Narasi

Islam, Nasionalisme, dan NKRI

Banyak pihak menilai bahwa agama bertentangan dengan nasionalisme, dan bahkan ia sering dianggap sebagai faktor pengrusak keutuhan sebuah bangsa. Pendapat yang semacam ini mungkin bukan bicara mengenai nasionalisme secara utuh, tetapi lebih karena adanya suatu kepentingan global, digunakan untuk melanggengkan hegemoni negara-negara kapitalis.

Sebut saja misalnya, tokoh-tokoh kenamaan seperti Hans Kohn, Ernest Gelner, Bennedict Anderson, dan Anthony Gidden berpendapat bahwa timbulnya nasionalisme dalam suatu masyarakat dan bangsa tidak ada kaitannya sama sekali dengan agama. Kondisi ini diperparah dengan munculnya individu dan ada pula yang mengatasnamakan kelompok yang menolak ide dan paham nasionalisme karena dianggap ideologi yang diimpor dari Barat.

Padahal, kalau dikaji dengan seksama, persepsi demikian di atas terpatahkan jika membuka kembali fakta sejarah, baik dalam konteks pengalaman di masa Nabi Muhammad Saw. maupun konteks nasional Indonesia. Studi yang dilakukan Ali Maschan Moesa dalam Nasionalisme Kiai: Konstruksi Sosial Berbasis Agama (2007) penting diketengahkan di sini, yaitu menjelaskan persepsi positif tentang paham nasionalisme di Indonesia yang justru bersimbiosis-mutualistis dengan agama lewat peran kiai dan pesantren.

 

Spirit Piagam Madinah

Kontruksi nasionalisme kiai, menurut Ali Maschan Moesa, merupakan pantulan dari konsepsi nasionalisme yang ditancapkan oleh Nabi Muhammad. Dalam pemahaman para kiai, menurut Maschan, nasionalisme selalu dikaitkan dengan lahirnya Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah), yang oleh ahli politik Islam, seperti Montgomery Watt (1988) dan Bernard Lewis (1994) melihat Piagam Madinah sebagai cikal bakal terbentuknya negara nasional (nation-state) yang menempatkan Nabi Muhammad tidak sekedar sebagai pemimpin agama, tetapi juga pemimpin Negara.

Piagam Madinah bukanlah sebagai perjanjian agama, melainkan merupakan kontrak sosial-kebangsaan yang menyangkut aspek hubungan antar manusia didunia (al-Mu’amalah al-Dunyawiyah) tanpa melihat agama, suku, dan kabilah. Piagam Madinah, dengan demikian, tidaklah sama dengan sebuah statuta agama. Ia hanya sebagai instrumen (wasilah), bukan tujuan (ghayah ), sehingga terlepas dari apapun juga bentuknya, yang penting adalah wasilah tersebut menjiwai semangat kebersamaan yang dianjurkan Islam. Jadi, dalam hal kebersamaan ini, langkah yang ditempuh bukanlah menjadikan ajaran Islam sebagai dasar kesepakatan secara formal.

Spirit Piagam Madinah adalah sebuah upaya yang tidak hanya melindungi umat Islam, tetapi juga umat agama lain: ada Yahudi, Kristen, dan Majusi. Para kiai melihat bahwa yang disatukan dalam Piagam Madinah bukanlah agamanya, dalam arti mereka tidak harus di-Islam-kan, tetapi yang penting adalah digugah rasa kepemilikannya terhadap kota Madinah sebagai tempat tinggal bersama, dan jaminan bagi semua warganya.

Nasionalisme Ulama

Itulah yang telah dilakukan para kiai yang tidak ingin menjadkan Indonesia sebagai negara agama. Oleh Kiai Ahmad Siddiq, UUD 1945 dan Pancasila adalah keputusan final asas Negara Indonesia. Spirit Islam sudah terjiwai di sana. Para kiai sangat konsisten menjaga nasionalisme pada masa pra-kemerdekaan adalah mereka bersikap non-kooperatif terhadap penjajah, menolak perintah Belanda untuk masuk Staat Van Orloog & Belg (SOB), sebuah instruksi yang mirip dengan wajib militer, gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah, bahkan mengharamkan umat Islam memakai celana dan dasi karena menyerupai tradisi orang Belanda, dan ikut serta dalam perumusan Piagam Jakarta dan Pancasila yang direpresentasikan oleh KH A Wahid Hasyim.

Pasca kemedekaan, konsistensi menjaga nasionalisme dibuktikan dengan mengeluarkan fatwa jihad pada 22 Oktober 1945 untuk melawan Belanda dan Sekutu, konsisten dengan bentuk Negara Pancasila sehingga memandang Negara Islam (daru al-Islam ) sebagai tidak sah, dan Kartosuwiryo dinyatakan sebagai pemberontak (bughot), dan bahkan penerimaan Pancasila sebagai satu-satunya asas bagi semua ormas diputuskan dalam Munas Alim Ulama tahun 1983 di Situbodo.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dimengeti bahwa para kiai tersebut tidak hanya luas menjabarkan ihwal nasionalisme dalam perspektif tradisi kepesantrenan, tetapi juga mahir dengan wacana kritis kontemporer yang sedang hangat diperbincangkan publik. Spirit nasionalisme kiai di tengah transisi demokrasi dibuktikan dengan semangatnya menggelorakan penegakan hak asasi manusia (HAM), menolak separatisme, dan lain-lain. Itulah sebabnya, kita perlu siap setia mengawal jalannya Indonesia, dan siap menjadi benteng Indonesia dalam kondisi apapun

.

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago