Narasi

Konflik adalah Ladang bagi Kelompok Radikal

Indonesia memiliki masyarakat yang terdiri dari kumpulan individu dan kelompok yang memiliki ragam perbedaan secara primordial. Perbedaan suku, etnik, bahasa, dan agama adalah ciri khas masyarakat nusanatra. Tentu saja ini sebuah kekuatan, tetapi bisa jadi kelemahan. Salah satu tantangan terberatnya adalah konflik dengan latar belakang perbedaan.

Konflik merupakan suatu bentuk pertentangan yang alami yang dihasilkan oleh pemikiran individu maupun dari pemikiran kelompok yang berbeda kepercayaan, kebudayaan maupun pola pikir. Meski dipandang suatu hal yang negatif. Namun konflik merupakan hal yang sangat wajar dan alamiah yang biasa terjadi di dalam masyarakat. 

Namun menjadi sesuatu hal yang tidak wajar apabila konflik terjadi karena sebab tertentu yang dengan sengaja diciptakan oleh kalangan tertentu. Konflik sangat identik dengan kekerasan, karena itu banyaknya golongan yang ingin menjadikan konflik sebagai pemicu terorisme yang ada di Indonesia. 

Bisa dikatakan bahwa kelompok radikal terorisme sangat menyukai ladang konflik. Pengalaman di Indonesia konflik Poso menjadi ladang bagi kelompok radikal terorisme menggerakkan laskarnya. Di Timur Tengah kelompok ISIS lahir akibat konflik domestic di Irak dan di Suriah. Begitu pula di Filina bagian selatan.

Konflik adalah ladang empuk bagi organisasi teror untuk melakukan konsolidasi kekuatannya. Bahkan di tengah konflik mereka bisa membangun kekuatan baru sebagaimana dalam kasus ISIS di Irak dan Suriah.

Karena itulah perlu diwaspadai bahwa organisasi teroris akan sangat senang dengan kondisi negara yang rentan konflik. Mereka dapat menancapkan ideologinya di satu negara jika ada terjadi konflik antara dua pihak, seperti konflik antara Suriah dan Islam Sunni dan Syiah. Sepanjang konflik dalam Negara tersebut terus berlangsung, maka gerakan jihadis akan terus ada didalamnya. 

Sejatinya paham radikal dan teroris akan selalu ada selama konflik itu ada dan berkembang. Baik konflik agama, suku, ras, ekonomi bahkan ideology. Konflik-konflik seperti inilah yang nantinya akan berimbas memunculkan gerakan paham radikal terorisme yang akan seiring sejalan dengan perkembangan konflik tersebut. 

Hingga saat ini banyak pihak yang berusaha untuk menangkal dan melawan aksi-aksi radikal yang sedang terjadi. Banyak juga para ilmuwan yang menyalahkan ideologi agama sebagai penyebab utama dalam aksi terorisme yang terjadi. Namun, aksi kekerasan yang condong terhadap perilaku radikal bukan sebatas karena narasi Ideologis agama saja. Perlunya penelitian tentang hal-hal yang menimbulkan kerentanan terhadap aksi radikal selain merujuk kepada agama. 

Selain karena faktor ideologi sebagai inti dari gerakan, tetapi tumbuh kembangnya gerakan ini karena beberapa hal. Pertama, faktor domestik.  Kemisinan yang d rasakan sebagian besar rakyat Indonesia menjadi pemicu dan lahan subur menanan paham-paham radikal. Dengan iming-iming kesejahteraan akan sangat mudah bagi mereka mengikuti alur yang ditanamkan pada mereka. 

Selain itu minimnya pendidikan karena ketidak mampuan orang tua untuk menjamin pendidikan anak. Alhasil, mereka yang seperti inilah yang akan dengan mudah dibujuk untuk menjadi pelaku bom bunuh diri relatif memiliki pendidikan dan pengetahuan agama yang minim. 

Selain itu juga perlakuan hukum yang tidak adil kepada masyarakat miskin dan hanya condong kepada seseorang atau pemerintah yang berkuasa, membuat mereka sangat mudah terpengaruhi dan terprovokasi dengan faham radikal dan terorisme dengan menjanjikan keadilan dengan cara mereka. 

Kedua, faktor delusi.  Kadar delusi yang dimiliki oleh setiap orang namun dengan kadar yang berbeda. Sebagai mahluk social, manusia pastinya ingin berpartisipasi dalam merubah dunia agar lebih baik. Membantu sesame dalam memberantas kejahatan yang ada di depan mata. 

Memang disadari, dalam kadar tertentu kecenderungan akan sikap tersebut dianggap normal. Namun akan menjadi tidak normal ketika kadar delusi seperti ini berlebihan. Ada beberapa manusia yang mendapat  dorongan dalam diri untuk mengubah tatanan sosial sesuai dengan persepsinya secara pribadi. 

Tindakan radikalpun terkadang diambil untuk mewujudkan itu. Dengan berbekal pemahaman yang sempit dalam menerjemahkan nilai-nilai agama yang berkembang di tengah masyarakat, dan memaknai ayat suci secara sepotong-sepotong yang menghasilkan konsep mati syahid, dengan pemikiran mengorbankan diri demi kepentingan bersama. Karena itulah, selama konflik itu ada dan berpotensi ada, di situlah kelompok teroris akan selalu menyemaikan ideologinya. Termasuk di Indonesia. Membenturkan atas nama aliran dan ideologi adalah strategi kelompok ini. Karena itulah, alat pemersatu seperti ideologi Pancasila harus terus dirawat sebagai bagian dari kekuatan untuk menahan laju konflik sekaligus laju paham dan gerakan radikal terorisme.

This post was last modified on 11 Januari 2021 12:27 PM

Eva Novavita

Recent Posts

Potensi Ancaman Pilkada 2024; Dari Kekerasan Sipil ke Kebangkitan Terorisme

Sebuah video rekaman detik-detik “carok” di Sampang, Madura beredar di media sosial. Kekerasan itu terjadi…

23 jam ago

Mencegah Agenda Mistifikasi Politik Jelang Pilkada

Dalam ranah politik jelang Pilkada 2024, kita dihadapkan pada fenomena yang mengkhawatirkan, yakni potensi meningkatnya…

23 jam ago

Tak Ada Wakil Tuhan dalam Politik: Mengungkap Bahaya Politisasi Agama Jelang Pilkada

Tidak ada satu-pun calon kandidat politik dalam pilkada serentak 2024 yang hadir sebagai “wakil Tuhan”.…

23 jam ago

Komodifikasi Agama dalam Pilkada

Buku Islam Moderat VS Islam Radikal: Dinamika Politik Islam Kontemporer (2018), Karya Dr. Sri Yunanto…

2 hari ago

Jelang Pilkada 2024: Melihat Propaganda Ideologi Transnasional di Ruang Digital dan Bagaimana Mengatasinya

“Energi besar Gen Z semestinya dipakai untuk memperjuangkan tegaknya Khilafah. Gen Z jangan mau dibajak…

2 hari ago

Mengapa Beda Pilihan, Tetap Toleran?

Menyedihkan. Peristiwa berdarah mengotori rangkaian pelaksanaan Pilkada 2024. Kejadian itu terjadi di Sampang. Seorang berinisial…

2 hari ago