Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Boy Rafli Amar mengungkapkan bahwa di masa pandemi seperti ini justru kelompok teror semakin masif menyebarkan narasi.
Pernyataan kepala BNPT itu lantas menjadi perhatian penulis, sambil memutar memori kembali terkait gerakan teror di kampus atau masyarakat. Saya teringat pula peristiwa bulan lalu, di mana saya bertemu dengan seorang mahasiswi asal kampus islam negeri di Madura.
Seorang mahasiswi sebut saja Astuti itu tak sengaja bertemu saya. Astuti bisa berjumpa dengan saya karena diajak oleh teman perempuannya, yang termasuk teman saya. Di sebuah, warung kopi. Di sana kita menikmati kopi dan minuman lainnya sambil menikmati senja dari ketinggian.
Berawal dari perbincanganku dengan salah seorang teman tentang aktivitas ke seharian di tengah pandemi dan lain-lain, kemudian temanku mengenalkan kepadaku temen perempuannya. Sebut saja Astuti. Sudah menjadi hal biasa, kalau kita nongkrong dan ada teman baru pasti saling memperkenalkan.
Selanjutnya kita ngobrol gayeng dan Astuti yang baru kenal itu pun cerita berbagai aktivitasnya, termasuk soal teman baru atau lingkungan barunya, kampus. Astuti yang tengah menjadi mahasiswi baru di awal tahun 2020 itu bercerita kalau aktivitasnya daring. Maksudnya, kuliahnya diselenggarakan secara daring selama ini.
Semakin mengakrabi, Astuti semakin berani bercerita tentang hal yang mendalam. Sedikit saya terkaget, karena memang saya dan Astuti baru saja kenal. Belum ada hitungan jam. Tapi, ya begini ini komunikasi dan bahasa warung kopi. Luwes dan saling akrab.
Astuti menceritakan tentang kisahnya yang diteror seorang kakak tingkat perempuan, sebut saja Mawar. Mawar sering sekali menghubungi Astuti untuk sekedar ikut pengajian atau bertemu. Bahkan, saat masih kos di Madura tak jarang Mawar ingin menemuinya di kos.
Mawar banyak mempromosikan ideologi khilafah kepada Astuti. Astuti juga berujar bahwa, “Kak Mawar sering sekali mengajak diskusi soal jihad, dan bahkan sering memaksa saya untuk ikut berjihad. Serta yang lebih ekstrim lagi Kak Mawar menyatakan bahwa yang beda dengan agama yang kita imani boleh dibunuh.”
Astuti juga pernah bergabung ke suatu grup yang eksklusif, di dalamnya berisi kelompok khilafah itu. Kelompok yang menginginkan tegaknya negara islam. Kelompok yang menjadikan Mawar sebagai kader tangguh dalam merekrut mahasiswa untuk bergabung.
Meski Astuti tidak menyebutkan organisasinya secara langsung, karena kelompok mereka sekarang dilarang oleh negara. Tapi dari narasi yang dibangun oleh Mawar, itu adalah narasi dari kelompok radikal yang menghendaki khilafah islamiyah. Hizbut Tahrir?
Mungkin saja, dengan bendera yang lain. Karena pelarangan HTI itu mengakibatkan gerakan mereka semakin semu, dengan nama peralihan. Selain semu, kelompok mereka semakin sulit diamati geraknya.
Mawar dengan militansinya tidak hanya mengajak Astuti masuk kelompoknya dan ikut berjihad secara langsung. Tapi hampir setiap hari Mawar merayu Astuti dengan dalil-dalil jihad dan khilafah ala mereka. Setiap hari Astuti di whatsapp oleh Mawar, hingga pada puncaknya Astuti merasa capek dan ketakutan.
Hal itu disampaikannya kepada saya, bagaimana cara menyembuhkan luka batin atau healing dari teror di udara atas ajakan jihad itu. Saya dan teman-teman lain berusaha menanggapi secara sekasama.
Pertanyaan menarik dari Astuti ialah, “Apakah saya perlu memblokir nomer Mawar atau bagaimana?” Kebisingan yang menimpa Astuti dari whatsapp hingga media sosial-nya yang selalu dihubungi Mawar ini menjadi perhatian kami juga. Bagaimana cara menyikapi ajakan teman atau bahkan kakak tingkat dalam berjihad ala khilafah.
Beberapa rekan menanggapi agar tetap membalas inbox, Mawar. Tapi, seketika saya ingat pertanyaan Astuti sebelumnya terkait healing dari teror di udara ala Mawar. Sembari saya mengamati gaya bercerita dan matanya Astuti yang ketakutan – karena saya tidak bisa melihat mimik wajahnya secara menyeluruh, karena Ia bercadar – maka saya cukup dengan memberikan saran untuk memblokirnya.
Mengapa memblokirnya? Kesunyian di jagat digital apalagi teror paham radikal yang telah membuat kita jengah memang patut dihentikan, seminimalnya dengan memblokir orang yang menyebarkan paham itu. Bagi sebagian orang mungkin bisa meresponnya secara debatable.
Tapi, untuk Astuti ini saya rasa memblokir sementara lebih tepat. Karena dia merasa sangat diteror. Ia butuh penyembuhan batin terlebih dulu dengan keheningan dan narasi perdamaian yang lain. Terlebih ternyata Astuti bukan bagian dari islam NU atau Muhammadiyah.
Astuti butuh teman bercerita. Cerita adalah bagian dari healing sederhana yang bisa dilakukan. Astuti butuh teman belajar memahami agama seacara mendasar, karena Ia juga memiliki semangat beragama yang luar biasa.
Dari cerita itu, saya juga meyakini di tengah pandemi ini gerakan teror dan radikalisme masih subur di dunia maya. Imun mental dan nalar perlu diisi dengan nilai keagamaan dan kebangsaan. Narasi damai harus terus digaungkan, sehingga kita semua bisa terhindar dari virus radikalisme terorisme.
This post was last modified on 13 Juli 2021 1:31 PM
Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…
Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…
Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…
Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…
Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…
Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…