Keagamaan

Sejak Kapan Jihad Santri Harus Mem-formalisasi “Hukum Tuhan”?

 

Narasi “jihad adalah menegakkan hukum Allah” sambil membenarkan kekerasan adalah sebuah distorsi sejarah yang akut. Ketika narasi ini dibenturkan dengan tradisi santri di Indonesia, ia menjadi ahistoris dan sama sekali tidak berakar pada tradisi Islam Nusantara.

Ironisnya, klaim ini justru paling gencar disuarakan untuk menargetkan generasi muda santri. Padahal, jika kita menelusuri jejak sejarah dan makna autentik jihad, kita akan menemukan jurang yang dalam antara jihad yang dipahami para ulama klasik dan pendiri bangsa, dengan jihad yang ditafsirkan secara sempit dan penuh kebencian oleh kelompok radikal.

Pertanyaannya sederhana: Sejak kapan jihad santri identik dengan pemaksaan “hukum Allah” versi mereka, padahal sejarah membuktikan sebaliknya?

Mari kita luruskan di awal. 

Dalam tradisi Islam klasik, jihad memiliki makna yang jauh lebih luas daripada sekadar perang fisik. Ulama seperti Ar-Raghib Al-Isfahani mendefinisikan jihad sebagai upaya mengalahkan tiga musuh: musuh fisik (secara defensif), setan (spiritual), dan hawa nafsu (jihad terbesar).

Selama 13 tahun periode Makkah, tak ada satu pun perintah perang. Jihad dimaknai sebagai kesabaran dan dakwah persuasif. Perintah perang di periode Madinah pun turun sebagai respons defensif atas agresi kaum Quraisy. Quraish Shihab menegaskan bahwa jihad dalam pandangan ulama klasik bersifat mempertahankan diri.

Lalu, kapan makna jihad bergeser menjadi ofensif untuk “menegakkan hukum Allah”?

Data sejarah, seperti yang ditelusuri oleh Profesor Asma Afsaruddin, menunjukkan pergeseran ini terjadi setelah era Nabi dan Khulafaur Rasyidin. Pergeseran ini bukan didorong oleh teologi, melainkan oleh politik. Para penguasa, misalnya pada masa Bani Umayyah, menggunakan tafsir jihad untuk melegitimasi ekspansi wilayah. Mereka membutuhkan stempel agama untuk kebutuhan politik kekuasaan mereka.

Akar pemahaman radikal yang mewajibkan perang untuk menegakkan “hukum Allah” sesungguhnya bukan berasal dari ajaran Islam mainstream, melainkan dari sekte ekstremis pertama dalam Islam, Khawarij (muncul 657 M). Merekalah yang memelopori ideologi takfiri (mengafirkan pelaku dosa besar), menghalalkan darah Muslim lain yang tidak sependapat, dan mewajibkan perang terhadap pemimpin yang tidak menerapkan hukum Allah menurut interpretasi kaku mereka.

Inilah DNA yang diwarisi oleh kelompok-kelompok ekstremis modern di Indonesia, dari sisa-sisa DI/TII hingga kelompok teroris kontemporer. Mereka mengadopsi ideologi impor yang tidak memiliki sanad (mata rantai keilmuan) dengan tradisi ulama Nusantara.

Nah, terminologi “jihad” di atas sudah terpolitisasi. Dan itu tidak kompatibel jika dikaitkan dengan perjuangan kaum santri. Jika ingin mencari apa “jihad santri” yang autentik di Indonesia, tengoklah Resolusi Jihad 22 Oktober 1945.

Fatwa yang diserukan oleh Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari ini adalah puncak dari pemahaman jihad santri. Apa isinya? Apakah seruan untuk mendirikan negara Islam atau menegakkan syariat?

Tidak. Resolusi Jihad adalah fatwa jihad difa’ (defensif). Hukumnya fardhu ain (wajib bagi setiap individu) untuk berperang melawan penjajah (NICA/Belanda) yang ingin merampas kembali kemerdekaan.

Konteksnya sangat jelas, mempertahankan kedaulatan bangsa. Jihad ini adalah legitimasi teologis bagi nasionalisme. KH Hasyim Asy’ari membingkai perjuangan ini dalam kaidah Hubbul Wathon Minal Iman (Cinta Tanah Air adalah bagian dari Iman). Jihad santri kala itu adalah mati syahid demi mempertahankan NKRI, bukan untuk mengganti Pancasila.

Tradisi jihad defensif dan kontekstual ini dilanjutkan oleh organisasi Islam terbesar di Indonesia. NU dan Muhammadiyah, sebagai representasi utama umat Islam Indonesia, telah final memahami Pancasila sebagai mu’ahadah wathaniyah (Kesepakatan Kebangsaan) atau darul ahdi wa syahadah (Negara Konsensus).

Bagi santri hari ini, jihad hari ini adalah melawan korupsi, melawan narkoba, melawan hoaks, dan jihad literasi. Bagi Muhammadiyah, jihad adalah lil-muwajahah (bersungguh-sungguh menciptakan keunggulan) dalam pendidikan, ekonomi, dan sosial.

Tidak ada satu pun dalam kamus jihad santri autentik yang mengajarkan pemaksaan kehendak, apalagi kekerasan, untuk menegakkan “hukum Allah”. Tindakan semacam itu justru menyalahi prinsip Al-Quran yang paling fundamental, Laa ikraaha fid-diin (Tidak ada paksaan dalam agama).

Jadi, kembali ke pertanyaan awal: sejak kapan jihad santri harus menegakkan “hukum Allah” ala ekstremis? Jawabannya, ya tidak pernah.

Pemahaman itu adalah produk ahistoris, hasil konstruksi politik modern yang dipengaruhi ideologi transnasional. Itu adalah pemahaman Khawarij yang dibungkus ulang, bukan ajaran ulama Nusantara. Jihad santri yang sejati adalah jihad intelektual, jihad sosial, dan jihad kultural untuk menjaga NKRI dan memajukan peradaban bangsa.

Dinda Permata Pratiwi

Recent Posts

Memviralkan Semangat Moderasi ala Pesantren di Media Sosial; Tantangan Jihad Santri di Era Virtual

Di era ketika jari-jemari menggantikan langkah kaki, dan gawai kecil mampu menggerakkan opini dunia, ruang…

16 detik ago

HSN 2025; Rekognisi Peran Santri dalam Melawan Radikalisme Global

Hari Santri Nasional (HSN) 2025 hadir bukan hanya sebagai ajang peringatan sejarah, tetapi sebagai momentum…

3 menit ago

Majelis Nurul Legend; Metode Dakwah Santri Berbasis Game Online

Barangkali tidak pernah terbayangkan sebelumnya jika game online dapat menjadi media dakwah. Game online kerap…

1 hari ago

Menolak Senjakala Pesantren

Ada sebuah diktum yang meresahkan bagi kaum santri saat ini, yaitu bahwa untuk menjadi modern,…

1 hari ago

Ronggawarsita: Daya Jelajah Seorang Santri

Di Tegalsari, Ponorogo, terdapat sebuah pesantren yang, dalam catatan Bruinessen (1995), merupakan pesantren tertua dalam…

1 hari ago

Jihad Santri; Mengafirmasi Kritisisme, Membongkar Fanatisme

Hari Santri Nasional tahun ini diperingati di tengah kontroversi seputar tayangan Xpose Uncencored Trans7 yang…

2 hari ago