Narasi

Jokowi dan Baduy : Merdeka dan Penghargaan terhadap Lokalitas Penguat Bangsa

Terlepas dari apapun kritik dan apresiasi terhadap Presiden Jokowi saat memakai baju adat Suku Baduy di sidang tahunan MPR/DPR 2021 pada senin (16/8) tentu itu akan menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Baduy. Terlepas pula dengan hanya istilah gula-gula dan ikonik, secaa simbolik menggunakan baju adat di acara resmi kenegaraan yang sakral menjadi bentuk apresiasi negara terhadap kekayaan lokalitas bangsa ini.

Indonesia memang sudah 76 Tahun merdeka, tetapi mungkin tidak banyak dari masyarakat kita yang memahami tentang beragamnya negeri ini. Keragaman itu mungkin tidak sepenuhnya ada di dalam otak dan ingatan kita. Sementara itu, generasi muda yang lupa sejarah terkadang lebih merasa bangga dengan hal yang berbau impor dari pakaian hingga ideologi.

Kegemerlapan pengaruh hal yang berbau global kerap menyilaukan pandangan generasi muda kita. Dari sekedar hal berbau fashion seperti ala Korea hingga ideologi yang merusak wawasan kebangsaan kita. Gaya hidup yang diglobalisasi sejatinya juga bagian dari penjajahan terhadap cara hidup bangsa ini. Begitu pula ideologi trans-nasional yang menggejala di negeri ini adalah bagian dari kolonialisasi ideologis untuk mengotori pikiran anak bangsa.

Di era digital seperti saat ini berapa banyak generasi muda yang lebih gandrung dengan gaya hidup pengaruh budaya global? Mereka lebih banyak mencari gaya dan mencoba mengidentifikasi diri dengan gaya masyarakat global. Mengimitasi diri untuk bisa sama dengan baju, gaya hingga kepribadian masyarakat luar. Tanpa sadar, pola hidup seperti ini akan menggerus jati diri mereka. Lambat laun ada perasaan inferior menjadi Indonesia dan merasa bangga menjadi bangsa lain.

Begitu pula dengan persoalan ideologi. Generasi muda merasa lebih militant memaknai perjuangan dengan ideologi impor. Seolah negeri ini harus dirubah dengan berdasarkan keyakinan ideologis yang revolusioner. Tanpa sadar mereka akan melupakan ideologi bangsa ini yang telah lama menjadi pengikat persaudaraan dan persatuan kita.

Bangga Menjadi Indonesia

Ketika Presiden Jokowi mengenakan baju adat suku Baduy luar setidaknya itu membuat masyarakat mengenal. Memang tidak cukup mengenal agar menjadi bangga. Namun pengetahuan tentang adanya suku, budaya, etnik dan bahasa yang beragam patut dikenalkan agar dapat dicintai.

Pro kontra terhadap aksi Presiden ini menimbulkan keingintahuan masyarakat tentang baju adat mana, makna apa, hingga informasi lain yang patut digali dan dipelajari. Tentu ini menjadi penting agar anak muda tidak hanya mencari informasi agar menjadi berbeda secara kepribadian dengan jati diri bangsa kita.

Keragaman bangsa ini dari berbagai aspek sejatinya modal berharga bagi bangsa ini. Sayangnya keragaman itu tidak pernah dikaji dan dikembangkan sebagai modal sosial-kultural dalam membangun bangsa. Keragaman baju adat hanya menjadi festival dan lambat laun hanya akan ada dalam pelajaran dan di museum. Sementara itu gaya hidup luar akan mendominasi gaya hidup generasi saat ini.

Penghormatan terhadap budaya lokal dan kekayaan kearifan lokal mestinya menjadi semangat bangsa ini. Penghormatan ini akan menumbuhkan kesadaran untuk bangga menjadi Indonesia. Menjadi Indonesia yang beragam yang disatukan oleh satu falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara.

Gerakan simbolik dan kampanye bersama perlu dilakukan sebagai bentuk apresiasi terhadap keragaman bangsa ini. Tidak cukup hanya mencibir dan tidak ada kemauan untuk melakukan penghargaan. Tidak cukup kritis sementara kita selalu abai terhadap kekayaan lokalitas bangsa kita.

Kapan masyarakat khususnya generasi milenial akan bangga memakai pakaian adatnya? Kapan generasi ini tidak silau dengan gaya hidup luar? Kapan generasi ini tidak terpengaruh ideologi luar yang berdampak destruktif terhadap persatuan?

Tentu jawabannya ketika jati diri bangsa ini tertanam dalam diri generasi saat ini. Jati diri ini akan mudah ditumbuhkan dengan menanamkan rasa bangga menjadi Indonesia. Dan rasa bangga itu hanya bisa diperoleh dengan sikap apreasi, simpati dan pemeliharaan dan serta pengembangan kekayaan khazanah lokalitas bangsa yang tersebar dari sabang hingga merauke.

Merdeka negeriku dan banggalah menjadi Indonesia.

This post was last modified on 20 Agustus 2021 2:17 PM

Ernawati Ernawati

Recent Posts

Jebakan Beragama di Era Simulakra

Banyak yang cemas soal inisiatif Kementerian Agama yang hendak menyelenggarakan perayaan Natal bersama bagi pegawainya,…

23 jam ago

Melampaui Nalar Dikotomistik Beragama; Toleransi Sebagai Fondasi Masyarakat Madani

Penolakan kegiatan Natal Bersama Kementerian Agama menandakan bahwa sebagian umat beragama terutama Islam masih terjebak…

23 jam ago

Menanggalkan Cara Beragama yang “Hitam-Putih”, Menuju Beragama Berbasis Cinta

Belakangan ini, lini masa kita kembali riuh. Rencana Kementerian Agama untuk menggelar perayaan Natal bersama…

23 jam ago

Beragama dengan Kawruh Atau Rahman-Rahim dalam Perspektif Kejawen

Dalam spiritualitas Islam terdapat tiga kutub yang diyakini mewakili tiga bentuk pendekatan ketuhanan yang kemudian…

23 jam ago

Natal Bersama Sebagai Ritus Kebangsaan; Bagaimana Para Ulama Moderat Membedakan Urusan Akidah dan Muamalah?

Setiap menjelang peringatan Natal, ruang publik digital kita riuh oleh perdebatan tentang boleh tidaknya umat…

2 hari ago

Bagaimana Mengaplikasikan Agama Cinta di Tengah Pluralitas Agama?

Di tengah pluralitas agama yang menjadi ciri khas Indonesia, gagasan “agama cinta” sering terdengar sebagai…

2 hari ago