit syariat diakomodasi dan diinternalisasi dalam sistem negara serta tatanan sosio-budaya. Model ini memprioritaskan nilai-nilai universal Islam dalam bingkai kebangsaan yang plural, bukan sekadar mengejar simbolisme “negara Islam” yang kerap digaungkan kelompok tertentu. Tradisi Lebaran Ketupat adalah contoh kecil namun manis bagaimana ajaran Islam berpadu mesra dengan kearifan lokal.
Maka, sudah saatnya kita berhenti terpaku pada kulit dan mulai menyelami isi. Syariat Islam, dengan Maqasid al-Syari’a sebagai pemandunya, sejatinya adalah sistem yang dinamis, adaptif, dan solutif. Menjembatani tradisi klasik dengan tuntutan modernitas bukanlah kemustahilan, melainkan sebuah keniscayaan yang membutuhkan kecerdasan dalam membaca teks dan konteks, demi kemaslahatan bersama. Narasi kaku dan menakutkan tentang syariat hanya akan melanggengkan kesalahpahaman dan menjauhkan Islam dari perannya sebagai rahmatan lil ‘alamin.
This post was last modified on 15 Desember 2025 11:27 AM
Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…
Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…
Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…
Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…
Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…
Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…