Narasi

Kegalauan Khilafah

Di facebook, beberapa kali saya tergoda dengan status atau tautan tentang khilafah. Dengan bahasa yang penuh optimisme, mereka yakin jika khilafah merupakan satu-satunya jalan terbaik untuk model pemerintahan di Indonesia. Optimisme tersebut dibarengi dengan mencela sistem-ideologi lain, –semisal demokrasi dan  liberalisme–, sebagai sistem kafir dan “menafikan” Tuhan sebagai Pembuat hukum yang utama.

Kemudian saya bertanya pada beberapa kawan facebook yang sering menulis status soal khilafah. Bagaimana khilafah akan mengambil alih sistem pemerintahan di Indonesia yang saat ini berjalan? Dengan pemilu, kudeta, revolusi, atau lainnya? Dan bagaimana menentukan seorang khalifah untuk memimpin pemerintahan khilafah?

Jawaban yang saya dapat sungguh mengecewakan. Belum ada yang dapat memberi jawaban yang otentik dan purna terhadap tiga pertanyaan saya itu. Saya sejatinya ingin mendapat gambar utuh tentang sistem khilafah yang akan mereka tegakkan itu. Terutama bagaimana proses dan mekanisme pengambil-alihan kekuasaan itu (jika memungkinkan).

Beberapa kali juga, setiap pulang jumatan, saya mengambil buletin milik gerakan khilafah yang disebar ke masjid-masjid. Mereka sebetulnya cukup responsif (untuk tidak dikatakan reaktif) terhadap isu-isu publik yang sedang menjadi trending topic. Dengan mengutip ayat al-Qur’an dan hadits untuk melegitimasi argumentasinya, mereka seolah yakin bahwa titah Tuhan di kitab suci akan dapat langsung menyelesaikan persoalan.

Kelas Menengah-Atas

Bagi kalangan Islam sendiri (yang mainstream), ada sebuah diktum bahwa al-Qur’an tidak bisa langsung ditelan secara bulat-bulat. Ada ayat muhkamat dan mutasyabihat, atau qath’i dan dzanni, yang mendefiniskan bagaimana sebuah ayat al-Qur’an langsung bisa diterapkan atau perlu dijabarkan lebih lanjut dengan tafsir dari ulama yang mempunyai kredibilitas mumpuni.

Secara iseng, saya membuka akun beberapa kawan yang gandrung dengan sistem khilafah. Mereka ini mayoritas berasal dari kelas menengah atas (ditunjukkan dengan pekerjaan yang ditampilkan di facebook). Mereka sesungguhnya secara sosial- ekonomi, mendapat beberapa akses yang lebih baik dibandingkan dengan masyarakat menengah bawah. Di kampus-kampus, organisasi “sayap” khilafah juga marak.

Kita mesti mengakui bahwa kondisi di Indonesia saat ini seperti berada di “tubir kehancuran”. Kemandirian ekonomi masih jauh panggang dari api. Kebijakan pemerintah kurang apresiatif terhadap nilai-nilai genuine yang dapat mengangkat bangsa ini dari keterperukuan. Demokrasi masih berjalan pada praktik prosedural (pemilu) dan politik citra. Sementara nilai-nilai kohesi sosial di masyarakat semakin terkikis dengan maraknya patologi sosial (kriminalitas, prostitusi, individualisme).

Bruinessen (2013) membandingkan fenomena di Indonesia dengan penelitian Saad Eddin Ibrahim tentang gerakan militansi fundamentalisme di Timur Tengah dan Afrika Utara. Ada pola yang serupa, ternyata mereka berasal dari kelas menengah atas, dan tidak ada yang pengangguran atau dari keluarga broken home. Mereka ini, menurut peneliti yang dikutip Bruinessen, mengidap deprivasi relatif, yakni perasaan tidak mendapatkan sesuatu yang ia anggap sebagai haknya.

Dengan kata lain, kita boleh menyebut bahwa mereka ini sebetulnya ingin mendapatkan lebih banyak privilege (keistimewaan) terkait dengan status sosial-ekonomi mereka di masyarakat. Sehingga, kesimpulan Bruinessen, fundamentalisme Islam merupakan gejala sosial, bukan gejala agama. Agama serupa catatan kaki untuk melegitimasi gerakan mereka, kendati berupa legitimasi yang tidak kokoh.

Sebagai ide politik, konsep khilafah tentu sah saja untuk menjadi wacana alternatif demi memperbaiki situasi sosial, politik, ekonomi di negara kita tercinta. Namun, perlu pendalaman teori dan strategi aksi agar ide ini dapat diterima oleh semua pihak, dari yang aliran kanan, kiri, maupun sekuler. Ketimbang hanya melakukan aktif di dunia maya dan pengumpulan massa seraya meneriakkan yel-yel khilafah bakal menjadi solusi bagi Indonesia untuk menjadi negara yang adil dan makmur.

Kalau kita mengkaji teori-teori demokrasi, sosialisme, komunisme, atau ideologi-sistem pemerintahan lainnya, semua bermuara pada keadilan dan kesejahteraan sosial. Kalau dalam perjalanannya belum memuaskan semua pihak, tidak lantas menyebutnya sebagai sistem yang tidak memiliki landasan teologis. Tugas bagi pengagum dan penganjur khilafah islamiyah adalah menjelaskan secara detail bagaimana sistem yang mereka tawarkan ini dapat menjawab tantangan demokrasi di Indonesia.

This post was last modified on 26 April 2016 11:43 PM

Junaidi Abdul Munif

Pengajar di Ponpes Luhur Wahid Hasyim Semarang

Recent Posts

Genealogi Agama Cinta; Dari Era Yunani Klasik, Nusantara, Sampai Abad Digital

Agama cinta sebenarnya bukan gagasan baru, melainkan sebuah konsep lama yang terus-menerus diperbarui tafsirannya sesuai…

16 jam ago

Menggugat “Cinta Politis” Kaum Ekstremis dengan Kaca Mata Erich Fromm

Cinta, sebuah kata yang diklaim sebagai fitrah dan puncak aspirasi spiritual, ironisnya justru menjadi salah…

16 jam ago

Agama Lahir dari Cinta, Mengapa Umat Beragama Sering Menebar Luka?

Agama, dalam hakekat terdalamnya, lahir dari cinta. Cinta kepada Yang Maha Kuasa, cinta kepada sesama,…

16 jam ago

Polemik Bendera One Piece; Waspada Desakrasilasi Momen Hari Kemerdekaan

Belakangan ini, dalam beberapa hari media massa dan media sosial kita riuh ihwal polemik pengibaran…

2 hari ago

Mewarisi Agama Cinta dari Kearifan Nusantara

Indonesia, sebagai negeri yang kaya akan keanekaragaman budaya dan agama, memiliki akar-akar tradisi spiritual yang…

2 hari ago

Menghadirkan Agama Cinta di Tengah Krisis Empati Beragama

Rentetan kasus kekerasan atas nama agama menyiratkan satu fakta bahwa relasi antar pemeluk agama di…

2 hari ago