Narasi

Kartini Masa Kini Adalah Ujung Tombak Agen Pendidikan Perdamaian

Berbicara soal perempuan, dalam sejarah nasional tentu kita kenal sosok Raden Ajeng Kartini. Sosok perempuan fenomenal yang terkenal sebagai pejuang emansipasi wanita, terutama dalam hal pendidikan. Kartini merupakan salah satu representasi perempuan yang peduli dan berjuang demi pendidikan. Mengingat saat itu sosok perempuan tidak dianjurkan untuk sekolah tinggi, sehingga banyak perempuan yang tidak sekolah.

Masa Kartini telah berlalu cukup lama dan setiap tanggal 21 April kita rajin memperingatinya. Namun, peringatan belumlah cukup untuk mendobrak tradisi diskriminasi gender yang sudah terlanjur berurat akar di masyarakat negeri ini. Subordinasi gender tetap masih marak terjadi, terutama di daerah pedesaan, di mana perempuan dianggap manusia kelas dua setelah laki-laki.

Oleh karena itu, kisah Kartini, rasanya kita perlu mengambil beberapa pelajaran berharga untuk diinternalisasikan di dalam kehidupan saat ini, seperti peranan perempuan dalam pendidikan perdamaian, minimal bagi anak-aaknya dalam keluarga, lebih-lebih bagi dunia global seperti yang telah dilakukan oleh Menlu Retno yang selalu menggelorakan spirit perdamaian dunia seperti apa yang terjadi di Palestina. Apalagi 60 persen korban kemanusiaan di Palestina adalah kaum perempuan (kemlu.go.id).

Kartini tidak mengajarkan perempuan untuk lari dari fungsi biologisnya dan perananya di dalam keluarga. Melainkan mengajarkan untuk lebih berharga dan mensyukuri fungsi tersebut. Oleh karena itu, salah jika atas nama emansipasi, lalu perempuan sibuk mengejar karier dan mengabaikan keluarganya. Bagi Kartini perempuan yang berpandangan luas dan cerdas akan lebih mampu membangun keluarga dan mencerdaskan generasi mendatang, termasuk dalam kaitannya dalam pendidikan perdamaian. Di sini keluarga harus menempati skala prioritas tertinggi sebagai instrumen pendidikan.

Memang perempuan sekarang ini telah diberi kebebasan untuk mengenyam pendidikan, turut berpolitik, dan memilih jalan hidupnya. Namun, masalah gender dewasa ini tetaplah hadir yang tidak lagi dalam bentuk pembatasan, akan tetapi dalam modus lain seperti image dan pandangan masyarakat tentang perempuan. Masih banyak pandangan minor dari masyarakat terhadap perempuan yang secara tidak langsung mensubordinasikan perempuan terhadap laki-laki.

Disadari atau tidak ada banyak hal yang sejatinya mengandung diskiminasi gender. Seperti perempuan dianggap aneh apabila mengambil studi pada jurusan tehnik. Masyarakat masih berpandangan bahwa perempuan yang normal akan mengambil jurusan seperti sekretaris, keguruan, tata busana, ataupun tata boga. Kemudian, image negatif yang diberikan ketika perempuan mengerjakan profesi laki-laki seperti jadi sopir, berbeda dengan laki-laki yang dianggap sudah biasa. Kasus KDRT, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi lainnya yang melibatkan perempuan sebagai korban. Tentunya, hal ini harus diantisipasi dan ditangani.

Oleh karena itu, perempuan juga diharapkan mampu mengontrol dirinya. Dalam artian ketika diberi kebebasan serta peran sebagai mitra bersama laki-laki (berkeluarga). Perempuan hendaknya tidak lupa dengan fungsinya, baik secara biologis maupun sosialnya. Seperti halnya fungsi ibu melahirkan dan menyusui yang merupakan fungsi biologis dan hanya mampu dilakukan oleh perempuan. Begitu juga fungsi sosialnya, seperti menjaga kehormatan atau nama baik serta memperhatikan kesejahteraan keluarganya. Selain fungsi biologis dan sosial, fungsi lainnya juga harus dilakukan secara berimbang di antara laki-laki dan perempuan, sehingga keberadaaan perempuan tidak lagi didiskriminasikan.

Itu semua merupakan tugas serta tanggung jawab kita sebagai insan yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia (HAM). Kita semua harus sadar dan memuliakan posisi perempuan, dimulai dari lingkungan masyarakat terkecil yaitu keluarga dengan menjadikan perempuan sebagai figur yang dihormati peranannya, bukan malah menjadi pelampiasan emosi ataupun kekerasan. Kalau kesadaran kolektif ini benar-benar dibumikan dalam keluarga maka niscaya akan berdampak positif pada proses pendidikan anak melalui pola pengasuhan yang baik. Langkah awal pendidikan keluarga ini tentunya akan berguna untuk tahap pendidikan selanjutnya ke arah yang lebih baik, termasuk dalam hal pendidikan perdamaian.

Suwanto

Penulis merupakan Peneliti Multiple-Representation Learning di PPs Pend.Kimia UNY, Interdisciplinary Islamic Studies di Fak. Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, dan Culture Studies di UGM

Recent Posts

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

4 jam ago

Kontra-Terorisme dan Urgensi Mengembangkan Machine Learning Digital Bagi Pemuda

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, ancaman radikalisme tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi…

6 jam ago

Dari Jong ke Jaringan: Aktualisasi Sumpah Pemuda dalam Membangun Ketahanan Digital

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan…

6 jam ago

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

1 hari ago

Digitalisasi Sumpah Pemuda; Menjadikan TikTok Sebagai Aparatus Ideologi

Jika ditanya, apa media sosial paling populer bagi gen Z dan gen Alpha, maka jawabannya…

1 hari ago

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

  Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka.…

1 hari ago