Ledakan yang terjadi di SMAN 27 Jakarta Utara pada awal November ini mengguncang kesadaran publik. Dugaan sementara dari investigasi awal aparat mengindikasikan bahwa pelaku, seorang siswa, terpapar ideologi ultra-konservatif dan ekstremis mulai dari simbol-simbol white supremacy, ikon Nazi, hingga kekaguman terhadap pelaku penembakan masjid di Kanada dan Selandia Baru.
Fenomena ini menandai babak baru ekstremisme, di mana ideologi kebencian tidak lagi datang dari mimbar atau eksploitasi simbol keagamaan, melainkan dari ruang sunyi kamar anak-anak yang hidup dalam dunia digital tanpa batas. Kasus ini memperlihatkan dua krisis sekaligus: krisis role model kepahlawanan dan krisis literasi digital emosional.
Ketika anak kehilangan figur panutan yang positif di dunia nyata, mereka mencari figur alternatif di dunia maya. Di sanalah tokoh-tokoh ekstremis, dengan narasi heroisme kelamnya, menunggu untuk diidolakan. Kecanduan game online dengan penggambaran kekerasan yang vulgar juga menjadi pemantik nyata dari ekspresi kekerasan yang dilakukan anak.
Kekosongan Moral Mengundang Heroisme Palsu
Secara psikologis manusia, khususnya anak, membutuhkan role model sebagai fondasi pembentukan moral dan identitas diri. Albert Bandura dalam teori Social Learning (1977) menjelaskan bahwa perilaku manusia banyak dipelajari melalui proses observasi dan imitasi terhadap figur yang dianggap berpengaruh.
Dalam konteks anak muda digital, figur itu bukan lagi guru, orang tua, atau pahlawan nasional. Influencer atau karakter yang mereka temui di media sosial, film, dan gim daring menjadi cermin baru bagi mereka untuk ditiru dan diikuti.
Sayangnya, sebagian besar dari figur digital itu tidak mempromosikan nilai kemanusiaan, melainkan glorifikasi kekerasan, kebencian, dan supremasi. Anak-anak tidak lagi bermimpi menjadi Soekarno, Hatta, Kartini, Habibie, Gus Dur dan pahlawan lainnya melainkan mengagumi pelaku tragedi kemanusiaan yang direpresentasikan sebagai “pejuang ideologi”.
Di sinilah distorsi kepahlawanan terjadi. Pahlawan tidak lagi berarti pengorbanan untuk kemanusiaan, tetapi kemenangan atas kelompok lain.
Keterpaparan Digital dan Radikalisasi Emosional
Berbeda dengan pola radikalisasi klasik yang berbasis komunitas dan interaksi tatap muka, radikalisasi era digital bersifat individual, senyap, dan emosional. The Institute for Strategic Dialogue (ISD, 2022) menguraikan model Online Radicalisation Pathways yang berlangsung melalui empat tahap:
Game daring dan forum online menjadi ruang yang subur karena menyediakan immersive experience—pengalaman tenggelam dalam dunia fiktif yang sering kali menormalisasi kekerasan. Konten first-person shooter dan survival games dapat memicu adrenalin dan emosi agresif pada remaja, terutama jika dimainkan tanpa kontrol sosial dan konteks moral.
Dalam kasus SMAN 27, pelaku disebut memiliki kepribadian penyendiri dan intens menggunakan media digital. Kombinasi isolasi sosial dan keterpaparan konten ekstrem menciptakan kondisi psikologis yang berbahaya: kebutuhan akan makna (need for significance) yang disalurkan melalui ideologi kekerasan. Ekstremisme tumbuh dari “rasa kehilangan makna” yang kemudian digantikan oleh keyakinan ideologis yang memberikan identitas dan tujuan.
Fenomena ini juga tidak lepas dari krisis narasi kepahlawanan di ruang publik. Narasi tentang pahlawan bangsa semakin jarang hadir dalam wacana populer. Platform digital lebih banyak diisi oleh figur sensasional, kontroversial, atau tokoh yang mempromosikan individualisme ekstrem.
Ketika anak tidak lagi melihat nilai perjuangan dalam pahlawan nasional, mereka beralih pada figur global yang mempersonifikasikan “perlawanan terhadap sistem”—meskipun perlawanan itu destruktif. Kekosongan role model membuat anak muda kehilangan jangkar moral.
Menjawab Krisis Kepahlawanan
Di sinilah sekolah, keluarga, dan media seharusnya hadir. Pendidikan karakter dan sejarah harus kembali mengangkat nilai-nilai kepahlawanan yang relevan dengan zaman: keberanian tanpa kebencian, perlawanan tanpa kekerasan, dan perjuangan yang berakar pada empati.
Krisis ini bukan sekadar masalah ideologi, tetapi masalah ekologi moral. Kita hidup dalam masyarakat yang terlalu cepat mengidolakan popularitas, tetapi lambat menanamkan nilai kebajikan. Dalam situasi ini, dunia digital yang bebas menjadi arena perebutan imajinasi anak-anak kita.
Jika negara dan masyarakat tidak cepat menanamkan role model kepahlawanan yang sehat—guru, ilmuwan, relawan kemanusiaan, pahlawan lingkungan—maka ruang itu akan diisi oleh figur-figur kelam yang memutarbalikkan makna heroisme. Mencegah ekstremisme di kalangan anak bukan hanya soal deradikalisasi, tetapi rekonstruksi imajinasi kepahlawanan.
Bangsa yang gagal menghadirkan pahlawan sejati di hadapan generasinya akan melahirkan generasi yang mencari makna pada bayang-bayang para ekstremis.
Ledakan bom di SMAN 72 Jakarta adalah peristiwa teror. Aksi itu jelas bukan sekedar kriminalitas…
Bangsa ini terlalu sering mengenang para pahlawan dengan gegap gempita—upacara bendera, kisah perjuangan, dan simbol-simbol…
Akhir pekan yang tenang tiba-tiba dikejutkan oleh berita yang membuat siapa saja tercengang. Seorang siswa…
Individu atau kelompok yang menjadi korban penindasan di masa lalu memiliki kemungkinan kuat untuk menjadi…
Kita harus menyadari sepenuh hati bahwa bangsa Indonesia ini takkan pernah berdiri tegak jika para…
Konflik yang kembali membara adalah salah satu tragedi kemanusiaan paling memilukan di abad ke-21. Negeri…