Narasi

Ketika Non-Muslim Ikut Berqurban: Mencampuradukkan Agama atau Menyembelih Egoisme dalam Beragama?

Di momentum Idul Adha pada 17 Juni 20224 kemarin, ada kisah menarik, yakni keterlibatan saudara kita yang non-muslim yang ikut berqurban. Kisah ini disampaikan oleh Wapres Ma’ruf Amin pada saat acara penyerahan hewan kurban bersama Presiden Joko Widodo di halaman Masjid Istiqlal Jakarta. Beliau mengatakan, bahwa yang berqurban itu tidak hanya dari kalangan umat Islam saja, tetapi juga ada dari non-muslim.

Imam Besar Masjid Istiqlal, yakni Nasaruddin Umar menegaskan, bahwa ada 50 ekor Sapi dan 12 Ekor Kambing yang akan dikorbankan di Masjid tersebut (17/6/24). Dari jumlah itu, ada 22 ekor sapi yang diberikan oleh saudara kita yang non-muslim agar dikorbankan. Ada yang dari Gereja Katedral, dari komunitas Tionghoa dan juga datang dari saudara-saudara non-muslim lainnya yang ikut ber-kurban.

Lantas yang menjadi pertanyaan banyak kalangan, apakah keikutsertaan non-muslim dalam berqurban disebut mencampuradukkan agama? Atau justru ini menjadi momentum bagi (siapa-pun) termasuk umat agama lain. Yaitu upaya menyembelih ‘ego-ego diri’ dalam beragama yang kerap menonjolkan sifat eksklusif dan selalu merasa paling benar

Titik-Temu Umat Beragama  Islam dalam Spirit Kurban

Dalam tradisi agama-agama Abrahamic (Islam, Kristen dan Yahudi) misalnya. Kisah perintah suci dari Tuhan atas Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya telah menjadi bagian dari prinsip beragama yang harus diyakini-imani. Meskipun, mereka memiliki perspektif yang berbeda terkait siapa yang ingin disembelih oleh Nabi Ibrahim. Misalnya, dalam perspektif Islam itu Ismail sedangkan Kristen dan Yahudi adalah Isaac/Ishak, yakni putra Nabi Ibrahim dari istrinya yang bernama Sarah.

Tetapi inti pesan dari proses keikhlasan Nabi Ibrahim yang menerima perintah-Nya untuk menyembelih anaknya (yang dijelaskan dalam Islam, Kristen atau Yahudi). Pada dasarnya tetap berakar pada spirit, tujuan dan maksud yang sama. Yakni keberhasilan Nabi Ibrahim atas ujian-Nya setelah melepas ego kepemilikan dan kasih-sayangnya yang terkesan berlebihan atas anaknya.

Ketulusan iman itulah yang membuat anaknya Nabi Ibrahim gagal disembelih. Seperti dalam perspektif Islam (Qs. As-Saffat:107) “Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar”. Dalam perspektif Yahudi, seperti dalam Kitab Genesis (Bibel Ibrani) di saat Nabi Ibrahim ingin menyembelih, seketika datang Malaikat lalu berkata: “Sekarang Aku tahu kamu takut Tuhan” dari situlah muncul Domba sebagai ganti dan Nabi Ibrahim menyembelih Domba tersebut. Dalam Kristen, mereka mengikuti kebenaran perjanjian lama dalam Bible Ibrani yang mengimani konteks yang sama.

Proses “digantikan-nya” anak Ibrahim dengan hewan untuk dikorbankan ini dibenarkan dalam Islam, Kristen dan Yahudi. Sebagaimana ada tiga clue-etis. Hal yang utama, Tuhan tak ingin mengorbankan nyawa manusia mengatasnamakan agama. Kedua, ketulusan iman Nabi Ibrahim sebagai pe-negasi dari sifat-sifat “men-Tuhankan diri” atau egoisme/egosentrisme. Ketiga, kesejatian iman sangatlah menjunjung nilai-nilai kemanusiaan.

Relevansi Keterlibatan Non-Muslim dalam Berqurban dalam Menyembelih Egoisme Beragama

Relevansi non-muslim ikut berqurban pada dasarnya tak sekadar berpartisipasi dalam perayaan Idul Adha umat Islam. Ini bukan perkara ritual keagamaan semata. Melainkan sebagai simbol penting dalam membangun spirit untuk menyembelih egoisme diri seperti egoisme beragama di tengah kemajemukan.

Siapa-pun dan agama apa-pun secara relevan sangatlah etis untuk mengenang sekaligus meneladani kebijaksanaan Nabi Ibrahim. Keterlibatan non-muslim dalam berqurban bukan mencampuradukkan akidah/agama. Hewan-hewan yang dikorbankan umat Islam dan juga non-muslim itu adalah simbol bagi kita (tanpa sekat agama). Untuk bersama-sama menyembelih ego-ego diri dalam beragama yang kerap merasa paling benar, paling layak beserta ego-ego eksklusif lainnya yang kerap mencederai kemajemukan kita di negeri ini untuk kita sembelih.

Nur Samsi

Recent Posts

Penguatan Literasi Digital untuk Ketahanan Pemuda Masa Kini

Kita hidup di zaman yang oleh sosiolog Manuel Castells disebut sebagai Network Society, sebuah jejaring…

19 jam ago

Kontra-Terorisme dan Urgensi Mengembangkan Machine Learning Digital Bagi Pemuda

Di tengah pesatnya kemajuan teknologi informasi, ancaman radikalisme tidak lagi terbatas pada ruang fisik, tetapi…

21 jam ago

Dari Jong ke Jaringan: Aktualisasi Sumpah Pemuda dalam Membangun Ketahanan Digital

Sembilan puluh tujuh tahun silam, para pemuda dari berbagai penjuru Nusantara berkumpul, mengukir sejarah dengan…

21 jam ago

Revitalisasi Sumpah Pemuda dalam Ketahanan Digital

Di tengah gelombang perubahan global yang tak terelakkan, yang dihadirkan oleh revolusi industri 4.0 dan…

2 hari ago

Digitalisasi Sumpah Pemuda; Menjadikan TikTok Sebagai Aparatus Ideologi

Jika ditanya, apa media sosial paling populer bagi gen Z dan gen Alpha, maka jawabannya…

2 hari ago

Ketika Eks Napi Teroris Membumikan Semangat Sumpah Pemuda

  Bagi para eks napi teroris di Republik ini, Sumpah Pemuda bukanlah ikrar pertama mereka.…

2 hari ago