Narasi

Islam Tanpa Budaya, Mungkinkah?

Wahabi-salafi selalu memperlakukan Islam itu sebagai sesuatu yang ahistoris. Islam adalah  ajaran dari langit yang murni dan suci, yang tidak boleh bercampur dengan apapun, termasuk dengan budaya. Islam harus dikembalikan kepada dua sumber primernya, Al-Quran dan Sunnah. Di luar kedua sumber utama ini adalah bid’ah, sesat, dan salah.   

Tentu ini adalah kesalahan paradigmatik –sebagaimana sudah banyak pakar mengkritiknya. Memang benar Islam itu ajaran dari langit, tetapi ia adalah ajaran yang diturunkan ke bumi.

Artinya, Islam sejatinya membumi, bersentuhan dengan budaya dan tradisi manusia. Ketika ia bersentuhan dengan budaya dan lokalitas manusia, mau tidak mau terjadinyalah dialektika. Islam mempengaruhi budaya, atau sebaliknya budaya juga mempengaruhi ajaran agama.

Sebagai sesuatu yang membumi, maka Islam itu sesuatu historis dan sosiologis, ia selalu berkembang dan beradaptasi dengan budaya, lokalitas, dan tradisi penganutnya. Islam itu bukan benda mati, tidak berkembang,  statis layaknya batu.

Dengan kata lain –meminjam bahasa M. Amin Abdullah –Islam selain mempunyai sisi normatif, ia juga bersifat historis; melangit dan membumi sekaligus. Normativitas dan historisitas Islam itu layaknya dua sisi koin mata uang, tak bisa dipisahkan.

Sayangnya, wahabi-salafi hanya memperlakukan Islam itu sebagai agama yang normatif/melangit saja, tanpa melihat sisi historis/membumi-nya.

Ketika Islam hanya diperlakukan hanya sebagai sesutau yang normatifnya saja, di sinilah muncul klaim-klaim negatif-destruktif itu: bid’ah, takhayyul, churafat, bahkan sesat dan kafir.  

Nah, ketika Islam itu membumi dan bersentuhan dengan budaya, tradisi, dan  lokalitas penganutnya, apakah semua tradisi dan budaya itu ditolak oleh Islam?

Tiga Sikap

Nyatanya tidak. Sejak Islam itu muncul, selalu ada tiga cara yang dilakukan oleh Islam dalam melihat tradisi, budaya, dan lokalitas manusia –atau dalam bahasa usul fikih disebut urf  dan syar’u man qablana.

Pertama, tahmil (akomodatif). Islam menerima dan bersikap akomodatif terhadap tradisi dan budaya penganutnya. Tradisi dan budaya dijadikan sebagai sarana untuk syiar agama. Agama dan budaya bergandengan tangan membentuk manusia luhur.

Sejak Islam lahir, Islam tidak menolak semua tradisi masyarakat setempat. Tradisi ikatan persaudaraan dengan sepersusuan, adat jual-beli, penghormatan terhadap bulan-bulan mulia, misalnya, diterima oleh Islam sebagai suatu aturan hidup manusia.

Kedua, tahrim (negasi). Islam menolak tradisi dan budaya jika itu bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar ajaran agama. Sejak dini, Islam menolak riba, yang sudah menjadi tradisi pada masyarakat ketika itu, sebab ia bertentangan dengan prinsip dasar Islam: keadilan.

ketiga, tagyir (akomodatif-selektif). Islam menerima tradisi dan budaya dengan catatan menyeleksi, menyaring, mengubahnya terlebih dahulu. Banyak tradisi yang diterima oleh Islam dengan cara mengubahnya terlebih dahulu. Menurut ulama, cara inilah yang paling banyak dilakukan oleh Islam.

Akomodatif-Selektif 

Keributan yang terjadi di salah satu masjid di Surabaya gara-gara latihan rebana itu disebabkan oleh ketidaktahuan pihak yang memprotes itu bagaimana sikap Islam terhadap budaya dan tradisi penganutnya. Dari tiga sikap Islam, hanya satu yang menolak, itu pun dengan catatan, bertentangan dengan prinsip dasar agama. Apakah latihan rebana di masjid bertentangan dengan prinsip dasar agama? Tentu tidak!

Selebihnya, Islam itu menerima dan bersikap akomodatif-selektif terhadap budaya dan tradisi. Kata pakar, inilah sifat Islam yang asli: akomodatif-selektif terhadap budaya dan tradisi masyarakat.

Ini jugalah yang dipraktikkan oleh para penyebar Islam Walisongo itu. Mereka tidak anti terhadap budaya, malah menjadikan budaya sebagai bagian dari sarana dakwah. Bagi mereka, agama tanpa budaya adalah kaku, dan budaya tanpa agama adalah kering. Agama dan budaya berada dalam satu tarikan nafas.

Islam tersebar di Nusantara ini sebab ada kesadaran akomodatif-selektif itu. Selama tidak bertentangan dengan prinsip dasar, maka budaya itu diterima. Atau selama masih bisa diubah agar budaya itu sesuai dengan ajaran agama, maka ia harus diubah terlebih dahulu, tanpa perlu menolaknya mentah-mentah.

Fakta sejarah menunjukkan itu , Walisongo berhasil. Mereka melakukan proses kreatif yang luar biasa, bagaimana seharusnya agama dan budaya berdialektika. 

Jika kembali kepada pertanyaan judul di atas, mungkinkah Islam tanpa budaya? Paparan di atas menunjukkan, itu adalah sesuatu yang mustahil. Islam selalu berdialektika dengan budaya. Keduanya bergandengan tangan dalam mengasuh manusia menuju nilai-nilai luhur.

This post was last modified on 13 Oktober 2023 12:55 PM

Hamka Husein Hasibuan

Recent Posts

Kultur yang Intoleran Didorong oleh Intoleransi Struktural

Dalam minggu terakhir saja, dua kasus intoleransi mencuat seperti yang terjadi di Pamulang dan di…

3 jam ago

Moderasi Beragama adalah Khittah Beragama dan Jalan Damai Berbangsa

Agama tidak bisa dipisahkan dari nilai kemanusiaan karena ia hadir untuk menunjukkan kepada manusia suatu…

3 jam ago

Melacak Fakta Teologis dan Historis Keberpihakan Islam pada Kaum Minoritas

Serangkaian kasus intoleransi dan persekusi yang dilakukan oknum umat Islam terhadap komunitas agama lain adalah…

4 jam ago

Mitos Kerukunan dan Pentingnya Pendekatan Kolaboratif dalam Mencegah Intoleransi

Menurut laporan Wahid Foundation tahun 2022, terdapat 190 insiden intoleransi yang dilaporkan, yang mencakup pelarangan…

4 jam ago

Jaminan Hukum Kebebasan Beragama bisa Menjamin Toleransi?

Indonesia, dengan kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan yang beragam, seharusnya menjadi contoh harmoni antar umat…

1 hari ago

Mencegah Persekusi terhadap Kelompok Minoritas Terulang Lagi

Realitas kekayaan budaya, agama, dan kepercayaan di Indonesia seharusnya menjadi fondasi untuk memperkaya keberagaman, namun…

1 hari ago