Narasi

Islamisme dan Kelompok Radikal

Beberapa pekan kemarin, kita kembali tersentak dengan berita mengenai 17 WNI yang dideportasi oleh otoritas Turki pada Januari 2017. Mereka diduga akan menuju Suriah dan bergabung dengan ISIS. Mereka terdiri dari orang dewasa dan anak-anak, pria dan wanita. Mereka pun tergolong muda dan berusia dibawah 40 tahun. Bahkan yang cukup mencemaskan, ada juga anak-anak dan balita. Hal ini menunjukan masih ada masyarakat Indonesia yang mudah terkesima, bahkan terjebak, untuk bergabung dengan kelompok radikal. Propaganda untuk merekrut kombatan baru tampaknya cukup membuahkan hasil. Fenomena ini yang menjadi keprihatinan bersama sekaligus pekerjaan  rumah yang perlu dibereskan. Perlu dilakukan edukasi menyeluruh agar tidak semakin banyak orang terbuai oleh sihir kelompok teror semacam ISIS.

Harus diakui, upaya untuk melakukan proteksi dari kelompok radikal membutuhkan ketekunan dan kerja keras yang luar biasa. Terlebih kondisi politik global cukup memprihatinkan. Salah satunya adalah executive order yang ditandatangai oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump. Dalam perintah tersebut, diantaranya adalah larangan visa bagi 7 negara Muslim (Irak, Iran, Suriah, Libya, Yaman, Sudan, dan Somalia). Meskipun keputusan ini akhirnya dianulir oleh Hakim Federal AS James Robart, tetapi isu ini tetap bisa dimanfaatkan sebagai amunisi kelompok radikal untuk kepentingan mereka. Diantaranya propaganda bahwa kaum Muslim saat ini dimusuhi, adanya upaya menekan penyebaran Islam, hingga ajakan agar bergabung dengan kelompok radikal di suatu daerah tertentu. Sebab hanya wilayah tersebut yang mau menerima kaum Muslim dan menjalankan hukum tuhan. Sementara negara-negara lain tidak layak untuk ditempati. Amerika Serikat pun akhirnya dianggap sebagai musuh yang harus diperangi. Termasuk negara-negara lain yang dekat dan menjalin kerjasama dengan negeri Paman Sam tersebut.

Narasi seperti ini sangat berbahaya. Sebab menjadikan satu kasus sebagai sumbu api yang akan meledakan kebencian kemana-mana. Isu perlawanan terhadap kedzaliman ini pun akan mudah dilahap oleh individu atau kelompok yang memiliki daya saring rendah dan cenderung tidak kritis. Sehingga mudah menganggukan kepala tanda setuju bahwa agama Islam benar-benar dalam krisis dan ancaman. Turunannya adalah mudah terprovokasi untuk diajak “berjihad” membela panji-panji agama yang sedang dilecehkan. Hingga mau berkorban harta dan nyawa untuk “membela” agama Islam. Padahal sebenarnya ada agenda lain yang ingin disasar oleh kelompok teroris yang tidak disadari oleh para korban. Kasus di awal tulisan ini bisa menjadi rujukan. Bahwa iming-iming mendapat ridha tuhan mampu membuat seseorang hilang nalar kritisnya. Padahal janji yang dihembuskan kelompok radikal adalah semu. Sebab kelakuan mereka pun jauh sekali dari nilai-nilai Islam.

Kisah Nadia Murad bisa menjadi bahan refleksi bersama. Wanita minoritas Yazidi Irak ini merupakan salah satu korban budak seks anggota ISIS. Murad, yang kini menjadi duta besar PBB, bercerita bahwa dia kerap dilecehkan dan diperlakukan tidak senonoh saat disekap oleh penjahat ISIS. Tentu Murad tidak sendirian, masih banyak perempuan lain yang menjadi korban kebrutalan ISIS. Selain kasus penistaan wanita, banyak peristiwa lain yang menunjukan kebengisan ISIS. Seperti memenggal kepala, membakar tawanan, menghancurkan situs-situs, dsb. Artinya apa yang selama ini ingin disampaikan bahwa tidak mungkin menegakan Islam tetapi melanggar Islam itu sendiri. Terjadi contradictio in terminis.

Untuk mengatasi hal ini, dibutuhkan kemampuan untuk membedakan antara domain agama dan politik. Sebab keduanya kerap tunggang-menunggangi dan memanfaaatkan satu dengan lainnya. Menarik jika merujuk pada pemikiran Bassam Tibi tentang Islam dan politik. Dalam karyanya Islamism and Islam, Tibi menjelaskan bahwa Islam dan Islamisme adalah dua hal yang berbeda dan Islamisme bukanlah  Islam. Yang dimaksud oleh Tibi dengan Islamisme adalah Islam politik. Meskipun pendapat Tibi ini bisa tidak disepakati, tetapi hal yang ingin disampaikan adalah sikap kritis untuk menyisir agama dan politik sangat urgen dilakukan. Jika tidak, maka agama bisa diseret untuk kepentingan sesaat. Termasuk oleh kelompok radikal. Hal ini yang wajib diwaspadai agar agama tidak lagi diselewengkan.

Rachmanto M.A

Penulis menyelesaikan studi master di Center for Religious and Cross-cultural Studies, Sekolah Pascasarjana UGM. Jenjang S1 pada Fakultas Filsafat UGM. Bekerja sebagai peneliti.

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

2 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

2 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

2 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 hari ago