Narasi

Ketika Teks Suci Digunakan untuk Menebar Benci dan Intoleransi

Pada dasarnya, intoleransi tidak pernah berakar ke dalam wilayah etis agama, tetapi menyandingkan perilaku demikian ke dalam dasar nilai agama. Dalam konteks yang semacam ini, Saya begitu tertarik dengan paradigma teks suci antara perenungan dan kepentingan yang menjadi titik korelatif perilaku seseorang dalam beragama.

Di dalam Islam, kita mungkin sering-kali melihat teks verbal di dalam Al-Qur’an yang berbicara tentang sebuah kata perintah “perangilah, bunuhlah, jauhilah, memusuhi dan membenci” mereka yang “dianggap” kafir. Lantas, mengapa ada dua perilaku yang berbeda di dalam melihat teks yang semacam itu.

Di satu sisi, banyak orang yang merasa enggan, menolak dan menelusuri kebenaran ayat-ayat yang semacam itu. Ini bukan perkara “pembangunan iman” namun kesadaran tentang iman. Setelah ada upaya “perenungan diri” bahwa teks yang demikian justru sangat problematik bagi kemanusiaan, hubungan sosial, bagi tatanan dan kemaslahatan.

Tentu, perenungan yang demikian akan menghidupkan semacam korelasi etis bahwa Al-Qur’an hadir sebagai (jalan terbaik) bagi peradaban umat manusia. Bahkan, Al-Qur’an sendiri disebut sebagai akhlak Nabi. Maka, tentunya nilai yang kokoh di dalam-nya pasti mengerucut ke dalam segala yang berkaitan dengan kebaikan-kebaikan dan bertentangan dengan segala yang berkaitan dengan keburukan.

Di sisi lain, teks yang berbicara tentang “perangilah, bunuhlah, jauhilah, memusuhi dan membenci” justru menjadi nilai jual bagi pihak-pihak tertentu yang (berkepentingan) atas itu. Dalam konteks yang semacam ini, banyak orang yang berupaya memanfaatkan bunyi teks yang demikian sebagai “pembenar” perilaku intolerant, radikal dan zhalim lalu dinisbatkan ke dalam teks agama yang berbicara hal itu.

Banyak orang yang tidak perlu banyak mempersoalkan teks tersebut, lalu berdalih demi keautentikan agama, kesucian agama dan lain sebagainya. Lalu, teks-teks yang semacam itu dijadikan alat pembenar segala perilaku yang sebetulnya dalam banyak ayat lain juga melaknat perilaku radial, intolerant dan zhalim yang telah disebutkan dalam teks-teks Al-Qur’an.

Sehingga, muncul semacam (pola aturan) bahwa kita dilarang bersaudara dengan mereka yang disebut kafir. Kita dilarang untuk menjalin hubungan sosial bahkan kita diperintahkan untuk membunuh, memusuhi dan membenci. Kenyataan yang semacam ini tentunya tidak terlepas dari kenyataan kita di dalam menempatkan teks sebagai kepentingan dalam perilaku yang demikian.

Artinya apa? intoleransi, radikalisme, kezhaliman dan kemudharatan mengatasnamakan kebenaran agama sebetulnya lahir atas (sebuah kepentingan) di dalam melihat teks tersebut. Jauh berbeda dengan seseorang yang meniscayakan teks sebagai dasar perenungan. Niscaya mereka akan menggunakan hati-nuraninya untuk melihat kebenaran apa yang dianggap problematik dan secara jelas juga bertentangan dengan beberapa teks lain.

Perenungan atas teks “mati” menjadi “teks hidup” adalah cara menemukan rahasia Tuhan di balik kalam yang suci itu. Ini bukan perihal “membantah” kebenaran suci. Melainkan jalan etis bagi kita untuk menemukan fakta di balik teks suci itu dan apa yang menjadi dasar penting di balik teks perintah yang semacam itu.

Kesadaran yang semacam ini memanglah sangat sulit namun menjadi jalan pilihan bagi mereka yang tidak memiliki kepentingan apa-pun di dalam melihat teks suci berupa Al-Qur’an. Sebab, orang yang lebih mengutamakan perenungan atas teks suci akan selalu ber-orientasi ke dalam wilayah kemanfaatan bagi tatanan umat.

Intoleransi pada dasarnya bukan berakar ke dalam agama sebagaimana dalam konteks memahami teks suci. Sebab, intoleransi kokoh ke dalam wilayah (kepentingan) atas segala teks yang memiliki nilai jual untuk menunjang sebuah hasrat, baik politik, kekuasaan dan lain sebagainya.

 “Toleransi adalah bersimpati kepada orang lain tanpa harus menjadi orang lain

~Goenawan Mohamad~

Toleransi itu bisa merasakan orang yang berbeda tanpa harus menjadi orang lain Intoleransi muncul karena ada yang “merasa terancam” “rasa curiga” dan sulitnya membangun ruang dialog karena tertutup dengan dogma agama untuk tidak menjalin hubungan yang baik.

This post was last modified on 6 Desember 2022 1:57 PM

Saiful Bahri

Recent Posts

Cara Islam Menyelesaikan Konflik: Bukan dengan Persekusi, tapi dengan Cara Tabayun dan Musyawarah

Konflik adalah bagian yang tak terelakkan dari kehidupan manusia. Perbedaan pendapat, kepentingan, keyakinan, dan bahkan…

2 hari ago

Beragama dalam Ketakutan: Antara Narasi Kristenisasi dan Persekusi

Dua kasus ketegangan umat beragama baik yang terjadi di Rumah Doa di Padang Kota dan…

2 hari ago

Bukti Nabi Sangat Menjaga Nyawa Manusia!

Banyak yang berbicara tentang jihad dan syahid dengan semangat yang menggebu, seolah-olah Islam adalah agama…

2 hari ago

Kekerasan Performatif; Orkestrasi Propaganda Kebencian di Ruang Publik Digital

Dalam waktu yang nyaris bersamaan, terjadi aksi kekerasan berlatar isu agama. Di Sukabumi, kegiatan retret…

3 hari ago

Mengapa Ormas Radikal adalah Musuk Invisible Kebhinekaan?

Ormas radikal bisa menjadi faktor yang memperkeruh harmoni kehidupan berbangsa serta menggerogoti spirit kebhinekaan. Dan…

3 hari ago

Dari Teologi Hakimiyah ke Doktrin Istisyhad; Membongkar Propaganda Kekerasan Kaum Radikal

Propaganda kekerasan berbasis agama seolah tidak pernah surut mewarnai linimasa media sosial kita. Gejolak keamanan…

3 hari ago