Narasi

Komika di Panggung Politik Kita; Bagaimana Anak Muda Berkontribusi pada Pemilu Damai?

Senang sekali melihat Abdur Arsyad ada di kampanye akbar 01 di JIS, melihat Praz Teguh ada di kampanye akbar 02 di GBK, dan Arie Kriting di kampanye akbar 03 di Solo. Dan saya di saung tunggu mereka kembali untuk tertawa bersama sembari membahas TITIK KUMPUL TOUR“.

Kalimat itu diunggah oleh komika Mamat Al Katiri di media sosial “X” demi mengomentari tiga sejawatnya yang berbeda afiliasi politik di Pilpres 2024. Abdul Arsyad diketahui berafiliasi ke pasangan Anies-Muhaimin sejak awal masa kampanye.

Sedangkan Praz Teguh, mendeklarasikan dukungan ke pasangan Prabowo-Gibran di detik akhir masa kampanye. Sedangkan Arie Kriting memilih mendukung ke pasangan Ganjar-Mahfud juga di detik menjelang masa kampanye berkahir.

Ketiganya, adalah sosok komika atau pelawak tunggal (stand up comedy) yang tengah naik daun. Followers mereka di media sosial berjumlah ratusan ribu hingga jutaan. Menariknya, meraka bertiga (Abdur, Praz, Arie) dan Mamat Al Katiri adalah host di sebuah acara podkes “Titik Kumpul” yang tayang di kanal YouTube “Tuah Kreasi”, milik Praz Teguh.

Di kesempatan yang lain, tiga komika yakni Abdur Arsyad, Choki Pardede, dan Fico Fachriza yang berbeda pilihan capres dipertemukan dalam satu acara nonton bareng debat capres-cawapres di kanal YouTube Narasi yang dimiliki oleh Najwa Shihab. Di acara itu mereka bertiga berdebat dengan sengit, namun tetep diselipi humor dan celetukan khas anak muda.

Komika dan Wajah Politik yang Segar

Sungguh menarik melihat sejumlah komika yang satu profesi itu memiliki preferensi politik yang berbeda, bahkan bergabung sebagai tim pemenangan paslon capres dan cawapres tertentu. Di media massa, maupun media sosial, mereka terlibat perang narasi dan opini.

Tidak jarang meraka pun terlibat saling roasting atas pilihan politiknya. Namun, di balik itu mereka bisa tetap akur. Itulah secuil potret perilaku politik anak muda zaman sekarang. Kaum muda milenial dan Generasi Z yang nisbi lebih melek politik dan akrab dengan dunia digital ketimbang generasi sebelumnya.

Generasi ini dicirikan dengan sikapnya yang kritis di media sosial terhadap isu politik dan sosial lainnya. Meraka juga dikenal aktif memproduksi opini dan komentar, baik tekstual, maupun audio-visual.

Namun, di saat yang sama mereka juga dikenal tidak baperan, alias santai dalam menyikapi perbedaan pilihan politik. Mereka bisa saling sindir, ejek, atau roasting di media sosial. Namun, ketika bersua di dunia nyata, relasi mereka bisa kembali cair.

Wajah politik yang cair seperti dipertontonkan oleh para komika itulah yang seharusnya ditradisikan dalam lanskap demokrasi elektoral kita. Selama ini, wajah demokrasi kita cenderung kaku dan konfliktual. Jangankan antar-tim sukses, masyarakat biasa yang berbeda pilihan politik saja bisa terlibat pertengkaran berjilid-jilid.

Para komika yang mayoritas anak muda ini membawa semacam gaya politik baru yang segar dan menjanjikan. Yakni gaya berpolitik yang anti-baper, tidak marah ketika berdiskusi, dan menjunjung persaudaraan di atas kepentingan dukung-mendukung dalam politik.

Humor Mencairkan Ketegangan Politik 

Berpolitik di alam demokrasi memang idealnya dilakukan secara rasional dan kritis. Artinya, kira harus selalu menyisakan ruang diskursif atas pilihan politik kita. Bagaimana pun, tidak ada calon yang ideal dan sempurna.

Setiap pasangan pastilah memiliki sisi kekurangan. Selain itu, penting pula untuk menyisipkan elemen humor dalam berpolitik. Humor itu bukan sekadar lelucon pengocok perut. Humor adalah bahasa lain dari sindiran (satire) atau bahkan cemoohan (sarkasme) yang dikemas dalam ekspresi verbal yang memantik tawa.

Dalam politik, kehadiran elemen humor akan mencairkan ketegangan di balik kontestasi elektoral yang sengit. Kita bisa melihat bagaimana sosok seperti Gus Dur yang memadukan antara politik dan humor dengan sangat apik. Gus Dur, semasa hidupnya dikenal sebagai politisi ulung yang idealis, tapi tidak haus kuasa apalagi memelihara dendam dengan lawan politiknya.

Bagi Gus Dur, lawan politik itu hanya di atas pentas demokrasi, di kehidupan sehari-hari mereka adalah manusia biasa yang tetap layak dihormati. Maka, tidak mengherankan jika Gus Dur bisa tetap akrab dengan Suharto dan keluarganya. Padahal, secara politik keduanya merupakan musuh bebuyutan.

Kehadiran para komika di panggung politik, khusunya Pilpres 2024 ini adalah angin segar bagi iklim demokrasi kita. Gaya berpolitik komika yang anti-baper dan kental nuansa humor adalah penawar bagi racun politik identitas dan politisasi agama yang selama beberapa tahun ini menggerogoti demokrasi kita.

Gaya berpolitik itu kiranya bisa menginspirasi anak muda milenial dan gen Z yang juga akrab dengan skena stand up comedy. Dengan begitu, kaum muda yang menjadi kelompok mayoritas pemilih bisa berkontribusi positif pada terwujudnya Pemilu damai.

This post was last modified on 12 Februari 2024 11:56 AM

Nurrochman

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

8 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

8 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

8 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago