Narasi

Islam Pemaaf, Bukan Pemarah

Islam (di) Indonesia terkesan menyeramkan akhir-akhir ini. Selain mengacu pada kasus-kasus tindakan barbar seperti bom bunuh diri (terorisme) yang pelakunya memang orang muslim, juga pada kasus mutaakhir yang saat sekarang sedang berlangsung, tentang efek tuntutan sebagian kelompok yang tidak sabar menunggu proses hukum terhadap tersangka Basuki Tjahaya Purnama, sehingga berencana melakukan demonstrasi— meski aparat dan ormas Islam mainstrem telah melarangnya—yang akan dilaksanakan pada 2/12/2016.

Karakter Islam Indonesia yang dikenal moderat, ramah, dan pemaaf seolah hilang dan tergantikan oleh kesan pemarah sebagaimana ditampilkan oleh sebagian kelompok itu. Dalam situasi ini, beruntung masih ada tokoh agama yang membalik kesan negatif itu dengan menunjukkan keramahan dan pemaaf kepada mereka yang bersalah.

Adalah KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) yang menjadi korban bully lewat perkataan kotor dan caci maki yang tidak etis oleh beberapa orang pengguna media sosial (medsos), namu Gus Mus memilih diam dam memaafkannya sebelum pelaku meminta maaf secara langsung menemunya di Rembang selang beberapa hari kemudian. Sikap Gus Mus ini memberi tauladan sebagai seorang ulama. Tokoh lain yang juga layak diapresiasi adalah Buya Syafii Maarif. Lalu bandingkan dengan orang yang juga konon ditokohkan sebagai ulama, tetapi berkepala batu enggan memaafkan orang lain yang secara tulus mengakui kesalahannya, sebab diduga mempunyai hidden agenda untuk kepentingan politik praktis.

Padahal, memaafkan kesalahan orang lain adalah salah satu anjuran ajaran Islam dan merupakan perbuatan yang sangat mulia. Islam melalui doktrin dan istitusi ibadahnya sangat memberi perhatian terhadap soal maaf-memafkan. Suatu dimensi sosial kehidupan yang menurut al-Quran sangat sentral untuk ditegakkan,  sebab dari sinilah kehidupan kemasyarakatan yang sehat bisa dimulai.

Jika suatu masyarakat telah tumbuh saling curiga dan semangat balas dendam, maka sebuah pertanda bahwa masyarakat tersebut sedang sakit. Proses penyembuhannya tidak lain kecuali cara-cara damai, antara lain melalui konsep rekonsiliasi (islahi). Karena dengan islah, manusia bisa saling mengenali secara baik kultur kehidupan masing-masing individu untuk kemudian dicarikan penyelesaian terbaik. Dengan demikian, dia lebih mudah berucap maaf dan gampang memberi maaf, karena telah mengenal watak dasarnya.

Prinsip saling memaafkan adalah nilai-nilai moral agama yang cinta pada kedamaian dan keharmonisan hidup. Bahkan dalam sejarah kehidupan Nabi Saw. sering digambarkan bahwa betapapun ia sering diperlakukan secara dhalim, Nabi tetap memaafkan perangai negatif para pelakunya. Boleh jadi, Nabi memandang bahwa dengan membalas kejahatan musuh, berarti kaum muslimin sama derajat dan sifatnya dengan kaum kafir Quraisy. Maka Nabi lebih memperlihatkan sikap seorang penegak kebaikan dan kebenaran ketimbang watak seorang penakluk dan pembunuh.

Pesan profetik di atas ironisnya terlewatkan oleh sebagian kelompok umat muslim Indonesia, dan yang ditampilkan sebaliknya, berusaha memaksakan kehendak agar tiada maaf bagi orang yang bersalah. Pemberian maaf ini tentu saja bukan tidak bersyarat, tetapi, pelaku yang berbuat salah tersebut harus tetap diproses hukum, dan sebagai negara hukum, kita wajib menghormati proses itu.

Pemaksaan kehendak dan cenderung tidak sabar menunggu proses hukum, sehingga sering melakukan tindakan-tindakan yang justru melanggar hukum, akan menodai semangat suci ajaran Islam. Yang kita harapkan adalah bagaimana umat muslim Indonesia bisa menampilkan tauladan positif; Islam yang ramah dan pemaaf, bukan pemarah. Allah Swt. Berfirman dalam Q.S Ali Imron: 134, “Yaitu orang-orang yang menahan amarahnya dan memaafkan kesalahan orang, Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan”.

Tentu saja, sebagai umat muslim, kita boleh dan pantas marah jika kitab suci dihina oleh orang lain, apalagi dilakukan oleh mereka yang tidak seagama, tetapi kita juga tidak diperbolehkan main hakim sendiri. Apalagi terpancing provokasi yang justru memicu amarah, sebab Nabi bersabda: Orang kuat bukanlah yang bisa menjatuhkan seorang, namun orang yang bisa mengendalikan diri ketika marah (HR. Bukhai dan Muslim).

Ali Usman

Guru pesantren di Yogyakarta, menamatkan studi S1 filsafat dan program magister di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

3 hari ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

3 hari ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

3 hari ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

4 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

4 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

4 hari ago