Bukan hal yang mengagetkan tentunya jika belakangan ini kita menyaksikan mereka yang semakin heboh mempertontonkan atribut keagamaan adalah orang-orang yang justru paling sering membuat ribut dan kerusuhan. Agama mulai diseret di jalan-jalan hanya untuk memaksa Tuhan membuka pintu neraka secepatnya. Agama juga mulai sering digunakan untuk bersembunyi dari berjubalnya kesalahan yang telah dilakukan; dibalik jubah agama, orang yang salah bisa tampak saleh. Apakah ini hal yang mengejutkan? Tidak bagi saya.
Penelitian/studi terkait agama dan kepekaan sosial beberapa kali menunjukkan bahwa orang-orang yang beragama cenderung memiliki kepekaan sosial yang buruk. Tahun lalu misalnya, sebuah penelitian berjudul “The Negative Association between Religiousness and Children’s Altruism across the World” juga mengungkap hal serupa. Keyakinan pada ajaran agama memberikan pengaruh negatif pada altruisme dan kepekaan sosial anak. Artinya, agama membuat anak-anak tidak peka terhadap keadaan sosialnya.
Beberapa pihak mungkin akan merespon temuan ini dengan menyatakan bahwa penelitian ini tidak valid dan terlalu sentimentil, sementara yang lain akan menyanggah hasil penelitian ini dengan menyatakan metode yang digunakan tidak relevan. Tentang ini, saya ingat suatu ketika guru besar UIN Syarif Hidayatullah Prof Dr Bambang Pranowo MA menyatakan bahwa penelitian bisa saja salah, atau hasilnya tidak sesuai, tetapi peneliti tidak boleh bohong. “Itu bedanya peneliti dengan politisi’” ungkapnya. Dus, kalaupun ternyata hasil penelitian ini –dan penelitian serupa lainnya—salah, kita harus tahu bahwa si peneliti tidak berbohong.
Penelitan di atas memang tidak secara langsung menyalahkan agama atas abainya sikap anak terhadap sesama, mereka lebih menyoroti pola asuh dan pola didik yang diberikan oleh para orang tua yang beragama. Anak-anak yang tumbuh dari keluarga agamis cenderung diajari untuk menjadi ‘anak baik’ dengan cara takut kepada tuhan, bukan karena hal itu memang baik untuk dilakukan. Tuhan lebih sering diperkenalkan sebagai sosok yang sangat perlu ditakuti, hal ini berimbas pada sikap anak yang tumbuh menjadi generasi yang terlalu gampang menghakimi.
Dalam konteks kekinian seperti saat ini, pola asuh dan pola didik yang salah tentang agama nyatanya bukan hanya dilakukan oleh orang tua kepada anak, tetapi juga oleh para pemuka agama (?) kepada pengikutnya. Alih-alih mengajak para umatnya untuk menjadi manusia yang lebih sopan, pola ajar agama yang salah justru menggiring umat beragama menjadi bagian dari kelompok intoleran yang sangat doyan kekerasan. Di tangan mereka, agama dan kekerasan bagai sodara kembar!
Hal ini pula yang kini menjadi masalah besar bangsa kita, kelompok-kelompok intoleran yang berlindung di balik jubah agama semakin banyak bermunculan. Atas nama agama, mereka turun ke jalan-jalan untuk menyebarkan kebencian dan permusuhan, dunia maya juga mereka sesaki dengan ajakan-ajakan untuk membenci.
Pola ajar ini pula yang sempat disinggung oleh KH Ahmad Mustofa Bisri atau lebih dikenal dengan nama pendek Gus Mus, menurut beliau kelompok yang keras-keras itu baru belajar sampai bab Ghodob (marah) sudah berhenti, mereka lantas mengira bahwa Islam hanya berisi ajaran untuk marah. “Marah terus kemana-mana, padahal setelah itu ada bab sabar, tawaddhu, dll.”
Salah satu tantangan besar yang kini tengah nangkring di depan mata adalah ajakan kelompok intoleran untuk menolak pancasila dan sistem demokrasi yang telah membesarkan bangsa ini. alasannya? Pancasila dan demokrasi tidak disebut dalam ajaran agama, astaga…
tidak masuk akal memang, tapi kelompok radikal memang sudah tidak menggunakan akal.. ya sudahlah.
Pola ajar yang salah tentang agama terbukti telah membuat sebagian orang terlalu rese untuk mengait-ngaitkan segala hal ke masalah agama, termasuk hal yang sebenarnya bukan urusannya. Alih-alih fokus menggunakan agama untuk memperbaiki diri, sebagian orang justru sibuk menggunakan agama untuk mengatur cara orang lain berbusana, atau dengan siapa orang lain boleh bercinta.
Negara –dan tentu saja kita—tidak boleh lagi diam dengan kondisi ini, mari bersama-sama tunjukkan bahwa agama tidak se-rese itu.
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…
Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…
Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…
Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…