Narasi

Khilafah dalam Kerangka Rosing Rasa

Khilafah, seperti halnya tetk-bengek kebudayaan Islam yang tak mutlak dapat dilepaskan dari wadah ke-“Arab”-annya, merupakan hal yang tak dapat begitu saja terimplementasikan dengan tepat di Nusantara. Orang-orang Nusantara, terutama orang-orang Jawa, memiliki kriteria tersendiri untuk menampik ataupun menerima sebuah keyakinan dan pandangan hidup tertentu.

Bagaimana pun khilafah adalah sebuah gagasan yang tak munkin dilahirkan oleh rahim kebudayaan Nusantara ataupun Jawa pada khususnya. Maka dalam terang inilah ketika saya menyatakan bahwa kebudayaan Islam tak mutlak dapat dilepaskan dari reino dan dinamita kebudayaan Arab yang menyertainya mendapatkan kewijangannya.

Serat Wedhatama adalah salah satu produk kebudayaan Jawa yang sangat detail dalam menyikapi tipe-tipe keislaman yang sama sekali “kecil” atau “ora njawa” dalam hal rasa yang dalam kebudayaan Jawa memang menjadi parameter etika, baik dalam kaitannya dengan masalah beragama dan bertuhan maupun dalam kaitannya dengan hubungan antar sesama manusia. Dalam bahasa sekarang kekecilan atau ketakdewasaan itu dapat mengacu pada radikalisme dan terorisme yang berbaju keagamaan yang jelas-jelas mengagendakan tegaknya sistem khilafah, atau setidaknya sebuah sistem dimana orang-orang yang dianggap Islam mesti menduduki sebuah kasta yang tertinggi dalam sebuah masyarakat.

Pengarang Serat Wedhatama sendiri adalah seorang pemimpin atau adipati yang konon pernah nyantri dan bagi saya sangat sentara memiliki persinggungan dengan tasawuf al-Ghazali ketika mengupas masalah hati (Wedhatama dan “Kuluban” di Bulan Ramadhan, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id). Adipati itu bernama lengkap R.M. Sindura atau Mangkunagara IV.

Khilafah jelas bukanlah konsep yang potensial dikembangkan oleh rahim kebudayaan Nusantara, khususnya Jawa. Sebab, dengan merujuk kondisi geografis yang cukup berpengaruh dalam konsep geopolitik dan bahkan kebudayaan Jawa, sama sekali tak dijumpai modal-modal yang dapat digunakan untuk membangun sebuah gagasan semacam gagasan tentang khilafah. Inilah kenapa Perang Jawa, yang dikenal pula sebagai Perang Sabil, sama sekali tak tampak seperti perjuangan menegakkan sistem khilafah yang tak mungkin, dalam catatan Peter Carey, Dipanegara yang juga bergelar Sang Heru Cokro adalah semacam khalifah yang lazim dengan minuman anggur. Dengan demikian, konsep khilafah adalah bagian dari kebudayaan Arab yang memang tak pernah berorientasi pada Nusantara atau jelas-jelas bersifat Arab-oriented.

Di samping Serat Seh Malaya yang terlebih dahulu bersikap kritis terhadap kecenderungan-kecenderungan beragama yang Arab-oriented, Serat Wedhatama adalah yang paling tegas dan lugas dalam menyikapi konsep-konsep dan sikap-sikap beragama yang mengalami disorientasi ruang dan waktu semacam itu. Bahkan, dalam penelitian saya, serat yang ditulis oleh adipati yang hidup semasa dengan Ronggawarsita ini sampai menukik pada akar masalah radikalisme: cara beragama yang jauh dari pangkalnya rasa atau rosing rasa (Moderatisme dalam Kacamata Sufisme Nusantara, Heru Harjo Hutomo, https://alif.id).

Respon yang lugas dan tegas Serat Wedhatama pada sikap keislaman yang Arab-oriented tersebut cukup menggigit dengan memberikan penyebutan istilah-istilah Jawa yang sarkastik: “Sayid,” sebuah istilah yang merujuk pada sikap amatiran dalam beragama yang suka merendahkan liyan, “pengung” atau goblok yang umumnya didera kalangan muda usia yang memiliki ghirah yang buta dalam masalah agama, bingung atau orang yang mengalami disorientasi ruang dan waktu, dan pembual atau “wong ngaku-aku.”

Kang kadyeku kalebu wong ngaku-aku

Akale alangka

Elok Jawane den mohi

Paksa ngangkah met kawruh ing Mekah

         Yang seperti itu termasuk orang yang suka mengaku-aku

         Akalnya tak berfungsi

         Yang dekat tak memikat

         Sia-sia terkesima yang di sana

Nora weruh rosing rasa yang rinuruh

Lumeketing angga

Anggere padha marsudi

Kana kene kahanane nora beda

         Buta akan rasa yang sudah luruh

          Yang tak jauh dengan tubuh

         Asal berkemauan

         Sini-sana tak berbeda

Serat Wedhatama sangat jelas mengutamakan cara beragama yang berkebalikan dengan apa yang kini dipropagandakan oleh kalangan radikal: “masturbasif” atau memutlakkan kebenaran sendiri, intoleran, harfiah atau tekstual, dan mengenyampingkan akhlak yang terbit dari keadaan batin atau rasa yang sudah manggon atau meneb sehingga sudah tak disibukkan oleh isi-isi hati seperti iri, dengki, dst. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa bagi Serat Wedhatama radikalisme, terorisme, dan gagasan semacam khilafah adalah buah dari rasa sakit hati. Bukankah para pecandu khilafah kerap beranjak dari keadaan yang bagi mereka mengecewakan atau dipandang bobrok, terlalu menyakitkan hati, hasrat-hasrat yang tak mampu dipenuhi?

This post was last modified on 28 November 2022 12:58 AM

Heru harjo hutomo

Recent Posts

Agama Cinta Sebagai Energi Kebangsaan Menjinakkan Intoleransi

Segala tindakan yang membuat kerusakan adalah tidak dibenarkan dan bukan ajaran agama manapun. Kita hidup…

5 hari ago

Bagaimana Menjalin Hubungan Antar-Agama dalam Konteks Negara-Bangsa? Belajar dari Rasulullah Sewaktu di Madinah

Ketika wacana hubungan antar-agama kembali menghangat, utamanya di tengah menguatnya tuduhan sinkretisme yang dialamatkan pada…

5 hari ago

Menggagas Konsep Beragama yang Inklusif di Indonesia

Dalam kehidupan beragama di Indonesia, terdapat banyak perbedaan yang seringkali menimbulkan gesekan dan perdebatan, khususnya…

5 hari ago

Islam Kasih dan Pluralitas Agama dalam Republik

Islam, sejak wahyu pertamanya turun, telah menegaskan dirinya sebagai agama kasih, agama yang menempatkan cinta,…

5 hari ago

Natal sebagai Manifestasi Kasih Sayang dan Kedamaian

Sifat Rahman dan Rahim, dua sifat Allah yang begitu mendalam dan luas, mengandung makna kasih…

5 hari ago

Ketika Umat Muslim Ikut Mensukseskan Perayaan Natal, Salahkah?

Setiap memasuki bulan Desember, ruang publik Indonesia selalu diselimuti perdebatan klasik tak berujung: bolehkah umat…

6 hari ago