Narasi

Kompleksitas Isu Palestina dan Pentingnya Solidaritas Kemanusiaan Berperspektif Kebangsaan

Palestina kembali bergolak. Negeri yang tidak pernah lepas dari peperangan itu tengan dirundung duka. Perang antara Hamas dan Israel menelan ratusan korban jiwa. Beberapa di antaranya ialah anak-anak tak berdosa. Membincangkan konflik Palestina memang rumit untuk juga mengatakan ruwet. Konflik yang bermula dari perebutan wilayah ini lantas berkelindan dengan klaim kebenaran agama masing-masing pihak.

Kaum Zionis meyakini Palestina ialah tanah yang dijanjikan Tuhan dalam kitab suci mereka. Sebaliknya, kelompok Islam konservatif meyakini bahwa Yahudi merupakan musuh Islam yang harus dimusnahkan di muka bumi. Klaim teologis ini yang membuat perundingan kerap macet di tengah jalan. Di saat yang sama, respons dunia internasional pun tidadk seragam.

Menariknya, di kalangan rakyat Palestina sendiri terdapat perbedaan pandangan terkait mekanisme penyelesaian konflik dengan Israel. Survei Gallup tahun 2010 menyebutkan bahwa 73 persen rakyat Palestina menyetuji resolusi PBB tentang solusi dua negara (two states solution). Yakni Palestina dan Israel hidup berdampingan secara damai. Hanya sekitar 17 persen rakyat Palestina tidak sepakat dengan konsep “two states solution” dan menghendaki adanya perang terhadap Israel.

Masih menurut survei yang sama, mayoritas anak muda Palestina menghendaki hidup aman dan damai sehingga bisa menata masa depan layaknya anak muda di negara lain. Namun, narasi perang yang digaungkan Hamas, faksi konservatif di Palestina, kadung populer di rakyat Palestina dan di dunia Islam pada umumnya. Perang dianggap sebagai solusi utama menyelesaikan konflik Palestina-Israel. Maka, konflik antarkedua negara itu lebih tepat disebut sebagai konflik antara faksi konservatif Palestina dengan rezim Zionis Israel.

Kompleksitas Persoalan Palestina

Kompleksitas isu Palestina ironisnya acapkali luput dimengerti oleh masyarakat Indonesia. Akibatnya, umat Islam di Indonesia mudah terprovokasi isu Palestina. Konsekuensinya, publik terbelah ke dalam dua pandangan yang berbeda dan saling mencemooh satu sama lain. Kaum Islam konservatif kerap melabeli kelompok yang bersikap obyektif terhadap isu Palestina dengan julukan berkonotasi peyoratif. Mulai dari sebutan “Yahudi Sawo Matang”, “Yahudi Pesek”, “Antek Zionis Nusantara” dan stereotip negatif lainnya. Frasa itulah yang dalam sepekan terakhir lalu-lalang di media sosial kita.

Sungguh ironis. Ketika warga Palestina tengah berjibaku menyelamatkan diri dari amukan serangan Israel, netizen Indonesia justru tengah saling serang di medsos. Dimana sebenarnya letak signifikansi kita sebagai negara muslim terbesar di dunia? Apakah kita hanya akan menyumbang keributan di medsos dan menggaungkan solidaritas semu tanpa aksi nyata? Atau sebaliknya, isu Palestina ini justru menjadi pemicu pecahnya soliditas kebinekaan bangsa?

Sebagai muslim, kita memiliki kewajiban teologis untuk bersimpati dan membantu penderitaaan warga Palestina yang mayoritas juga beragama Islam. Solidaritas keislaman (ukhuwah islamiyyah) ini kiranya bisa menjadi salah satu mekanisme menyuarakan keadilan bagi Palestina. Sebagai wargadunia global (global citizens) kita juga memiliki tanggung jawab sosiologis untuk bersolidaritas terhadap Palestina. Solidaritas kemanusiaan universal inilah yang bisa menjadi modal penting untuk menyelesaikan konflik Palestina.

Namun demikian, sebagai warganegara Indonesia kita juga dihadapkan pada kewajiban untuk menaati norma dan konstitusi. Agenda solidaritas terhadap Palestina idealnya tidak bertentangan dengan spirit kebinekaan, apalagi sampai mengancam persatuan bangsa. Pluralitas pemahaman terkait Palestina yang berkembang di masyarakat hendaknya bisa dikelola dengan bijak. Jangan sampai, isu Palestina dipelintir dan dipolitisasi demi kepentingan sesaat pihak-pihak tertentu. Kedaulatan Palestina sama berharganya dengan kebinekaan dan persatuan bangsa. Dua-duanya harus diletakkan dalam satu tarikan nafas.

Tiga Langkah Solidaritas

Dalam konteks inilah, kita (umat Islam di Indonesia) bisa melakukan setidaknya tiga hal. Pertama, berusaha meredam situasi chaos di Palestina dengan tidak mendukung apalagi mengglorifikasi kekerasan yang dilakukan oleh Hamas. Penting untuk diketahui bahwa Hamas hanyalah salah satu faksi penentang kolonialisme Israel di Palestina. Selain Hamas, masih banyak faksi lain yang juga menentang, namun memilih menggunakan cara-cara non-kekerasan. Glorifikasi kekerasan yang dilakukan Hamas hanya akan melahirkan siklus kekerasan yang sukar diputus.

Kedua, berusaha menggalang solidaritas kemanusiaan global lintas negara, bangsa, agama dan warna kulit untuk menyuarakan pembebasan Palestina dari kekerasan. Seperti kita tahu, solidaritas terhadap Palestina selama ini cenderung bersikap parsial. Masing-masing kelompok masyarakat sipil bergerak sendiri-sendiri dengan filosofi dan agendanya masing-masing. Hal ini tidak pelak kerap menimbulkan ketegangan antarkelompok masyarakat sipil tersebut. Saling tuding dan mencemooh pun menjadi praktik yang tidak bisa dielakkan.

Ketiga, berusaha menyuarakan pentingnya persatuan rakyat Palestina dalam merumuskan misi pembebasan mereka dari cengkeraman Israel. Kita perlu mendorong faksi-faksi di Palestina untuk bersatu dan mau duduk di meja perundingan dengan Israel; mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Kesadaran itu penting karena kekerasan dan perang yang berlangsung selama puluhan tahun tidak menghasilkan apa-apa. Wilayah Palestina tetap dicaplok, sedangkan rakyat banyak menjadi korban peperangan.

This post was last modified on 18 Mei 2021 12:01 PM

Sivana Khamdi Syukria

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

23 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

23 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

23 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

2 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

2 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

2 hari ago