Narasi

Kriminalisasi Ulama atau Ulama (yang) Kriminal?

Akhir-akhir ini ada narasi yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang menyatakan bahwa ulama banyak dikriminalisasi oleh aparat atau negara. Kelompok ini mendasarkan pada sebuah kasus yang menimpa beberapa ustadz atau pendakwah yang memang sedang berususan dengan aparat penegak hukum, bahkan ada yang sudah masuk tahanan.

Tentu saja narasi di atas tidak hanya meresahkan umat, melainkan bisa menyulut pertikaian karena membenturkan ulama dengan pemerintah. Seolah-olah ulama telah didzolimi oleh negara, padahal bukan itu yang terjadi. Ulama juga manusia yang tak luput dari kesalahan dan ‘kepentingan’ tertentu.  Sebagaimana Gus Miftah mengatakan, jika ada ulama berurusan dengan hukum, bukan berarti itu kriminalisasi ulama, tapi bisa jadi ulama yang kriminal.

Dan kita tidak boleh mengeneralisir bahwa upaya tegas aparat menindak ‘ulama’ yang melanggar hukum itu sebagai upaya untuk mendzolimi dan mengkriminalisasi ulama. Justru aparat sesungguhnya sedang menyelamatkan marwah ulama. Karena ulama itu adalah mereka yang tidak hanya faqih dalam bidang agama, melainkan juga yang memiliki komitmen kebangsaan yang tinggi.

Sejarah republik ini dengan jelas menyebutkan bahwa ulama memiliki peran bahkan jasa dalam memerdekan Indonesia. Sehingga tidak mungkin bangsa ini semena-mena atau bahkan berkhianat kepada ulama yang telah menanam saham di republik Indonesia ini.

Ciri-ciri Ulama Su’

Sejak dahulu kala, para ulama telah mewariskan teladan yang luar biasa untuk generasi penerusnya. Bahwa mereka selalu menjadi benteng persatuan dan keutuhan NKRI. Meskipun begitu, tak jarang pula ada ‘ulama’ yang gemar meresahkan umatnya. Bahkan lagi-lagi harus berususan dengan penegak hukum lantaran menimbulkan kegaduhan.

Memang, ulama, sebagaimana disebutkan oleh Imam Al-Ghazali, ada yang su’; tercela atau buruk. Barangkali ulama semacam ini yang istilah kekiniannya disebut sebagai ulama ‘kriminal’. Meskipun ulama dan kriminal adalah dua hal yang saling berseberangan, tapi keduanya bisa saling beririsan. Dengan kata lain, seorang ulama sangat mungkin bisa menjadi kriminal karena telah melakukan pelanggaran terhadap norma-norma hukum. Begitu juga dengan seorang pelaku kriminal, ia sangat mungkin seorang ulama.

Berdasarkan beberapa kajian dan referensi, setidaknya ada beberapa ciri ulama su’, diantaranya:

Pertama, yang menyesatkan. Ciri pertama ini sebagaimana yang ada dalam Sabda Nabi:  “Sesungguhnya yang aku khawatirkan atas umatku adalah para imam atau pemuka agama yang menyesatkan.” (HR. Abu Daud). Jika hendak ditafsirkan lebih jauh lagi, mungkin provokator yang  mendapatkan label ulama termasuk ke dalam ciri pertama ini.

Kedua, menukar kebodohan sebagai ilmu. Di antara tugas dan fungsi sekaligus posisi ulama adalah membimbing umatnya ke jalan yang lurus, menghidupkan orang yang hatinya telah mati, meluruskan perilaku umat yang menyimpang, memberikan fatwa, dan memberikan teladan di atas ajaran Islam yang benar. Namun ketika ulama tidak menjalankan tugasnya dengan benar, maka penyimpangan ulama akan berdampak besar (merupakan musibah yang agung). Diantara penyimpangannya adalah menukar kebodohan sebagai ilmu. Inilah ulama ‘jahat’.

Ketiga, orientasinya duniawi semata. Dalam kitab Kifayatul Atqiya hlm. 70 disebutkan bahwa ulama yang menjadikan ilmu yang ia miliki untuk meraih kesenangan dunia, mendapatkan pangkat dan kedudukan di mata manusia, mereka adalah ulama yang jahat (su’).

Potret Ulama Sejati dan Sejuk

Jika ada narasi ‘kriminalisasi’ ulama, sesungguhnya yang demikian itu hanya suara para simpatisan orang yang merasa dikriminalisasi. Artinya, semua itu bukan perwakilan suara umat. Banyak ulama di negeri ini yang sampai hari ini masih berkhidmat untuk umat; memberikan nasehat, pengetahuan keagamaan dan pendalaman wawasan kebangsaan.

Dan para ulama sejati itu sama sekali tidak merasa adanya kriminalisasi ulama. Jika benar bahwa kriminalisasi ulama itu nyata, tentunya para ulama lainnya tidak akan tinggal diam. Minimal para pimpinan ormas terbesar di republik ini akan angkat bicara dan mengambil sikap. Namun, kebanyakan ulama sejati masih berada jalur yang sama dengan para pemangku bangsa ini. Bersama-sama membangun bangsa dan menjaga keutuhan serta keharmonisan kehidupan.

Ulama sejati akan selalu mengedukasi umat, bukan malah memprovokasi. Mereka berdakwah dengan penuh hikmah, bukan malah memecah belah. Ulama sejati akan selalu menjaga NKRI, bukan malah merong-rong republik ini. Di tengah narasi ‘kriminalisasi’ ulama yang berhasil ‘mengecoh’ sebagian umat sehingga menimbulkan kemarahan dan persepsi buruk pada pemerintah, kita masih punya segudang ulama yang sejati, yang harus diikuti, baik dalam konteks teladan keagamaan maupun kebangsaannya.

This post was last modified on 24 November 2020 8:06 PM

Ahmad Ali Mashum

Peminat Kajian Keagamaan dan Kebangsaan, Tinggal di Jawa Tengah

Recent Posts

Demistifikasi Agama dan Politik Inklusif untuk Kemanusiaan

Agama dan politik di Indonesia selalu menjadi isu yang sensitif sekaligus penting. Keduanya memiliki kekuatan…

6 jam ago

Merawat Hubungan Agama dan Politik yang Bersih dari Politisasi Agama

Sesungguhnya, agama tidak pernah bertentangan dengan politik. Agama dan politik itu sifatnya integratif. Agama dapat…

6 jam ago

Agama (Tidak) Bisa Dipisahkan dalam Politik?

Pada mulanya politik adalah sebuah jalan untuk mencapai tujuan yang mulia. Politik adalah seni untuk…

6 jam ago

Ruang Maya Sehat, Demokrasi Kuat

Menjelang Pilkada Serentak 2024, ruang digital di Indonesia menjadi semakin sibuk. Media sosial, yang telah…

1 hari ago

Mencegah Mudharat “Jualan Agama” Pada Pilkada 2024

Tahun 2024 adalah tahun politik. Pesta demokrasi melalui Pemilu telah. Kini masyarakat siap menyambut pemilihan…

1 hari ago

Prinsip Teo-Antroposentrisme Kuntowijoyo, Jembatan antara Dimensi Ilahi dan Realitas Sosial

Kelompok konservatif seperti Hizbut Tahrir Indonesia selalu menjadikan agama sebagai palang pintu terakhir segala problematika…

1 hari ago