Narasi

Jihad Pasca-Kemerdekaan; Melawan Intoleransi dan Radikalisme

Kemerdekaan Republik Indonesia tentu berhutang salah satunya pada perjuangan kaum muslim di seantero Nusantara. Tidak bermaksud mengecilkan apalagi menghapus peran kelompok lain (non-muslim, golongan kiri, dan sebagainya), namun sepertinya kemerdekaan Indonesia mustahil terwujud tanpa sumbangsih kelompok Islam.

Di Pulau Jawa misalnya, golongan kiai dan santri dengan basis pesantrennya memiliki peran strategis dalam revolusi kemerdekaan. Pesantren merupakan salah satu basis perjuangan revolusi yang tidak hanya menyediakan para pejuang, namun juga kebutuhan logistik lainnya. 

Mengapa kalangan pesantren begitu getol mendukung revolusi kemerdekaan. Selain karena dorongan nasionalisme dan cinta tanah air hal itu juga didorong oleh keyakinan agama. Di dalam Islam, kemerdekaan individu adalah hak absolut yang ada di setiap manusia.

Tindakan penindasan sesama manusia atas nama apa pun tidak dibenarkan dalam Islam. Di dalam Alquran terdapat sejumlah ayat yang menyiratkan pesan anti penindasan atau penjajahan. Paling populer misalnya Surat Al Baqarah ayat 279 yang artinya, “kamu tidak menindas, juga ditindas”.

Islam Agama Anti-Penjajahan

Maknanya, Islam tidak menoleransi segala bentuk penindasan, baik sebagai pelaku maupun penyintas atau korban. Maksudnya adalah kita tidak boleh menindas liyan, sebagaimana kita juga tidak boleh ada dalam kondisi tertindas. 

Dalam sebuah hadist juga dijelaskan bahwa umat Islam memiliki kewajiban melawan penindasan, dan jika tidak cukup kekuatan, maka diwajibkan menghindar. Misalnya berhijrah ke wilayah yang lebih aman. Hal ini dilakukan Nabi Muhammad ketika ia pindah dari Mekkah ke Yatsrib untuk menghindari penindasan kaum Quraisy.

Dalam konteks Indonesia, Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari pernah mencontohkan bagaimana menolak tunduk pada penindasan. Ia menolak ketika disuruh membungkuk atau menghormati pada matahari terbit oleh ternyata Jepang karena hal itu merusak atau bertentangan dengan tauhid.

Perjuangan melawan penjajah yang dilakukan umat Islam Indonesia dengan demikian merupakan perpaduan antara kebangkitan nasionalisme dan kepentingan menegakkan ajaran agama (jihad di sabilillah). 

Dalam konteks sekarang, ketika bangsa dan negara Indonesia ada dalam kondisi aman, jihad kiranya tidak bisa ditafsirkan sebagai perang fisik melawan musuh. Musuh kita hari ini bukanlah penjajah asing, namun kebodohan, kemiskinan, dan perilaku keagamaan serta sosial yang memecah belah bangsa dan umat.

Melawan Intoleransi dan Radikalisasi

Dalam konteks Indonesia, tentangan paling berat saat ini sebenarnya bukan kemiskinan dan kebodohan secara harfiah, namun lebih pada kebodohan dan kemiskinan nalar. Hal itu mewujud pada mewabahnya praktik Intoleransi dan radikalisasi keagamaan. 

Intoleransi dan radikalisasi pada dasarnya bisa dikatakan sebagai bentuk penindasan. Sikap intoelran umumnya lahir dari kehendak untuk menguasai, mendominasi, bahkan menindas kelompok lain yang lemah atau minoritas.

Sedangkan radikalisme merupakan ideologi kebencian yang mendorong manusia melakukan kekerasan fisik pada indidividu atau kelompok lain. Sama halnya dengan penjajahan kolonial, intoleransi dan rasikalisme juga merampas hak dan kebebasan asasi manusia. 

Merdeka dalam konteks Islam, tidak bebas dari penguasa yang zalim, namun juga hidup di bawah sistem sosial yang menegakkan toleransi (tasamuh) dan prinsip kesetaraan (musawwa). Meski tidak dijajah namun jika kita masih dihantui oleh ideologi intoelran apalagi radikal, maka pada dasarnya itu hanyalah kebebasan semu. 

Maka, umat muslim hari ini memiliki kewajiban jihad sekali lagi. Yakni jihad melawan segala bentuk intoleransi dan radikalisasi. Ketika umat Islam steril dari intoleransi dan bebas dari radikalisasi, maka saat itulah muslim menikmati kemerdekaan yang hakiki. 

Makna kemerdekaan dalam perspektif keislaman dan keagamaan secara luas adalah sebuah kondisi ketika umat beragama bebas mengekspresikan keimanan dan menjalankan peribadatan tanpa intervensi dan intimidasi dari mana pun. Cita-cita itu bisa terwujud manakala setiap individu beragama mampu menghormati dan melindungi kelompok agama berbeda.

Arkian, peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-78 ini kiranya bisa menumbuhkan kesadaran anti-intoleransi dan anti-radikalisme di kalangan umat beragama, terlebih umat Islam. Kemerdekaan (istiqlal) yang hakiki menurut Islam ada.

This post was last modified on 16 Agustus 2023 12:13 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

17 jam ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

17 jam ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

17 jam ago

Politik dan Kesucian: Menyimak Geliat Agama di Pilkada 2024

Dunia politik, pada dasarnya, adalah sebuah dunia dimana orang menjadi paham akan manusia dengan segala…

17 jam ago

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

2 hari ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

2 hari ago