Budaya populer merupakan bagian penting dari kehidupan sehari-hari yang mencakup film, musik, media sosial, fashion, dan tren gaya hidup yang digemari masyarakat luas. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, budaya populer juga telah menjadi medium yang dimanfaatkan oleh berbagai kelompok, termasuk kelompok-kelompok radikal seperti HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) dan FPI (Front Persaudaraan Islam). Mereka menggunakan budaya populer sebagai saluran untuk menyebarkan ideologi yang mengarah pada radikalisme dan ekstremisme.
Mengapa hal itu bisa terjadi? Banyak faktor yang memungkinkan budaya populer menjadi lahan subur bagi propaganda radikal, mulai dari aksesibilitasnya yang tinggi, kemudahan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, hingga kemampuannya memengaruhi pola pikir dan perilaku orang, terutama generasi muda yang sangat rentan terhadap pengaruh luar. Para aktor radikal ini memanfaatkan sifat budaya populer untuk mengemas pesan-pesan radikal mereka dalam bentuk yang seolah-olah sesuai dengan nilai-nilai budaya sehari-hari.
Budaya populer saat ini sangat dipengaruhi oleh perkembangan teknologi digital dan internet, yang memungkinkan informasi dan konten mengalir dengan sangat cepat dan meluas ke seluruh lapisan masyarakat. HTI dan FPI, sebagai contoh, telah memanfaatkan media sosial seperti YouTube, Instagram, dan Twitter untuk menyebarkan narasi radikal mereka. Konten-konten tersebut sering kali dibungkus dalam bentuk yang menarik, seperti meme, video singkat, atau potongan ceramah yang diedit sedemikian rupa untuk memikat perhatian, terutama generasi muda yang merupakan pengguna aktif media sosial dalam kehidupan sehari-hari.
Mereka menyelipkan pesan-pesan yang penuh dengan retorika kebencian, ajakan untuk menentang pemerintah, bahkan menginginkan penerapan sistem syariat Islam secara total di Indonesia. Dengan menyisipkan ide-ide ini melalui media yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, para kelompok radikal mencoba menciptakan kondisi di mana masyarakat, khususnya anak muda, mulai mempertanyakan sistem dan nilai-nilai yang berlaku di negara mereka. Lama kelamaan, tanpa disadari, pandangan radikal ini tertanam dalam pikiran mereka, membentuk persepsi negatif terhadap pemerintah atau kelompok keagamaan lain yang dianggap bertentangan dan tidak sesuai dengan ideologi dan tujuan yang mereka usung.
Selain media sosial, kelompok radikal juga memanfaatkan konten budaya populer lainnya, seperti film atau musik. Salah satu cara yang digunakan adalah dengan membuat film atau dokumenter pendek yang menggambarkan kehidupan atau perjuangan mereka. Film-film ini disebarkan di berbagai platform digital dengan kemasan yang menarik, namun menyimpan pesan radikal di dalamnya. Tak jarang, film tersebut dibuat dengan menggabungkan narasi heroik, pengorbanan, dan perjuangan yang membangkitkan emosi dan simpati penonton.
Misalnya, beberapa video dan dokumentasi yang menampilkan “perjuangan” dalam “menegakkan Islam” atau melawan “ketidakadilan” di negara ini. Dengan cara ini, kelompok radikal berusaha untuk menampilkan diri sebagai pahlawan yang berjuang untuk kebenaran dan keadilan, sementara pihak lain, seperti pemerintah atau kelompok yang berbeda pandangan, dilukiskan sebagai musuh yang harus dilawan. Ini merupakan strategi yang cukup efektif, karena budaya populer memang memiliki kekuatan membentuk persepsi masyarakat.
Dalam konteks ini, budaya populer bukan hanya soal hiburan atau gaya hidup, tetapi telah menjadi senjata yang digunakan untuk menyebarkan ideologi radikal. Munculnya fenomena ini perlu mendapat perhatian serius karena dapat berdampak pada stabilitas sosial dan keamanan negara. Terlebih lagi, dengan semakin banyaknya pengguna internet dan media sosial, penyebaran konten radikal ini semakin sulit dikontrol. Tantangan terbesar dalam menghadapi radikalisasi lewat budaya populer adalah bagaimana cara untuk membedakan antara konten yang benar-benar edukatif dengan konten yang memiliki muatan radikalisme.
Tiga Langkah Mencegahnya!
Untuk mencegah radikalisasi melalui budaya populer, ada beberapa langkah yang dapat diambil. Pertama, pemerintah dan masyarakat perlu meningkatkan literasi digital dan pemahaman terhadap konten yang beredar di media sosial. Masyarakat, terutama generasi muda, harus dibekali dengan kemampuan untuk berpikir kritis dan memilah informasi.
Kedua, alternatif konten positif perlu ditingkatkan. Misalnya, membuat film, musik, atau video yang mengangkat tema toleransi, persatuan, dan kebhinekaan yang dapat menarik minat generasi muda. Dengan menyediakan pilihan konten yang sehat dan informatif, diharapkan dapat mengurangi ketertarikan anak muda terhadap konten radikal.
Ketiga, peran keluarga juga sangat penting dalam mencegah radikalisasi melalui budaya populer. Keluarga merupakan lingkungan pertama dan utama dalam membentuk karakter dan nilai-nilai anak. Orang tua perlu membangun komunikasi yang baik dengan anak-anak mereka serta mengajarkan nilai-nilai toleransi, keberagaman, dan cinta damai. Dengan komunikasi yang terbuka dan hubungan yang harmonis, diharapkan anak-anak dapat terbuka pada orang tua ketika mereka menemui hal-hal yang mencurigakan di media sosial.
Banyak survei internasional mengakui bahwa Indonesia lekat nilai-nilai religius dalam setiap denyut nadi warganya. Hampir…
Belum lama ini, saya membaca kembali buku The Death of Expertise karya Tom Nichols. Buku…
Sebagai sebuah ideologi dan gerakan, FPI dan HTI harus diakui memang punya tingkat resiliensi yang…
Temu Muda Muslimah 2024 yang digelar di Palembang kiranya dapat dibaca dari dua sisi. Di…
Menarik membaca manuver eks-HTI pasca organisasi itu dibubarkan. Salah satu pentolan eks-HTI, Felix Shiaw mengatakan…
Hari Pahlawan adalah momen untuk mengenang dan melanjutkan semangat juang para pahlawan bangsa dalam konteks…