Narasi

Jangan Nodai Sakralitas HUT RI Dengan Polemik Jilbab Paskibraka

Badan Pembinaan Ideologi Pancasila alias BPIP kembali menjadi sorotan. Pasalnya adalah aturan terkait seragam Pasukan Pengibar Bendera Pusaka atau Paskibra yang tidak lagi mengakomodasi jilbab. Alhasil ada 18 anggota Paskibra yang awalnya berjilbab, melepas jilbabnya saat acara Pengukuhan Paskibra HUT RI ke-79 oleh Presiden Joko Widodo tempo hari.

Sontak, peristiwa itu menuai polemik di tengah masyarakat. Media massa online segera memberitakan dengan berbagai narasi. Media sosial riuh oleh kecaman bahkan tuntutan pembubaran BPIP. Bahkan, sejumlah elite politik pun ikut bersuara dan mendorong Kepala BPIP Yudisn Wahyudi, mundur dari jabatannya.

Kejadian ini patut disayangkan. Apalagi menjelang peringatan detik-detik proklamasi yang hanya tinggal menghitung hari. HUT RI idealnya dirayakan dengan penuh khidmat dan sakral. Namun, sayangnya harus diwarnai oleh polemik soal jilbab Paskibra. Belakangan, Kepala BPIP Yudisn Wahyudi meminta maaf atas kejadian tersebut.

BPIP juga telah membatalkan peraturan terkait seragam sehingga Paskibra perempuan yang memang berjilbab bisa mengenakannya kembali. Namun demikian, polemik sepertinya kadung menggelinding bak Lola liar. Dan seperti biasanya, isu ini pun dimanfaatkan oleh segelintir pihak yang memang tidak suka dengan pemerintah untuk menebar fitnah dan cacian.

Antara lain mulai muncul narasi yang menyebutkan bahwa upacara bendera HUT RI di IKN itu memboroskan anggaran. Sampai tudingan bahwa upacara bendera adalah hal syirik yang bertentangan dengan Islam.

Ke depan, kita tentu berharap lembaga negara seperti BPIP dan lainnya melakukan kajian sebelum memutuskan kebijakan yang mengangkut isu sensitif. Siapa pun tahu, jilbab adalah isu sensitif bagi umat Islam Indonesia. Pelarangan jilbab terhadap anggota Paskibra perempuan tentu akan menarik gelombang penolakan besar-besaran oleh masyarakat. Dampak ini yang seharusnya dipikirkan sejak awal oleh BPIP.

Dalam konteks yang lebih luas, pemerintah perlu menjamin adanya kebebasan individu dalam mengekspresikan identitasnya. Termasuk identitas keagamaan. Sila Ketuhanan Yang Mahaesa dalam Pancasila itu sebenernya merupakan deklarasi bahwa Indonesia mengakui hak individu dalam beragama.

Merawat Keberagaman Tanpa Penyeragaman

Prinsip kebebasan beragama itu lantas ditegaskan kembali dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 yang berisi jaminan kebebasan beribadah dan berkeyakinan. Termasuk mengekspresikan identitas keagamaan di ruang publik. Maka, pemakaian jilbab oleh muslimah sebenarnya merupakan hak individu yang dilindungi konstisusi.

Alibi BPIP bahwa pelarangan jilbab bagi anggota Paskibra itu bertujuan agar tidak ada perbedaan antar-anggota adalah salah kaprah. Paskibraka yang berasal dari seluruh wilayah di Indonesia seharusnya menggambarkan keragaman (plurality) Indonesia, baik dari segi suku, agama, etnis, atau warna kulit.

Keberagaman itu tidak lantas harus diberangus atas nama penyeragaman (uniformity). Inilah yang acapkali kita salah kaprah dalam memahami pluralitas dalam masyarakat. Seolah-olah bahwa ketika semua masyarakat itu diseragamkan, itu tandanya masyarakat hidup aman, damai, dan adil. Padahal nyatanya tidak. Penyeragaman adalah bentuk diskriminasi yang merupakan musuh masyarakat majemuk. Penyeragaman adalah perampasan hak individu untuk mengekspresikan identitas dirinya.

Meski demikian, publik tentunya tidak perlu membawa isu ini terlalu jauh. Apalagi sampai menimbulkan provokasi kebencian terhadap lembaga pemerintah. Publik perlu mengarahkan isu polemik jilbab ini menjadi diskusi yang lebih konstruktif.

Kita tidak perlu emosi merespons kebijakan BPIP tersebut. Sikap kritis tentu patut kita layangkan sebagai bagian dari dinamika demokratisasi. Namun, sekali lagi jangan sampai polemik ini justru ditunggangi kelompok radikal untuk mendelegitimasi negara dengan narasi-narasi menyesatkan.

Peringatan Kemerdekaan RI adalah momen yang sakral, berharga, dan kita nantikan bersama. Apalagi untuk pertama kalinya, tahun ini upacara HUT RI akan dilaksanakan di IKN. Artinya, para Paskibra itu nantinya juga akan menjadi bagian dari sejarah penting bangsa Indonesia. Akan menjadi ironis jika semua itu justru dirusak oleh polemik soal jilbab.

Arkian kita semua tentu berharap momen bersejarah upacara HUT RI di IKN bisa berjalan lancar. Tidak terganggu oleh polemik ihwal jilbab ini. Kita juga berharap, polemik tentang jilbab Paskibra ini bisa berakhir dengan tetap menjunjung toleransi dan pluralitas.

Siti Nurul Hidayah

Recent Posts

Adab dan Fitrah Santri Menghadapi Era Digital

Pada tanggal 22 Oktober setiap tahunnya, Indonesia merayakan Hari Santri Nasional sebagai bentuk penghargaan terhadap…

24 jam ago

AI yang Mengubah Segalanya dan Bagaimana Santri Menyikapinya?

Dalam arus deras perkembangan teknologi, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) telah menjadi bagian yang tak terpisahkan…

24 jam ago

Santri Menatap Panggung Global

Santri sering dipersepsikan secara simplistik hanya sebagai penjaga tradisi, tekun mengaji di pesantren, dan hidup…

1 hari ago

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang…

2 hari ago

Sejak Kapan Jihad Santri Harus Mem-formalisasi “Hukum Tuhan”?

  Narasi "jihad adalah menegakkan hukum Allah" sambil membenarkan kekerasan adalah sebuah distorsi sejarah yang…

2 hari ago

HSN 2025; Rekognisi Peran Santri dalam Melawan Radikalisme Global

Hari Santri Nasional (HSN) 2025 hadir bukan hanya sebagai ajang peringatan sejarah, tetapi sebagai momentum…

2 hari ago